Perlakuan khusus atas subsidi dan countervailing measures itu dihapuskan lantaran Indonesia telah dianggap sebagai negara yang mampu. "Sehingga Indonesia akan semakin sulit untuk membela diri dan membuktikan bahwa Indonesia tidak mensubsidi produk tersebut," kata Shinta kepada Katadata.co.id.

(Baca: Dianggap Negara Maju, Indonesia Terancam Bea Masuk Anti Subsidi AS)

Saat ini, Indonesia sedang menghadapi tujuh kasus tuduhan antisubsidi, yakni dari Amerika Serikat, Uni Eropa, dan India. "Estimasi nilai ekspor yang hilang minimal sebesar US$ 1,25 miliar per tahun apabila tujuh kasus ini dikenakan bea masuk anti subsidi," kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana beberapa waktu lalu.

Menurut Indrasari, ketujuh kasus tuduhan antisubsidi tersebut, yakni dua kasus dari Amerika Serikat untuk produk biodiesel dan penggunaan turbin angin.

Selanjutnya, dua kasus dari Uni Eropa untuk produk biodiesel dan hot rolled stainless steel sheet and oils. Sedangkan tiga kasus dari India untuk produk cast copper wire rods, flat stainless steel dan fiberboard.

Indrasari menjelaskan, Indonesia menempati posisi keempat sebagai negara anggota WTO yang paling sering dituduh subsidi setelah Tiongkok, India dan Korea Selatan.

(Baca: Strategi Pemerintah Kembangkan Biodiesel)

Sebagai gambaran, tuduhan atas produk biodiesel oleh AS dan Uni Eropa termasuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dinikmati oleh petani sawit. Dengan status sebagai negara maju, ada kemungkinan negara adidaya itu akan memperkarakan lebih banyak komoditas ekspor Indonesia, termasuk produk perikanan.

Apalagi, Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur pemberian subsidi perikanan. Perpres tersebut menjadi jawaban tehadap butir 14 sustainable development goals (SDGs) yang berisi larangan subsidi perikanan oleh organisasi perdagangan dunia (WTO).

Melobi Mitra Dagang

Selain menyiapkan Perpres, Pemerintah juga terus melanjutkan lobi. Pada 24 Januari 2020 lalu, Menteri Perdagangan RI Agus Suparmanto menghadiri Pertemuan Informal Tingkat Menteri sebagai rangkaian kegiatan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss. Pertemuan ini membahas berbagai isu dalam mempersiapkan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) yang akan diselenggarakan di Nur-Sultan, Kazakhstan 8-11 Juni 2020.

Salah satu yang dibahas adalah mengenai subsidi perikanan. Agus menambahkan, Indonesia juga akan menekankan pentingnya perhatian terhadap nelayan kecil yang mendominasi 96% sektor perikanan di Indonesia.

“Selain itu, dalam KTM ke-12 nanti, kami juga akan menyampaikan perlunya pemberian Special and Differential Treatment bagi nelayan kecil untuk mengembangkan kegiatannya di wilayah zona ekonomi eksklusif atau ZEE,” ujarnya.

(Baca: Jepang Mulai Bangun Sentra Perikanan di Natuna Tahun Ini)

Kepala Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengingatkan pemerintah agar lebih waspada jika ada negara atau otoritas lain mengikuti langkah pemerintah AS. Sebab, dibanding AS, saat ini produk Indonesia lebih banyak fasilitas GSP dari Uni Eropa.

Sebagai perbandingan, hanya 9% dari total ekspor Indonesia ke AS yang mendapatkan fasilitas GSP. Sedangkan Uni Eropa memberikan potongan bea masuk untuk sekitar 40% dari produk ekspor Indonesia.

Pencabutan fasilitas ini oleh Uni Eropa akan menjadi pukulan bagi neraca dagang Indonesia. “Jadi ini harus diwaspadai,” katanya.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika, Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement