Kapan Sektor Energi dan Lingkungan Bisa Akur di Indonesia?

Diwangkara Bagus Nugraha
Oleh Diwangkara Bagus Nugraha
13 Oktober 2020, 07:00
Diwangkara Bagus Nugraha
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Ilustrasi energi terbarukan

Yang perlu diwaspadai dari pengembangan biodiesel adalah pembukaan hutan dan lahan gambut untuk perkebunan sawit. Orientasi pengembangan biodiesel harus berujung kepada perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, bukan hanya kebutuhan pasar kelapa sawit dan penurunan impor BBM. Jangan sampai penurunan emisi dari pemanfaatan biodiesel malah meningkatkan emisi dari sektor kehutanan. Kontrol yang ketat perlu untuk mencegah hal ini terjadi.

Landasan hukum yang lebih kuat dibutuhkan untuk mengelola dan mengembangkan energi baru terbarukan. Kepastian hukum dari pengesahan RUU Energi Baru Terbarukan, atau jika akhirnya hanya RUU Energi Terbarukan, sudah ditunggu-tunggu sejak inisiasi awal pada 2017. Kepastian hukum ini diharapkan memberikan garis yang jelas bagi investasi dan pengembangan energi terbarukan.

Di sisi lain, aktivitas mitigasi dari energi efisiensi juga masih mengalami kendala. Pengembangan aktivitas yang berbau demand-side management seperti efisiensi energi masih menjadi anak tiri. Proses revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70/2009 belum menemui ujung. Padahal, PP ini penting untuk memberikan arah bagi kegiatan efisiensi energi.

Peraturan ini seharusnya menjadi payung hukum untuk kegiatan konservasi energi, termasuk efisiensi energi, penerapan manajemen energi, dan peraturan terkait standar efisiensi peralatan. Pembuatan eencana induk konservasi energi nasional (RIKEN) juga masih tertunda karena menunggu revisi PP tersebut.

Selain itu, disinsentif dan insentif belum diterapkan secara maksimal untuk mendorong kegiatan efisiensi energi. Banyak perusahaan yang seharusnya wajib melakukan kegiatan manajemen energi masih enggan melakukan karena tidak ada skema disinsentif dan insentif yang jelas. Dari data pelaporan manajemen energi, jumlah perusahaan yang melakukan seluruh kewajiban manajemen energi tidak pernah mencapai 50 % sejak 2013 hingga 2018.

Kebijakan carbon pricing dapat menjadi jembatan antara pengembangan energi dan lingkungan. Dengan desain kebijakan yang tepat, carbon pricing bisa mendorong pengembangan yang rendah emisi gas rumah kaca.

Namun penjelasan KLHK di media mengenai Perpres carbon pricing masih sangat kental dengan bahasan tambahan pendapatan dari sektor kehutanan sebagai penyerap karbon. Seharusnya, fokus bukan hanya berjualan karbon, tetapi bagaimana desain kebijakan dapat mendorong carbon emitter untuk mengurangi emisinya.

Desain kebijakan yang efektif penting untuk memperbaiki hubungan antara sektor energi dan lingkungan. Tidak hanya efektif pada satu sektor, kebijakan yang dibuat perlu saling mendukung antarkementerian.

Sinkronisasi kebijakan ini menjadi tantangan tersendiri karena tanggung jawab ini dipegang oleh dua kementerian yang berbeda, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Silaturahmi yang baik antara kedua kementerian ini dapat menjadi pondasi untuk hubungan baik antara sektor energi dan lingkungan. Silaturahmi mencegah dampak perubahan iklim yang lebih besar di masa depan.

Halaman:
Diwangkara Bagus Nugraha
Diwangkara Bagus Nugraha
Peneliti Energi Purnomo Yusgiantoro Center, Alumnus University of Manchester

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...