Ekonomi Transisi Energi dalam Undang-undang Energi Baru Terbarukan

Pri Agung Rakhmanto
Oleh Pri Agung Rakhmanto
25 Januari 2023, 16:55
Pri Agung
Ilustrator: Betaria Sarulina
Sebuah kendaraan alat berat beroperasi di area pembangunan Pembangkit Listirk Tenaga Bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Selasa (28/11). Pembangunan PLTB dengan kapasitas 75 megawatt tersebut akan membantu pasokan listrik di Wilayah Sulselbar dan ditargetkan rampung akhir tahun 2017 dengan kekuatan putaran 30 buah turbin kincir angin.
Edsus Telko dan EBT Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) (PLN)

Landasan Kepastian Hukum

Keberadaan undang-undang yang khusus mengatur tentang EBET (Undang-undang/UU EBET) nantinya diharapkan dapat menjawab permasalahan mendasar yang selama ini ada di dalam pengembangan EBT. Permasalahan tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang saat ini ada tersebar, tidak terintegrasi, tidak semuanya memiliki kekuatan setingkat undang-undang, sehingga seringkali terjadi disharmoni pengaturan.

Dapat dikatakan bahwa peraturan perundangan terkait EBET yang ada saat ini tidak cukup kuat dan tidak cukup komprehensif untuk menjadi landasan dan menjamin kepastian hukum yang diperlukan. Kepastian hukum, dalam konteks ini, sangat diperlukan sebagai landasan pelaksanaan berbagai program kebijakan EBET yang sejatinya telah cukup lama digariskan pemerintah.

Program-program seperti pembangunan PLT EBET On Grid, implementasi PLTS Atap, konversi PLTD ke PLT EBET, mandatori B30, Co-Firing Biomassa pada PLTU, eksplorasi panas bumi oleh pemerintah, hingga pada penerapan pajak dan perdagangan karbon di sektor energi. Semua ini memerlukan landasan hukum yang solid uhtuk dapat dijalankan.

Keberadaan UU EBET juga diharapkan dapat memperbaiki aspek tata kelola dan memperkuat kelembagaan di dalam pengembangan EBET. Terobosan terkait aspek kelembagaan. Misalnya, pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) Perencanaan dan Investasi EBET, yang dapat difungsikan sebagai executing agency di dalam pengembangan EBET, hanya akan dapat direalisasikan melalui perangkat regulasi setingkat undang-undang.

Lebih jauh, kepastian hukum diharapkan akan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi investor EBET. Dalam konteks ini, pengaturan terkait penentuan harga EBET, kebijakan terkait komponen lokal, jenis dan mekanisme pemberian insentif, baik insentif fiskal maupun non-fiskal, kepada pelaku usaha diharapkan akan lebih jelas dan benar-benar dapat diimplementasikan dengan adanya UU EBET.

Dengan kepastian hukum berusaha yang lebih baik, investasi, penciptaan nilai tambah ekonomi, dan pembukaan lapangan kerja baru di dalam pengembangan EBET, diharapkan akan berjalan dengan lebih progresif. 

PENGEMBANGAN PROYEK PLTP DIENG UNIT 2
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Dieng Unit 2. (ANTARA FOTO/Anis Efizudin/tom.)

Keekonomian Aspek Terpenting

Untuk dapat lebih workable dan merealisasikan objektif dari transisi energi secara khusus maupun ekonomi hijau secara lebih luas, beberapa aspek kritikal di dalam UU EBET perlu mendapatkan perhatian dan pengaturan khusus. Salah satu yang terpenting adalah aspek keekonomian.

UU EBET hendaknya memuat ketentuan-ketentuan yang dapat memfasilitasi dan pada tingkatan kepastian tertentu menjamin berjalannya mekanisme pasar di dalam investasi-investasi EBET secara sehat, efektif, dan efisien.

Sebagai contoh dalam hal ini adalah pengaturan di dalam penerapan harga listrik EBET maupun skema Feed In Tariff (FIT) yang menyertainya. Hendaknya di dalam pengaturan harga dan skema FIT ini UU EBET nantinya tidak sekadar menetapkan rentang skala harga dan FIT yang layak saja, tetapi juga mengatur secara lebih lugas bahwa pemerintah melalui mekanisme insentif ataupun subsidi tertentu adalah pihak yang akan menanggung selisih keekonomian investasi yang tidak dapat dicapai melalui mekanisme pasar murni.

Pengalaman di berbagai negara mengajarkan bahwa keekonomian di dalam sebagian besar investasi EBET memang memerlukan pengaturan cukup detail dan intervensi langsung dalam bentuk insentif baik fiskal maupun non-fiskal dari pemerintah. Termasuk di dalam hal ini misalnya adalah kejelasan pengaturan dalam hal kewajiban atau penugasan kepada pihak tertentu untuk membeli listrik yang dihasilkan dari pembangkit EBET dan atau di dalam menanggung selisih harganya yang mungkin masih di bawah nilai keekonomian.

Tanpa kejelasan tentang siapa pihak yang akan menanggung selisih keekonomian itu, dalam apa bentuknya, dan melalui mekanisme apa, sulit untuk mengharapkan investasi EBET akan dapat berjalan, apalagi dalam skala masif. Kejelasan di dalam aspek keekonomian UU EBET dapat dikatakan merupakan penentu keberhasilan dalam menjalankan transisi energi dan merealisasikan objektif-objektif mulia dari visi ekonomi hijau.  

Halaman:
Pri Agung Rakhmanto
Pri Agung Rakhmanto
Dosen di FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
Editor: Sorta Tobing

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...