Tiga Ancaman UU Cipta Kerja bagi Para Pembela Lingkungan dan HAM

Herlambang P Wiratraman
Oleh Herlambang P Wiratraman
6 November 2020, 07:00
Herlambang P Wiratraman
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Sejumlah buruh dan mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Jakarta, Rabu (28/10/2020). Aksi yang dilakukan mahasiswa dan buruh bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda tersebut menolak disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja karena dinilai tidak berpihak kepada buruh.

Selain tak leluasa menggunakan wewenang hukum, kedua lembaga ini memiliki pendanaan sangat terbatas untuk bisa menjalankan fungsi mereka secara maksimal. Kondisi ini menyulitkan para pembela lingkungan yang memiliki kekuatan dan perlindungan hukum yang terbatas dalam melakukan advokasi dan menuntut penegakan hukum lingkungan.

Rentan Ancaman dan Represi

Sebelum UU Cipta Kerja diterbitkan, para aktivis dan pembela lingkungan, bahkan jurnalis, sudah rentan mendapatkan ancaman karena mengungkap isu-isu eksploitasi sumberdaya alam di seluruh penjuru Tanah Air.

Selama tahun 2019, ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) mencatat setidaknya ada 27 kasus kekerasan yang menimpa pembela lingkungan di 14 provinsi atau 27 kabupaten/kota. Ini meliputi sektor agraria (17 kasus), pertambangan (6 kasus), infrastruktur (3 kasus) dan pariwisata (1 kasus).

Sementara, jumlah korban mencapai 128 orang, mayoritas petani (32 orang) dan masyarakat adat (12 orang). Misalnya, tewasnya aktivis dan pengacara dari NGO lingkungan hidup WALHI, Golfrid Siregar, di Medan, Sumatra Utara pada tahun 2019.

Sebelum meninggal, ia sedang aktif melakukan gugatan hukum atas pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Pembangunan ini mengundang kontra keras dari masyarakat sipil karena berpotensi merusak habitat orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), salah satu spesies langka di dunia.

Pada tahun yang sama, kasus pembakaran rumah Murdani, direktur organisasi lingkungan hidup independen, WALHI, di Nusa Tenggara Barat (NTB), yang saat itu aktif menyuarakan penolakan tambang pasir.

Di kalangan jurnalis, ada kasus pembunuhan Ardiansyah Matra’is, jurnalis Tabloid Jubi dan Merauke TV, di Merauke, Papua, tahun 2010. Atau, kasus penganiayaan berat terhadap Ahmadi, wartawan Harian Aceh oleh Pasi Intel KODIM 0115 Simeulue di Makodim Simuelue, pada tahun yang sama. Kedua jurnalis tersebut aktif melakukan liputan soal pembalakan liar di daerah masing-masing.

Perlindungan HAM Berbasis Pasar

Sekalipun Pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo menekankan perlindungan HAM dan lingkungan dalam kebijakannya, namun kebijakan itu diarahkan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan ramah investasi dan tidak menabrak prioritas ekonomi Indonesia.

Dengan kata lain, Jokowi menegakkan HAM yang berbasis pasar.

Kepentingan pemodal, investasi, dan perdagangan bebas menjadi lebih dominan mempengaruhi orientasi kebijakannya yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi. Salah satu turunan produk hukumnya adalah UU Cipta Kerja yang juga membuka peluang serangan terhadap pembela lingkungan. 

The Conversation

Halaman:
Herlambang P Wiratraman
Herlambang P Wiratraman
Lecturer of Constitutional Law, Universitas Airlangga

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...