Ampuhkah Anggaran Besar Internet Mengatasi Kesenjangan Digital?
Keterampilan dalam menggunakan medium seperti memahami cara menggunakan dan mengoperasikan perangkat digital (misal laptop, PC) menjadi prasyarat mendasar. Pengguna idealnya memiliki kemampuan untuk menggunakan beragam teknologi digital untuk ragam kepentingan berbeda. Pengguna yang memiliki keterampilan digital yang mumpuni tentu akan berkinerja lebih baik.
Selain itu, kecakapan dalam mengolah informasi (information literacy) akan membantu pengguna untuk memilih dan memilah informasi yang penting dan relevan. Kasus banyaknya misinformasi dan disinformasi yang terdistribusi di ruang daring, terutama ruang media sosial, menunjukkan literasi informasi perlu ditingkatkan.
Aspek pemahaman yang masih rendah atas keamanan untuk melindungi data dan informasi dalam media digital menjadi keprihatinan lainnya. Penggunaan third-party applications atau two-factors authentication bisa mencegah terjadinya pencurian data.
Untuk mengurangi kesenjangan digital pada level kedua bisa melalui pendidikan formal atau informal. Pemerintah perlu mengkomunikasikan kepada publik terkait strategi untuk menutup kesenjangan digital pada level kedua. Negara seperti Vietnam sudah menjadikan pembelajaran program komputer pada tingkat sekolah menengah pertama dan atas.
Apabila pemerintah ingin mengejar bonus demografi dengan menciptakan sumber daya yang memiliki kecakapan digital yang baik dan mampu menggunakan internet secara produktif, strategi baru perlu diciptakan melalui pembuatan kurikulum digital ataupun penciptaan pelatihan-pelatihan informal.
Kesenjangan level ketiga mengidentifikasi keuntungan yang didapat, baik keuntungan ekonomi, sosial, budaya, maupun personal. Tidak semua pengguna internet bisa mendapatkan keuntungan ekonomi. Sebagian besar pengguna internet masih menjadi konsumen baik dari sisi mengkonsumsi tayangan hiburan atau konsumen bisnis daring.
Dari aras sosial, meningkatnya polarisasi publik dan maraknya berita kebencian di internet, mereduksi sosial kapital dalam masyarakat. Warga negara semakin mudah terpecah dengan isu-isu primordial atas dasar misinformasi dan disinformasi. Undang-Undang Informasi dan Traksasi Elekronik ternyata menjadi katalis polarisasi publik ketika bisa digunakan sebagai alat kekuasaan untuk meredam pluralitas opini publik.
Pemerintah perlu memiliki data yang akurat terkait keuntungan yang didapat oleh individu melalui internet. Badan Pusat Statistik bisa menjadi garda depan untuk mengumpulkan data publik terkait sejauh mana internet memberikan keuntungan ekonomi, sosial, budaya, dan personal kepada penggunanya. Sehingga apabila ditemukan efek bumerang yang tidak diinginkan, intervensi sosial bisa cepat dilakukan.
Masyarakat Digital: Kesenjangan Sosial dan Ekonomi Makin Dalam
Dengan memahami kompleksitas masyarakat digital dan pengidentifikasian terhadap elemen penting terkait kesenjangan digital, publik dan pemangku kebijakan bisa mendiskusikan kembali langkah kebijakan yang telah diterapkan pemerintah.
Apakah menekankan kepada investasi infrastruktur dengan penggunaan dana yang besar akan memberikan imbalan ekonomi setimpal? Terutama pada masa pandemi saat ini ketika keuangan negara memiliki keterbatasan.
Kerangka berpikir kesenjangan digital (Gambar 1) memberikan peringatan bahwa menuju masyarakat digital mensyaratkan tiga lapisan yang berbeda namun saling berhubungan. Pun, pemberian akses fisik jaringan juga mensyaratkan adanya akses material pada saat bersamaan.
Apakah petani desa yang diberikan akses kepada internet akan bisa mendapatkan manfaat ekonomi? Ada elemen individu, seperti kemampuan ekonomi terkait material akses baik untuk membeli atau merawat perangkat digital yang harus diperhatikan.
Ada faktor akses material, individu pengguna (misal keterampilan dan ragam penggunaan), dan sosioekonomi yang berkontribusi dalam penciptaan kesenjangan. Selain itu, pengetahuan dan pemahaman atas perangkat digital dan cara penggunaan yang produktif bukan sesuatu yang otomatis didapatkan.
Asumsi bahwa generasi digital natives akan mendapatkan secara langsung keuntungan digital (digital dividend) tidak memiliki dasar empiris. Teknologi digital adalah teknologi eksperiensial. Pengguna perlu memiliki pengetahuan dasar dan melakukan praktik untuk bisa mengoptimalkan teknologi dan mendapatkan keuntungan.
Karena itu, pandangan bahwa teknologi internet memperdalam kesenjangan ekonomi tentu perlu mendapatkan perhatian. Platform ekonomi seperti Gojek dan Grab ternyata semakin mengeksploitasi pekerja paruh waktu (gig worker) yang semakin banyak jumlahnya saat ini. Pekerja paruh waktu menjadi kelompok marginal tanpa perlindungan asuransi, jaminan masa tua, dan karier.
Tentu pemerintah tidak ingin masyarakat digital justru menciptakan masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas yang semakin lebar kesenjangannya.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.