- Kenaikan UMP tahun 2022 ditetapkan sebesar 1,09 %
- Formula baru dalam turunan UU Cipta Kerja menjadi acuan pemerintah menaikkan besaran UMP
- Kisruh lama mencuat. Buruh menuding kenaikan UMP terlalu kecil sementara pengusaha menilai sudah adil.
Ribuan buruh turun ke jalan, pekan lalu, menentang kenaikan upah minimum provinsi atau UMP tahun 2022. Aksi ini merupakan protes atas kenaikan UMP tahun depan yang hanya 1,09 %.
Kekecewaan ini tak hanya dirasakan ribuan buruh yang berdemo. Banyak karyawan lain kesal walau tidak ikut berarak di jalanan. Nurdin, misalnya, karyawan bagian pengiriman di sebuah perusahaan di Cikarang, Jawa Barat, mengatakan kenaikan UMP 1,09 % sangat kecil. Dia berharap kenaikan UMP bisa di atas 10 % agar memiliki uang lebih untuk ditabung.
Nurdin yang sudah bekerja selama hampir empat tahun kini bergaji Rp 4,4 juta. Sebagian besar gajinya habis untuk makan serta membayar cicilan kendaraan bermotor. "Sisanya buat beli pulsa dan jajan anak," ujar ayah beranak satu puteri ini, kepada Katadata, akhir pekan lalu. "Kalau bisa, naik lagi UMP-nya, apalagi tahun kemarin sudah tidak naik."
Keinginan serupa disampaikan Adi, pekerja bagian administrasi di sebuah perusahan di Jakarta. Karena baru lulus SMK tahun ini dan bekerja kurang dari tiga bulan, Adi masih digaji sesuai ketentuan prohibition atau masa uji coba yakni Rp 2,6 juta. Angka itu di bawah UMP Jakarta saat ini Rp 4.416.186.
Dengan gaji saat ini, dia hanya bisa memenuhi kebutuhan mendasarnya seperti makan dan membayar transportasi. Beruntung dia masih tinggal bersama orang tua sehingga tidak perlu membayar sewa kos atau kontrakan. "Kalau bisa, UMP naik lagi lah," ujarnya kepada Katadata.
Sejarah UMP dan Formula Baru Penentuan UMP
Berdasarkan data Organisasi Buruh Internasional (ILO), sejarah upah minimum di Indonesia diawali dengan penetapan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) pada 1956. Konsepnya melalui konsesus Triparitit dan para ahli gizi sebagai acuan penghitungan upah minimum.
Kebijakan upah minimum pertama kali diperkenalkan awal 1970-an setelah dibentuknya Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN).
Sejak saat itu, Indonesia telah berkali-kali mengganti standar kebutuhan hidup sebagai dasar penetapan upah minimum. Standar tersebut disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Menurut data Kementerian Tenaga Kerja, penetapan upah minimum sudah berganti enam kali.
Periode 1969 – 1995
Digunakan istilah Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) yang terdiri atas lima kelompok kebutuhan hidup dan terdiri atas 47 jenis komoditas (komponen) kebutuhan fisik tenaga kerja.
Di antara komoditas tersebut adalah makanan dan minuman dan bahan bakar.
Periode 1996 – 2005
Pemerintah menggunakan istilah Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). KHM terdiri atas empat kelompok kebutuhan hidup dan terdiri atas 43 komoditas.
Periode 2006 – 2012
Berdasarkan paket komoditas yang disebut Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang terdiri atas tujuh kelompok kebutuhan hidup dan meliputi 46 komoditas. Termasuk dalam kelompok kebutuhan adalah rekreasi dan tabungan.
Periode 2013 – 2015
Sejalan dengan tuntutan perkembangan kebutuhan hidup tenaga kerja maka jumlah komoditas dalam KHL disesuaikan menjadi 60 jenis.
Periode 2016 – 2020
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, maka penentuan besaran UM didasarkan kepada formulasi matematika yang menghitung kenaikan UM untuk tahun berikutnya.
Periode 2021-sekarang
Dengan diterbitkannya UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2021 dan PP No 36 Tahun 2021, formula baru pun memperhitungkan sejumlah indikator ekonomi. Kenaikan UMP tahun depan dihitung berdasarkan formula baru. Pada tahun sebelumnya, kenaikan UMP dihitung berdasarkan aturan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan.
