• Pemerintah menyebut pembuatan Perppu Cipta Kerja mendesak karena ancaman krisis global.
  • Langkah pemerintah mengeluarkan Perppu dianggap bertolak belakang dengan keputusan MK tentang UU Cipta Kerja.
  • Poin-poin bermasalah dalam Perppu menjadi sorotan serikat buruh dan pekerja. 

Tahun baru, muncul peraturan baru. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang alias Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Presiden Joko Widodo menerbitkan aturan tersebut dua hari sebelum pergantian tahun. Keberadaan Perppu otomatis menggugurkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang inkonstitusional bersyarat pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. 

Pemerintah beralasan penerbitan Perppu itu bersifat mendesak. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut, perekonomian Indonesia akan menghadapi ancaman resesi global dan ketidakpastian yang tinggi tahun ini. 

Ancaman krisis, menurut dia, semakin nyata. Sebanyak 30 negara telah meminta bantuan kepada Dana Moneter Internasional (MF). “Semua negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim,” katanya dalam konferensi pers, Jumat (30/12).

Alasan lainnya, pemerintah harus mengembalikan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN di bawah 3% pada 2022. “Tentunya dengan keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini diharapkan kepastian hukum bisa terisi,” ucap Airlangga. 

Sebagai informasi, presiden dapat menetapkan Perppu dengan kriteria kegentingan yang memaksa. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22 ayat 1 dan aturan turunannya. Namun, belum ada satu pun aturan yang secara eksplisit mengatur kriteria kegentingan tersebut. 

Tak seperti undang-undang, peraturan pemerintah pengganti UU disusun oleh pemerintah sendiri. Namun, penerbitannya tetap harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Airlangga menyebut, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 telah melalui konsultasi dengan Ketua DPR. 

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pemerintah memilih mengeluarkan Perppu karena undang-undang yang diperlukan belum ada. 

Kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan menghadirkan undang-undang dengan proses biasa. Prosesnya memakan waktu lama, sedangkan keadaannya mendesak. “Pemerintah memandang cukup alasan untuk mengeluarkan Perppu,” kata Mahfud. 

PRESIDEN JOKOWI TERBITKAN PERPPU CIPTA KERJA
Konferensi pers penerbitan Perppu Cipta Kerja. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/YU)

Kritik Perppu Cipta Kerja

Kritik lantas bermunculan. Anggota komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty PRasetiyani Aher berpendapat, penerbitan Perppu hanya menjadi cara pemerintah menyiasati keputusan MK. Padahal, MK telah meminta UU Cipta Kerja diperbaiki dalam kurun waktu dua tahun.

MK memutuskan UU Cipta Kerja cacat secara formil. Pasalnya, tata cara pembentukannya tidak berdasarkan proses dan metode yang pasti. Selain itu, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi setelah persetujuan DPR dan pemerintah. 

Pengesahan undang-undang yang kerap disebut Omnibus Law itu dilakukan secara terburu-buru. Seminggu setelah sidang paripurna, draf finalnya diedarkan ke publik. Tebalnya 812 halaman tapi ternyata tidak sama dengan yang dikirim ke Badan Legislatif DPR yang setebal 905 halaman.

Sebelum itu, ada pula versi 1.028 halaman, 1.035 halaman, dan 1.052 halaman yang beredar di publik. Lalu, setelah paripurna berakhir, anggota DPR dari PKS dan Partai Demokrat menerima versi digital atau soft copy Omnibus Law setebal seribu halaman. Substansi draft tersebut ternyata tidak sama dengan versi final 812 halaman. 

Netty merasa sikap pemerintah arogan karena membentuk Perppu tanpa memperbaiki undang-undangnya terlebih dulu. “Eloknya diperbaiki dulu sehingga status UU Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat dapat berubah,” ucapnya. 

Sikap pemerintah juga ia nilai berbahaya bagi proses demokrasi. Pemerintah terlihat tidak menghormati keputusan MK selaku lembaga yudikatif yang telah meminta perbaikan Omnibus Law. 

Senada dengan PKS, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Renanda Bachtar menyebut, penerbitan Perppu sulit masuk akal sehat. Tidak ada kegentingan yang memaksa dalam penerbitannya.

Presiden Joko Widodo, menurut Renanda, berhutang penjelasan pada publik terkait Perppu Nomor 2 Tahun 2022. “Perang Rusia-Ukraina menjadi alasan, ini amat sangat mengada-ada. Kenapa tidak memasukkan isu uji coba nuklir Korea Utara atau bencana badai salju di Amerika sekalian sebagai alasan?” ucapnya. 

Halaman:
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement