Pameran Pemberantasan Korupsi ala Penegak Hukum

Raihan Muhammad
Oleh Raihan Muhammad
26 November 2025, 07:05
Raihan Muhammad
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Ruang konferensi pers di gedung penegak hukum—baik KPK maupun Kejaksaan—sering kali berubah menjadi panggung yang seragam. Lampu kamera menyala, barisan mikrofon disusun, dan petugas berdiri dengan wajah serius. Tak lama kemudian, seorang tersangka korupsi digiring masuk mengenakan rompi oranye atau merah muda, tangan terborgol dan kepala ditundukkan. Dalam hitungan detik, tampilannya menjelma seremoni publik yang memberi kesan ketegasan — meski proses peradilannya belum dimulai.

Di balik keramaian itu terdapat keganjilan yang sulit diabaikan. Lembaga yang semestinya bekerja dalam kehati-hatian justru tampak nyaman menghadirkan tontonan. Publik perlahan menerima pemandangan tersebut sebagai bagian wajar dari pemberantasan korupsi, seolah seseorang yang masih berstatus tersangka pantas diperlakukan sebagai bukti keberhasilan institusi.

Normalisasi tersebut membawa persoalan yang lebih dalam. Simbol-simbol seperti rompi dan borgol menggeser batas antara transparansi dan penghukuman simbolik. Ketika tersangka dihadirkan di depan kamera, martabat manusia dan integritas proses peradilan ikut dipertaruhkan. Pertanyaan mengenai kewajaran praktik ini jarang muncul, sementara asas praduga tak bersalah terkikis sedikit demi sedikit.

Masalahnya tidak berhenti pada visualisasi. Proses hukum turut terdorong ke ranah panggung, di mana sorotan kamera sering lebih menonjol daripada ketelitian penyidikan. Persepsi bersalah terbentuk bahkan sebelum dakwaan dirumuskan. Di titik itu, garis pemisah antara prosedur hukum dan hiburan publik menjadi semakin kabur.

Ritual semacam ini juga mengubah status “tersangka” menjadi vonis sosial. Tanpa ruang membela diri, tanpa kesempatan bagi pengadilan untuk bekerja, penilaian publik terlanjur terbentuk. Konferensi pers menggantikan ruang sidang, dan akibatnya reputasi serta martabat seseorang dapat runtuh permanen. Peluang memperoleh peradilan yang imparsial pun terancam sejak awal.

Lebih mengkhawatirkan lagi, pemajangan tersangka perlahan dijadikan indikator keberhasilan. Hadirnya rompi oranye dianggap cukup untuk menunjukkan bahwa hukum berjalan. Padahal pemberantasan korupsi membutuhkan penyidikan yang cermat, penuntutan yang kuat, dan putusan pengadilan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa fondasi itu, parade rompi hanya menciptakan sensasi visual yang menutupi rapuhnya proses penegakan hukum.

Praduga Tak Bersalah yang Terkikis Ritual Visual

Asas praduga tak bersalah sejatinya bukan sekadar slogan yang tercantum dalam undang-undang. Prinsip ini merupakan fondasi etik dan normatif sistem peradilan pidana, yang menuntut negara untuk menahan diri dalam memperlakukan seseorang sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pasal 8 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 18 ayat (1) UU HAM mewajibkan perlakuan tersebut. Bahkan hukum internasional—melalui ICCPR Pasal 14 ayat (2), yang juga mengikat Indonesia—menempatkan presumption of innocence sebagai hak fundamental yang tidak boleh dilanggar oleh otoritas mana pun.

Kendati demikian, prinsip tersebut mendadak cair begitu tersangka dibawa masuk ke ruang konferensi pers. Rompi oranye, borgol, dan parade visual lainnya menciptakan citra bersalah yang tidak dapat diimbangi oleh kata-kata “diduga melakukan”. Secara yuridis, status seseorang masih berada pada tahap suspect atau terduga, tetapi secara simbolik diperlakukan seolah memasuki tahap convicted tanpa melewati seluruh proses pembuktian.

Ritual ini mengacaukan tahapan hukum acara pidana. KUHAP mengenal struktur yang jelas: penyidikan untuk mencari bukti permulaan, penuntutan untuk merumuskan dakwaan, lalu pengadilan untuk menguji alat bukti secara imparsial. Pemajangan tersangka di hadapan media justru membalik urutan itu dengan menciptakan kesan final sebelum tahapan pembuktian dimulai. Dalam ilmu hukum, kondisi ini dikenal sebagai prejudicial publicity—publikasi yang berpotensi mengganggu independensi penegak hukum dan merusak imparsialitas hakim.