Berdasarkan PP tersebut, formula perhitungan UMP adalah:
UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % ∆ PDBt )}
UMn merupakan upah minimum yang akan ditetapkan dan UMt merupakan Upah minimum tahun berjalan.
Inflasi yang dimasukan sebagai variabel perhitungan adalah inflasi dari periode September tahun yang lalu sampai dengan periode September tahun berjalan.
Sementara itu, ∆ PDBt merupakan: Pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang dihitung dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang mencakup periode kwartal III dan IV tahun sebelumnya dan periode kuartal I dan II tahun berjalan.
Dengan demikian, besaran inflasi dan pertumbuhan ekonomi sangat memegang peran besar dalam penentuan upah tahun sebelumnya.
Untuk tahun 2022, formula kenaikan UMP merujuk pada PP No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang merupakan regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. Merujuk pada aturan tersebut, upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
Ada sejumlah variabel yang menjadi perhitungan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan seperti paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah. Data Badan Pusat Statistik menjadi acuan dalam perhitungan variabel tersebut.
Penyesuaian nilai upah minimum juga menggunakan rentang nilai tertentu di antara batas atas dan batas bawah upah minimum pada wilayah yang bersangkutan.
Batas atas dihitung dengan mempertimbangkan rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, dan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga bekerja pada setiap rumah tangga di wilayah tersebut.
Nilai batas bawah upah minimum dihitung dari batas atas upah minimum dikalikan 50 persen.
Untuk menyesuaikan UMP, formula yang dipakai adalah sebagai berikut:
UM(t+1) = UM(t) + {Max(Pertumbuhan ekonomi(t),Inflasi(t)) × Batas atas(t) – × UM(t)}
------------------------------------- x UM(t)
Batas atas(t) – Batas bawah(t)}
Nilai pertumbuhan ekonomi atau inflasi yang digunakan merupakan nilai pertumbuhan ekonomi atau inflasi tingkat provinsi.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan perhitungan formula upah minimum yang baru dimaksdukan untuk mengurangi kesenjangan upah masing-masing wilayah dan mewujudkan keadilan upah antar wilayah.
Keadilan itu salah satunya diharapkan bisa diperoleh melalui pendekatan rata-rata konsumsi rumah tangga, median upah, dan tingkat pengangguran di masing-masing wilayah.
Ida mencontohkan UMP formula lama bisa membuat kesenjangan satu kabupaten ataupun kota yang bersebelahan bisa menjadi sangat besar.
"Sebagai contoh ada kabupaten dan kota yang bersebelahan tetapi kabupaten memiliki UM yang dua kali lebih tinggi," ujar Ida, saat menggelar konferensi kenaikan UMP, Rabu (17/11).
"Terdapat juga jabupaten yang banyak petani dan penganggurannya tinggi tapi karena ada industri maka dipaksa punya UM tinggi,"tambahnya.
Perbedaan pendapat buruh dan pengusaha
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Mirah Sumirat menilai kenaikan UMP tahun 2022 sebesar 1,09% memalukan.
Sebagai catatan, pada periode 2017-2020, kenaikan UMP berkisar 8,03-8,71%.
ASPEK Indonesia mengatakan pemerintah mempermalukan dirinya sendiri, karena terbukti membuat aturan turunan berupa PP No. 36 Tahun 2021 yang justru bertentangan dengan UU Cipta Kerja.
Dia mengingatkan dalam UU Cipta Kerja kenaikan upah minimum dihitung hanya berdasar variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi (bukan akumulasi).
Namun, dalam PP No. 36, terdapat tambahan formula baru yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah, yaitu penyesuaian nilai upah minimum ditetapkan dalam rentang nilai batas atas dan batas bawah.
"Ini sangat memalukan di tengah kondisi rakyat yang semakin sulit dan daya beli masyarakat yang semakin rendah. Rakyat dipaksa untuk terus miskin," tutur Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, kepada Katadata, pekan lalu.
Menurutnya, formula baru rentang nilai batas atas dan batas bawah dalam PP No. 36 tahun 2021 inilah yang membuat kenaikan upah minimum 2022 hasilnya justru di bawah inflasi ataupun pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan UMP tahun 2022 juga tidak mepertimbangkan fakta bahwa tidak ada kenaikan UMP pada tahun ini.
