Penggunaan Blockchain Bisa Membantu Aksi Melawan Perubahan Iklim

Opini Blockchain
Oleh Stania Puspawardhani - Yandra Arkeman - Dhani S Wibawa
22 Agustus 2022, 17:33
Opini Blockchain
Katadata

Keempat, perdagangan karbon. Sejumlah peneliti telah membahas penggunaan blockchain dalam perdagangan karbon, token Betacarbon, dan pasar online Climatrade. Sejumlah tantangan yang ditemukan antara lain datang dari industri kripto sendiri. Terdapat dua opsi untuk melalukan perdagangan karbon berbasis blockchain, yaitu menggunakan sistem blockchain dan mata uang kripto sebagai alat pembayarannya atau menggunakan blockchain sebagai platform perdagangan karbon yang aman, transparan dan tidak dapat diubah.   

Kelima, Energi Hijau. Sistem energi di Indonesia sangat terpusat dan kebanyakan dimonopoli oleh pemerintah untuk menstabilkan harga. Tetapi biaya distribusi energi semakin tinggi seiring jauhnya jarak dari sumber energi –baik dari pabrik pengilangan maupun instalasi pembangkit listrik. 

Deloitte memprediksi blockchain akan mentransformasi industri energi terbarukan dengan inovasi infrastruktur transaksi yang mudah (seperti smart-contract) dan sertifikasi sumber energi hijau.  Blockchain memiliki keunggulan utama dalam ketertelusuran energi, mulai dari sumber energi, ritel sampai ke komsumsi akhir.         

Pengembangan teknologi sangat vital untuk mengatasi perubahan iklim. Sekretariat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Perubahan Iklim, UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) telah meletakkan sejumlah landasan dalam teks deklarasi asalnya pada tahun 1992, yang membahas aspek promosi, fasilitasi dan keuangan dari teknologi lingkungan hidup serta keahlian untuk mengurangi ataupun mencegah emisi GRK dari aktivitas manusia.

UNFCCC juga mendirikan Badan Technology Mechanism untuk mendukung upaya negara-negara mempercepat dan meningkatkan aksi terhadap perubahan iklim, sesuai komitmen yang telah dituangkan dalam National Determined Contribution (NDC) masing-masing. 

Perubahan iklim merupakan fenomena nyata dan kegiatan manusia telah meningkatkan konsentrasi GRK secara substantif, yang menyebabkan peningkatan suhu bumi dan rusaknya ekosistem. Terdapat dua strategi utama melawan perubahan iklim,  yaitu mitigasi (intervensi untuk mengurangi sumber emisis seperti pembakaran  fosil dari batu bara, minyak dan gas; atau meningkatkan penyerapan GRK) serta adaptasi.

Jika mitigasi berfokus pada penyebab perubahan iklim, maka adaptasi berupaya mengatasi dampak merugikan dari perubahan iklim. Solusi berbasis blockchain yang telah dijabarkan di atas dapat digunakan dalam kedua strategi tersebut. Koleksi keragaman genetik dapat masuk ke dalam strategi adaptasi; rantai pasok lestari dan perdagangan karbon merupakan bagian dari strategi mitigasi; sementara sertifikasi lahan dan energi hijau dapat dikategorikan dalam strategi Adaptasi dan Mitigasi.     

Tantangan Blockchain

Terlepas dari potensinya yang sangat besar, blockchain memiliki sejumlah tantangan. Ini antara lain sudah terdapat sistem transparansi dan keterlacakan yang digunakan secara luas dan efektif, selain blockchain. Selain itu, biaya pengembangan dan implementasi blockchain masih belum jelas. Tantangan hukum dan regulasi baik di tingkat lokal dan tinternasional juga masih belum terpetakan. Risiko integrasi organisasi dan ego sektoral yang masih tinggi juga bisa menghambat pengembangan blockchain. Apalagi teknologi blockchain juga relatif belum dikenal luas di masyarakat. 

Guna merengkuh potensi blockchain dan meminimalisasi keterbatasannya, diperlukan keterlibatan pemangku kepentingan. Ini penting untuk memahami perlunya migrasi dan adopsi blockchain ke dalam sistem secara menyeluruh dan bertahap. Termasuk di antaranya keterlibatan pemerintah, pihak swasta, masyarakat madani, akademia dan individu.   

BNI DUKUNG ENERGI TERBARUKAN
BNI DUKUNG ENERGI TERBARUKAN (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.)
 

Implementasi teknologi baru yang bersifat disruptif seperti blockchain, robotik dan kecerdasan buatan memerlukan sedikitnya lima faktor utama, yaitu: (1) kepemimpinan; (2) cara pandang terbuka; (3) sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan pengetahuan; (4) infrastruktur dan (5) kebijakan dan peraturan yang mendukung.  

Sebagai Presiden G20 tahun ini, Indonesia berada di lini depan untuk memimpin penyembuhan ekonomi global dengan memaksimalkan upaya dalam tiga pilar yang telah dicanangkan, yaitu Arsitektur Kesehatan Global, Energi Berkelelanjutan dan Transformasi Digital. Penggunaan solusi berbasis blockchain untuk mengatasi perubahan iklim merupakan capaian penting dalam target Energi Berkelanjutan dan Transformasi Digital.      

Perubahan iklim merupakan masalah yang nyata dan kini. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres menamakannya sebagai 'Kode Merah Kemanusiaan', sebuah istilah kedaruratan yang merujuk pada laporan dari Panel Perubahan Iklim Antarpemerintah (Intergovernmental Panel on Climate Change / IPCC) tahun lalu. Mengatasi perubahan iklim dengan teknologi tinggi merupakan sebuah keniscayaan, sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari lagi. 






Halaman:
Opini Blockchain
Stania Puspawardhani

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...