Mengapa Intensifikasi Pertanian Lebih Tepat untuk Ketahanan Pangan?
Di tengah meningkatnya kebutuhan akan pangan yang diikuti dengan kenaikan harganya, pasokan pangan dan hasil pertanian justru terancam menjadi tidak menentu. Salah satu yang berperan dalam hal ini adalah krisis iklim global yang mengganggu produktivitas pertanian.
Kementerian Pertanian memiliki target untuk memproduksi padi sebanyak 54,7 juta ton, kedelai 0,3 juta ton, tebu 3,2 juta ton, dan daging 4,9 juta ton melalui program food estate. Target ini terbilang ambisius mengingat risiko dari kebijakan pembukaan lahan secara masif atau ekstensifikasi.
Dalam jangka panjang, ekstensifikasi pertanian tidak hanya mengurangi luas hutan, juga dapat berdampak buruk pada produktivitas dan hasil pertanian.
Sebuah studi di Zambia menunjukkan bahwa ekstensifikasi pertanian dapat menurunkan soil organic carbon dan soil nitrogen sebesar 23 persen dan 22 persen hingga menekan hasil pertanian hingga 35 persen. Berkurangnya hasil pertanian juga tentunya berdampak pada peningkatan kemiskinan karena harga pangan akan bertambah tinggi.
Krisis iklim global dengan ketidakpastian cuaca membawa tantangan dan ancaman bagi produktivitas pertanian di Indondia dan menambah pekerjaan rumah pemerintah dalam bidang agrikultur.
Ekstensifikasi pertanian tentunya tidak bisa menjawab tantangan pasokan pangan. Bahkan, alih-alih menjadi solusi, pembukaan lahan yang tidak berkelanjutan sendiri ikut memicu krisis iklim global.
Tujuan dari kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian adalah sama-sama untuk meningkatkan produksi dan produktivitas. Ekstensifikasi pertanian berusaha meningkatkan produksi pertanian melalui perluasan areal tanam.
Sementara intensifikasi berusaha menaikkan produksi per hektare dengan memanfaatkan lahan yang ada. Caranya melalui peningkatkan penggunaan input pertanian seperti pestisida, pupuk, peralatan, dan teknologi.
Intensifikasi pertanian yang berkelanjutan sangat penting karena tidak memperluas areal tanam, tetapi memanfaatkan lahan yang sudah ada melalui penyuluhan, penggunaan bibit unggul, perbaikan kesehatan dan nutrisi tanah, penggunaan pupuk yang sesuai dan juga teknologi pertanian.
Perluasan areal tanam tanpa usaha konkrit untuk menjamin keberlanjutan intensifikasi dan yang bertanggung jawab, berpotensi merusak alam dan merugikan masyarakat. Pembukaan lahan yang seringkali menyasar lahan hutan, padang rumput dan lahan gambut justru memperparah permasalahan krisis iklim dunia.
Pembukaan lahan juga mengancam kelangsungan aspek sosial dan ekonomi masyarakat serta mengganggu keanekaragaman hayati yang juga penting bagi keberlanjutan hidup manusia. Kebijakan pemerintah membuat lumbung pangan, atau food estate, merupakan contoh kebijakan ekstensifikasi pertanian. Pembukaan lahan seluas 2,3 juta hektare dalam program ini, termasuk hutan secara besar-besaran, sangat berpotensi memperluas dampak krisis iklim global.
Pengalaman proyek pengembangan lahan gambut satu juta hektare di Kalimantan Tengah di bawah pemerintahan Presiden Soeharto menunjukkan tidak cocoknya lahan gambut untuk padi. Pengolahan lahan gambut juga mengakibatkan pelepasan karbon ke udara sehingga memperparah perubahan iklim.
Indonesia juga masih memiliki banyak permasalahan pascapanen, seperti penyusutan hasil panen karena faktor cuaca dan karena kurangnya fasilitas mesin pengering atau kondisi mesin penggiling yang sudah kurang prima. Belum lagi permasalahan minimnya daya saing produksi pangan Tanah Air karena diproduksi lewat proses yang kurang efisien. Kurang efisiennya proses produksi menyebabkan harganya menjadi mahal dan berkaitan dengan permasalahan pascapanen yang sudah disebutkan sebelumnya.
Intensifikasi pertanian melalui penggunaan alat pertanian modern dan berkualitas memerlukan investasi yang besar, maka sudah selayaknya pemerintah juga fokus untuk menjaga iklim investasi pada sektor pertanian.
Krisis energi juga mendorong kenaikan harga bahan baku pupuk karena gas bumi, yang merupakan salah satu bahan baku utama pupuk, kian mahal. Meningkatnya harga pupuk, termasuk sebagai dampak konflik Rusia - Ukraina, sudah pasti berdampak pada petani Indonesia dan produktivitas pertanian.
Akibat harga bahan baku yang kian melonjak, produksi pupuk NPK dalam negeri yang menurun hingga 31,43 persen. Belum lagi distribusi pupuk bersubsidi di Indonesia yang masih bermasalah.
Pupuk yang tidak terjangkau dan langka sudah cukup lama dikeluhkan petani dan ini dapat mendorong petani menggunakan pupuk tidak sesuai dosis hingga akan mempengaruhi produktivitas pertanian.
Komitmen pemerintah dalam menangani dampak buruk perubahan iklim pada produktivitas pertanian dan juga ketahanan pangan di Indonesia, serta terwujudnya pertanian berkelanjutan harus diwujudkan dengan aksi nyata dan dieksekusi dengan strategi yang lebih komprehensif.
Ekstensifikasi pertanian, jika masih dilakukan, harus dibarengi dengan intensifikasi termasuk melalui penggunaan bibit unggul, pupuk yang tetat jenis dan dosis, perbaikan kesehatan tanah serta adopsi teknologi pertanian modern. Akan lebih baik lagi jika pemerintah meninggalkan ekstensifikasi dan hanya fokus pada intensifikasi.
Akses terhadap pupuk yang berkualitas dan terjangkau perlu dijamin karena ketidakpastian pasokan dan mahalnya pupuk dapat mendorong praktik penggunaan pupuk yang tidak sesuai dosis. Harga pupuk yang kini sudah mahal di tingkat petani, terancam terus meningkat jika melihat krisis energi yang sedang berlangsung.
Kesenjangan harga antara pupuk subsidi dan non-subsidi perlu diperkecil supaya tidak memunculkan potensi pasar gelap yang akan merugikan petani dalam mengakses pupuk yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Keterlibatan pihak swasta dalam penelitian, penyuluhan, dan promosi praktik pertanian yang berkelanjutan diperlukan untuk mempercepat adopsi pertanian berkelanjutan. Meningkatkan investasi pertanian juga tidak kalah penting untuk menopang ketahanan pangan di Indonesia, mengingat permasalahan pasca panen yang masih umum terjadi.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.