4 Langkah Agar Hutan Bebas Emisi di 2030 Tak Sekadar Target

Mahawan Karuniasa
Oleh Mahawan Karuniasa
13 November 2021, 11:00
Mahawan Karuniasa
Katadata/Ilustrasi: Joshua Siringo-Ringo
Foto udara lahan gambut yang terbakar di wilayah Jalan Dulin Kandang, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Sabtu (24/4/2021). Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di atas lahan gambut seluas lima hektare tersebut berhasil dipadamkan oleh petugas gabungan yang terdiri dari Tim Pemadam kebakaran Dinas Kehutanan, TNI, Polri, BPBD, Manggala Agni dan relawan pemadam kebakaran.

Implementasi prinsip pengelolaan hutan lestari menjadi isu penting yang harus dilaksanakan pemegang konsesi dari sektor perkebunan, pertanian, maupun hutan tanaman industri (HTI) seperti tanaman akasia. Pengusaha sektor HTI, misalnya, harus memastikan angka penebangan setiap tahunnya tidak melampaui tingkat pertumbuhan alami hutan tersebut.

3. Restorasi hutan sekunder

Regenerasi hutan dengan memulihkan hutan alam sekunder juga menjadi kunci keberhasilan penyerapan karbon. Hutan sekunder adalah hutan yang terbentuk secara alami setelah terjadi kerusakan ataupun perubahan bentangnya akibat aktivitas manusia.

Upaya restorasi menjadi penting karena berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, angka deforestasi hutan sekunder selama 2019-2020 mencapai 104,4 ribu hektare. Angka ini lebih tinggi dibandingkan kawasan hutan primer (hutan yang belum terdampak aktivitas manusia) dalam periode tersebut di Indonesia.

Indonesia membutuhkan setidaknya restorasi seluas 1,7 juta hektar hutan sekunder untuk mencapai kondisi bebas emisi sembilan tahun mendatang. Penanaman kembali pada area-area terdeforestasi dan terdegradasi baik ekosistem hutan dan non-hutan untuk memulihkan ekosistem, juga menaikkan angka penyerapan karbon.

4. Pendanaan negara maju

Langkah strategis lainnya untuk mendukung ambisi net-sinkadalah pengembangan kapasitas para pihak, serta menggalang pendanaan negara maju.

Pemerintah dapat mengembangkan model-model kemitraan internasional untuk mendapatkan pembayaran berbasis kinerja (result based payment) seperti program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).

Pola kemitraan yang adil pun mesti dijaga. Misalnya, mekanisme pembayaran yang dilakukan negara maju tidak bersifat tukar guling atas perhitungan karbon di Indonesia.

Adapun target yang ditetapkan Indonesia dalam strategi kehutanan LTS-LCCR masih bersifat umum. Pemerintah perlu melengkapinya dengan pedoman pelaksanaan yang lebih rinci yang dapat dievaluasi secara kuantitatif maupun spasial.

Berbagai strategi pengurangan emisi, terutama sektor kehutanan, juga harus diintegrasikan dengan perencanaan strategis lainnya. Misalnya, rencana tata ruang wilayah (RTRW), perencanaan pembangunan nasional di tingkat pusat, maupun perencanaan strategis dari institusi pemerintahan dan lembaga tertentu.

Agar sejalan dengan visi Indonesia 2045 menjadi negara maju, upaya pencapaian net sink sektor kehutanan dan lahan pada 2030 juga harus memberikan kontribusi ekonomi, serta mendorong transisi ke arah ekonomi hijau di tingkat nasional maupun di daerah-daerah.

The Conversation

Halaman:
Mahawan Karuniasa
Mahawan Karuniasa
Dosen Program Studi Ilmu Lingkungan
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami