Kerugian Negara Akibat Kriminalisasi Keputusan Bisnis

Erry Riyana Hardjapamekas
Oleh Erry Riyana Hardjapamekas
27 November 2025, 06:05
Erry Riyana Hardjapamekas
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Rehabilitasi yang diberikan Presiden Prabowo kepada tiga mantan direksi ASDP tidak serta merta menghilangkan kekhawatiran yang menghantui para petinggi BUMN. Mereka dapat sewaktu-waktu dikriminalisasi menjadi pesakitan korupsi lantaran keputusan bisnis yang diambil sewaktu memimpin perusahaan. 

Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Harry Muhammad Adhi Caksono bukan direksi BUMN pertama yang diseret ke meja hijau. Sebelum mereka, ada sederet petinggi perusahaan pelat merah yang didakwa korupsi karena dianggap lalai membuat keputusan yang menyebabkan kerugian negara

Di mata penegak hukum, kelalaian otomatis dianggap sebagai korupsi, meskipun tidak sepeser uang mereka terima. Padahal, cukup membuktikan dua hal: adanya niat jahat (mens rea) dan suap. Tanpa keduanya, sulit untuk menyampingkan jika “penegakan hukum” tersebut dinilai sebagai bentuk kriminalisasi keputusan bisnis.

Faktor kelalaian itu wilayah abu-abu. Apa definisinya? Dalam penegakan hukum, definisi harus jelas. Kelalaian itu manusiawi, karenanya kekeliruan dalam pengambilan kebijakan sangat mungkin terjadi. Namun, mengecapnya sebagai perbuatan jahat—korupsi—harus dengan ukuran jelas. Apakah kelalaian tersebut disebabkan suap atau permufakatan jahat, sehingga menguntungkan pihak lain? 

Saya khawatir, definisi yang serampangan dan sepihak dari aparat penegak hukum, lebih banyak mudaratnya. Bukannya memberantas korupsi dengan tepat, malah memadamkan semangat inovasi. Terobosan dan inovasi dibutuhkan BUMN untuk bersaing dengan perusahaan global. Inovasi membutuhkan biaya. Bisa jadi dari ratusan upaya inovasi hanya satu yang berhasil. Namun, bukan berarti yang gagal merupakan perbuatan korupsi.  

Ini dilema. Di satu sisi kita ingin merekrut direksi BUMN yang profesional dan bervisi jauh ke depan. Namun, kita akan kesulitan mendapatkan individu yang berkualitas dan bisa bekerja karena mereka takut dikriminalisasi, seperti yang dialami oleh mantan Direksi ASDP. Ini kerugian, karena sebenarnya banyak talenta Indonesia yang memiliki karier bagus di luar negeri. 

Secara makro, kerugian negara justru lebih nyata. Di mata pelaku usaha, berbagai persoalan ini memunculkan persepsi ketidakpastian hukum yang dapat berdampak pada iklim investasi. Kita tahu, investasi dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. 

Belum lama, saya mendapat pertanyaan dari kolega asal Norwegia mengenai situasi di Tanah Air. Termasuk, persoalan hukum yang membelit pelaku usaha lantaran keputusan bisnis yang mereka ambil. Dia mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia? Apakah ini politik? Terpaksa saya menjawabnya secara umum dan normatif.

Saya tentu setuju dengan penegakan hukum secara umum, pemberantasan korupsi secara khusus, tetapi harus dilakukan dengan jernih dan objektif. Ketidakpastian  menyebabkan kebingungan. Dalam dunia usaha, ketidakpastian menimbulkan biaya dan risiko yang besar. Sedangkan kebingungan berpotensi menghasilkan keputusan yang keliru.  

Saat ini tampak gejala persaingan tidak sehat di antara penegak hukum: Kepolisian, Kejaksaan Agung, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka seolah berlomba menunjukkan kinerja dalam menangani kasus korupsi. Konferensi pers dilakukan dengan memajang para tersangka, menyebut angka kerugian negara yang bombastis, bahkan memamerkan tumpukan uang yang berhasil disita.

Publik berhak bertanya mengenai asal muasal tumpukan uang tersebut. Apakah aparat meminjamnya dari bank untuk menunjukkan seolah-olah itulah jumlah kerugian negara? Semoga itu memang hasil nyata penyitaan, dan dengan itu kerugian negara berhasil dipulihkan

Saya melihat ini bukan persaingan yang sehat. Semestinya aparat penegak hukum bersaing dalam kualitas penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutannya. Bukan pada pertunjukan atau content creation yang tidak berpengaruh pada pengungkapan kasus. Konferensi pers seharusnya menunjukkan akuntabilitas penyidikan.

Ketika aktif sebagai komisioner KPK, kami senantiasa mengingatkan agar berhati-hati dalam memberikan keterangan kepada publik. Konferensi pers hanya dilakukan saat menetapkan seseorang sebagai tersangka. Itu pun harus dengan inisial karena kita sedang melepaskan hak sipilnya, seperti dapat digeledah, dibuka rekening dan data-data pribadinya. Dalam penegakan hukum, aparat tetap harus menganut asas praduga tak bersalah. 

Kriminalisasi yang menimpa pelaku bisnis, terutama di BUMN membutuhkan tindakan pemerintahan. Pemberian rehabilitasi memang salah satu cara, seperti yang Presiden Prabowo berikan kepada para mantan direksi ASDP. Namun, praktik itu tidak akan menjamin kriminalisasi akan berakhir karena aparat penegak hukum, termasuk hakim, memiliki pandangan yang berbeda mengenai business judgement rule

Ada sejumlah langkah mendesak yang dapat dilakukan saat ini. Pertama, merapikan aturan perundang-undangan, terutama yang berpotensi tumpang tindih dalam perkara korupsi. Kedua, memberikan kemuliaan kepada aparat penegak hukum dengan membekali pengetahuan terbaru dan menjamin kesejahteraan mereka. Ketiga, melakukan pengawasan yang ketat terhadap penegak hukum. 

Pemerintah perlu segera mengambil sikap, jangan sampai terulang kasus kriminalisasi. Jika ini terjadi, kerugian lebih besar akan dialami negara ini.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Erry Riyana Hardjapamekas
Erry Riyana Hardjapamekas
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...