Dampaknya tidak kecil. Dalam banyak kasus, publikasi visual semacam itu memunculkan confirmatory bias dalam tubuh aparat karena penyidik, penuntut, bahkan hakim dapat terpengaruh oleh opini publik yang telah dibentuk lebih dahulu. Seolah perkara harus diakhiri dengan pembuktian yang mengafirmasi “penghukuman visual” yang sudah terlanjur beredar. Padahal asas keadilan menuntut sebaliknya: proses hukum harus bebas dari tekanan luar, termasuk tekanan yang lahir dari panggung konferensi pers.

Jika dicermati secara lebih dalam, pemajangan tersangka pun bersinggungan dengan hak atas martabat dan privasi yang dilindungi oleh hukum. ICCPR Pasal 17 melarang intervensi sewenang-wenang terhadap kehormatan seseorang. Sementara UU HAM Pasal 28 menegaskan hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap serangan terhadap kehormatan dan reputasi. Ketika negara justru menjadi pihak yang menginisiasi penghinaan simbolik ini, muncul persoalan serius dalam perspektif HAM.

Praktik pemajangan tersangka dengan demikian bukan hanya masalah etika komunikasi publik, melainkan persoalan struktural dalam penegakan hukum. Negara seolah lebih tertarik menampilkan simbol ketegasan ketimbang menjalankan standar hukum acara pidana yang ketat dan jujur. Selama paradigma ini dibiarkan, pemberantasan korupsi tidak hanya diselimuti sensasi, tetapi juga dibangun di atas pelanggaran prinsip hukum yang seharusnya menjadi pagar.

Perp Walk dan Budaya Hukum yang Salah Arah

Praktik perp walk yang kini menjangkiti penegakan hukum di Indonesia mencerminkan masalah yang jauh melampaui soal visualisasi tersangka. Akar masalahnya berada pada budaya hukum yang memberi ruang bagi simbol dan dramatisasi, alih-alih menempatkan proses hukum sebagai kerja institusional yang tenang dan terukur. Ketika aparat membiasakan diri menampilkan “hasil kerja” melalui momen publikasi, hukum bergeser menjadi medium pencitraan, bukan mekanisme pencarian kebenaran.

Dalam konstruksi budaya hukum semacam ini, konferensi pers mudah berubah menjadi ruang legitimasi instan. Publik disodori figur tersangka sebagai bukti bahwa lembaga bergerak. Padahal indikator keberhasilan penegakan hukum tidak semestinya diukur dari siapa yang berhasil dihadirkan ke depan kamera, tetapi dari kualitas dakwaan, kekuatan pembuktian, dan kemampuan memastikan proses peradilan berlangsung tanpa cela. Sayangnya, narasi keberhasilan lebih sering dibangun melalui simbol, bukan substansi.

Fenomena perp walk di Indonesia juga menunjukkan ketiadaan pedoman etik yang jelas dalam tata cara publikasi penyidikan. KUHAP tidak pernah mendesain penyidikan sebagai ruang konsumsi publik, dan tidak ada satu pun ketentuan yang mewajibkan aparat menampilkan tersangka sebagai bagian dari transparansi. Kekosongan regulasi inilah yang kemudian ditafsirkan secara luas oleh lembaga penegak hukum, hingga menormalisasi praktik yang sejatinya tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Selain persoalan regulasi, praktik pemajangan tersangka mengindikasikan masalah akuntabilitas. Penegakan hukum yang sehat menuntut setiap tindakan aparat memiliki dasar, tujuan, dan mekanisme pengawasan. Tidak adanya instrumen evaluasi yang memastikan apakah tindakan tersebut benar-benar diperlukan. Tanpa standar, tindakan tersebut berpotensi dilakukan semata karena kebiasaan institusi atau tekanan publik, bukan karena kebutuhan proses hukum.

Perp walk yang dibiarkan berlangsung tanpa koreksi menciptakan preseden buruk dalam sistem peradilan. Ketika simbol-simbol visual mengambil alih peran hukum, negara kehilangan arah dalam menegakkan keadilan. Reformasi bukan hanya soal melarang atau mengizinkan pemajangan tersangka, tetapi mengembalikan orientasi penegakan hukum: menjamin proses yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan mempertontonkan figur yang belum diuji kesalahannya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Raihan Muhammad
Raihan Muhammad
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...