"Kami kecewa dan marah. Kalau pemerintah mau fair, harusnya juga mempertimbangkan bahwa 2021 tidak ada kenaikan. Buruh juga merupakan yang paling terdampak pandemi,"ujarnya.
Sebagai informasi, berdasarkan hitungan ASPEK Indonesia, minimal kenaikan UMP tahun 2022 adalah 10%.
"Angka 10% ini angka kompromi karena angka riil harusnya 20%. Kalau naik 1,09% sama saja tidak naik," tutur Mirah.
Menurutnya, UU Cipta Kerja No. 11 tahun 2020 dan PP No. 36 tahun 2021 semakin membuktikan bahwa Pemerintahan Joko Widodo memberikan karpet merah kepada pengusaha dan tidak berpihak pada pekerja dan rakyat Indonesia.
"Kamu sudah mengajak berunding dan memberikan data serta usulan komprehensif. Mereka tidak mendengarkan ya kita turun jalan. Apa daya, kita hanya punya kekuatan di sana,"ujar Mirah.
Berbeda dengan suara buruh, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani menilai perhitungan UMP sesuai PP No 36 Tahun 2011 sudah adil dan sesuai.
"Ini kan mengkoreksi peraturan yang selama ini justru memperkecil lapangan kerja. Angka kenaikan 1,09% kelihatannya kecil karena memang yang selama ini kenaikannya kan sangat besar," tutur Haryadi, kepada Katadata, pekan lalu.
Dia mencontohkan besarnya kenaikan UMP Jakarta dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi itu justru membuat banyak perusahaan tidak mampu membayar sesuai UMP sehingga memilih mengurangi pekerja.
Dalam catatan statistik Jakarta, UMP Jakarta naik sebesar 63,5% dari Rp 2,7 juta pada tahun 2015 menjadi Rp 4.416.186 pada tahun 2021.
Dia menambahkan dasar perhitungan UMP lama sangat lemah karena tidak memasukan semua indikator makro yang diperlukan.
"UMP kan jaring pengaman sosial, upah yang diterima bagi mereka yang baru bekerja bukan upah rata-rata. Sebagian besar pekerja kita itu lulusannya SMP ke bawah," tuturnya.
Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional Adi Mahfudz Wuhadji mengatakan kenaikan UMP tahun 2022 yang ditetapkan sebesar 1,09% seharusnya tidak mengagetkan.
Pasalnya, besaran tersebut sudah mengikuti ketentuan yang barlaku.
"Kita ikuti saja regulasi yang ada. Buruh dan pekerja tidak perlu khawatir. Ke depan, jika ekonomi sudah recover dan pertumbuhannya bagus maka otomatis UMP akan naik dengan sendirinya, " tutur Adi, akhir pekan lalu.
Dia mengingatkan kenaikan UMP sudah ditetapkan berdasarkan kesepakatan pemerintah, pengusaha, dan pekerja.
"Ini kan tidak diputuskan secara sepihak karena memang tidak boleh demikian. Dari sisi kami, Dewan Pengupahan hanya memberikan rekomendasi. Rekomendasi kami berdasarkan BPS,"ujarnya..
Inflasi dan pendapatan tahun 2022
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus mengatakan wajar jika UMP naik tiap tahun karena mengikuti pertumbuhan ekonomi dan pergerakan inflasi.
Pertumbuhan ekonomi dan pergerakan inflasi tahun 2021 memang masih rendah. Namun, dia mengingatkan inflasi bisa naik tajam tahun depan menyusul membaiknya ekonomi. Kondisi tersebut bisa menggerus upah.
"Tahun depan inflasi akan lebih tinggi, terutama inflasi bahan pangan. Persoalannya adalah bagaimana mempertahankan daya beli buruh," tutur Ahmad, kepada Katadata, akhir pekan lalu.
Ahmad mengatakan adalah tugas pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama buruh. Pasalnya, kenaikan UMP bisa menjadi sia-sia jika harga bahan pangan dan kebutuhan lain terus melambung.
"Yang kita perlu bangun adalah bagaimana agar upah riil meningkat. Bagaimana saat pendapatannya naik kesejahteraannya juga meningkat,"ujarnya.
Menurut Bank Indonesia, penentuan UMP sering kali mempengaruhi pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang.
Kondisi tersebut membuat kenaikan harga barang terjadi meskipun ketersediaan barang mencukupi.
Pada saat penentuan UMP, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.