Banyak Masalah pada Peleburan Kemenristek dan Kemendikbud

Yanuar Nugroho
Oleh Yanuar Nugroho
17 April 2021, 07:00
Yanuar Nugroho
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Sejumlah pegawai berada di Kantor Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) /Badan Riset dan Inovasi Nasional di Jakarta, Minggu (11/4/2021). Presiden Joko Widodo mengusulkan melebur Kemenristek dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seiring dengan kebijakan pemerintah memisahkan Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN menjadi lembaga otonom.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) mengamanatkan BRIN sebagai pelaksana riset dan inovasi. Mengubah, atau menambahkan, peran BRIN dengan melekatkan peran kebijakan akan menyalahi prinsip tata kelola yang baik.

Namun, lebih penting lagi, memaksakan BRIN menjadi lembaga yang mengurusi kebijakan sekaligus pelaksanaan riset memunculkan potensi tumpang tindih peran maupun kemungkinan penyelewengan kuasa (abuse of power) yang semakin besar.

Selain itu, ada wacana pembentukan “Dewan Pengarah” dalam tubuh BRIN – beberapa pihak bahkan ingin mengisi dewan ini dengan figur politik – yang sangat memungkinkan hal tersebut terjadi. Pemerintah harus memastikan bahwa BRIN tidak menangani kebijakan riset dan inovasi nasional, selain kebijakan internal kelembagaannya.

3. Kemendikbud-ristek dan BRIN akan butuh waktu lama untuk menyelesaikan tahapan pembentukan lembaga, administrasi, serta keuangannya.

Sebagai pelaksana riset dan inovasi, BRIN punya pekerjaan rumah yang sangat besar. Lembaga ini harus mengintegrasikan semua lembaga pemerintah non-kementerian di bidang riset seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Badan Tenaga Nuklir Nasional, dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir, serta badan/unit penelitian dan pengembangan di berbagai Kementerian dan Lembaga.

Proses semacam ini, dalam sejarah pemerintahan, terbukti butuh waktu lama dan bisa bertele-tele. Ketika Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dibentuk pada 2018, misalnya, dibutuhkan setahun lebih untuk bisa beroperasi. Demikian juga dengan Badan Restorasi Gambut  maupun Kemenristekdikti di masa Kabinet Kerja (2014-2019).

Kemendikbud-ristek dan BRIN kemungkinan besar akan mengalami hal serupa. Karena itu, Presiden Jokowi sendiri mungkin harus turun tangan memastikan anggaran dan struktur segera selesai. Jika hal ini tidak tertangani, ada potensi besar kekosongan koordinasi ristek dan inovasi.

Pemerintah harus mengantisipasi ini supaya tidak mengganggu berbagai kegiatan riset dan inovasi yang tengah berjalan, termasuk upaya penanganan COVID-19  seperti vaksin dan alat tes, hingga terkait warisan yang diinginkan Presiden Jokowi seperti mobil listrik dan digitalisasi berbagai layanan.

Mau dibawa ke mana arah riset negara?

Pembentukan lembaga koordinasi pelaksanaan riset nasional seperti BRIN jelas tidak salah – bahkan perlu didukung. Namun, jika mau dikenang sebagai pemerintahan yang meletakkan landasan kemajuan bangsa, langkah membubarkan Kemenristek adalah langkah yang salah.

Langkah ini bahkan tidak sejalan dengan upaya mewujudkan Indonesia 2045, yang visinya adalah menjadi satu dari lima pemimpin dunia dengan ekonomi berbasis pengetahuan dan inovasi.

Kunci membangun ekonomi berbasis ilmu pengetahuan –- dan bukan ekonomi berbasis jual-beli komoditas – dimulai dari memberi ruang bagi ilmuwan untuk berkarya, mendorong pengembangan dan komersialisasi hasil riset mereka, memastikan kebijakan yang berbasis data dan bukti, hingga membangun kapasitas negara lewat birokrasi dan institusi.

Itulah mengapa tata kelola riset dan inovasi harus dijaga dengan baik. Caranya dengan memastikan kebijakan dan implementasi riset berjalan dengan strategi yang matang – bukan ala kadarnya dan asal-asalan karena serba tergesa-gesa.

Apabila ini tidak diperhatikan, sejarah akan mencatat pemerintahan Presiden Jokowi sebagai pemerintahan yang membubarkan kementerian yang bertugas mengembangkan riset dan teknologi di Indonesia.

The Conversation

Halaman:
Yanuar Nugroho
Yanuar Nugroho
Research Advisor, Centre for Innovation Policy and Governance
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...