Sejak pagi ratusan petani berunjuk rasa di seberang Istana Merdeka, Jakarta. Hari ini merupakan Hari Tani Nasional. Kedatangan mereka, salah satunya, untuk menentang Rancangan Undang-Undang Pertanahan.

Rancangan undang-undang itu tak jauh beda dengan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Banyak pasal kontroversial dan tak luput dari kritik.  

Tapi nasib RUU Pertanahan masih lebih baik ketimbang undang-undang komisi antirasuah. Pembahasannya dialihkan ke anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode mendatang.

Kepala Staf Kepresiden Moeldoko menyampaikan hal itu kemarin. "Sikap pemerintah sangat memperhatikan suara masyarakat," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (24/9).

Keputusan itu dibuat setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan pimpinan DPR. RUU Pertanahan lolos dalam pembahasan rapat paripurna DPR hari ini.

Namun, para petani tak serta-merta percaya dengan ucapan itu. Mereka tetap datang untuk menunjukkan sikap. “Sekarang ditunda. Bisa saja November disahkan,” kata orator dari atas mobil komando di depan Silang Monas seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sebelumnya berpendapat RUU Pertanahan yang ada sekarang bukanlah rancangan aturan yang sesuai dengan agenda reforma agraria. Justru, RUU itu tidak berpihak kepada rakyat, petani, juga masyarakat adat.

"RUU Pertanahan mengatur cara negara mengamputasi hak konstitusi agraria petani dan dan setiap warga negara Indonesia," kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika di Jakarta pada akhir pekan lalu.

Prinsip reforma agraria adalah keadilan, kemanusiaan, dan kedaulatan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Nah, RUU Pertanahan tidak memiliki prinsip menyelesaikan konflik, sumber kesejahteraan rakyat, mengatasi kemiskinan, dan pertimbangan ekologis. “Penyimpangan konstitusi dan UUPA terdapat hampir di seluruh bab dan pasal RUU itu,” ucap Dewi.

(Baca: Serikat Petani Demonstrasi di DPR Tolak Lima Undang-undang Bermasalah)

Aksi Menolak RUU Bermasalah
Aksi menolak RUU bermasalah, termasuk RUU Pertanahan. (ANTARA FOTO/NOVRIAN ARBI)

Persoalan kedua, RUU itu mencantumkan ketentuan pemerintah dapat menerbitkan hak pengelolaan (HPL) tanah berbasis hak menguasai negara. Pemerintah jadi memiliki hak untuk menertibkan tanah yang legalitasnya tidak bisa dibuktikan untuk kemudian menjadi tanah negara.

Hal tersebut tercantum dalam Pasal 42-45. Menurut Dewi, pasal-pasal ini dapat menimbulkan kekacauan. Apalagi, sebenarnya aturan serupa dengan konsep domein verklaring di zaman kolonial sudah dihapus di UUPA.

Yang ketiga, pasal 25 RUU Pertanahan mengubah perpanjangan hak guna usaha (HGU) dari 35 tahun menjadi bisa diperpanjang hingga dua kali sehingga total mencapai 90 tahun. Padahal, UUPA menyebutkan perpanjangan HGU hanya bisa dilakukan sekali.

Hal lain yang jadi persoalan adalah dalam pasal 79-81 RUU Pertanahan terkait sistem pengadilan pertanahan. Dewi menilai pembentukan pengadilan pertanahan tak bisa menyelesaikan konflik agraria struktural yang selama ini terjadi.

Justru, pembentukan pengadilan pertanahan dapat semakin melemahkan posisi petani, masyarakat miskin dan masyarakat adat atas tanah mereka. Alasannya, melalui pengadilan pertanahan yang akan diutamakan adalah masalah legalitas.

Padahal, banyak tanah petani, masyarakat miskin, dan masyarakat adat diukur bukan berdasarkan legalitas, melainkan prinsip keadilan sosial, pemulihan, hak, dan historis penempatan tanah secara turun-temurun.

(Baca: Darmin Klaim Demonstrasi Mahasiswa Tak Akan Berimbas ke Pasar Keuangan)

Selain itu, Dewi juga mempersoalkan adanya ancaman kriminalisasi bagi masyarakat yang berusaha mempertahankan tanahnya dari penggusuran. Ada ancaman pidana 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar bagi setiap orang atau kelompok yang menyebabkan sengketa lahan dalam Pasal 94 RUU Pertanahan.

"Itu pasal-pasal karet yang berpotensi mempidanakan petani, masyarakat adat, dan masyarakat di pedesaan," ucapnya.

Padahal menurut catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria, konflik agraria sebagian besar dipicu oleh kebijakan pejabat publik. Sektor yang paling banyak menyumbang terjadinya konflik itu adalah perkebunan.

Pada 2018, 60% dari 144 konflik agrarian di sektor perkebunan timbul pada komoditas kelapa swait. Praktik pembangunan dan ekspansi perkebunan di Indonesia pada kenyataannya banyak melanggar hak masyarakat atas tanah.

Dari grafik Databoks di bawah ini, pada 2017 terdapat 659 konflik agrarian. Hal ini merupakan angka tertinggi selama lima tahun terakhir.

(Baca: RUU Pertanahan Dinilai Tak Berpihak ke Petani dan Masyarakat Adat)

RUU Pertanahan Belum Sentuh Konflik Agraria

Dengan kondisi itu, banyak pihak menilai RUU Pertanahan hanya bertujuan mendorong investasi semata. Ketua Majelis Nasional Konfederasi Serikat Nasional Joko Purwanto mengatakan pemerintah hanya memfasilitasi perpanjangan hak guna usaha.

“Sejak awal kami lihat apa yang dibicarakan oleh rezim Jokowi lebih memfasilitasi investasi seluas-luasnya,” kata Joko.

Manajer Pengelolaan Pengetahuan Wahana Lingkungan Widup Indonesia (Walhi) Doni Moidady berpendapat RUU itu dapat menimbulkan bencana ekologis. Berbagai pasal di dalam RUU Pertanahan membuka peluang korporasi untuk memiliki lahan.

Sementara, selama ini korporasi terbukti kerap melakukan kegiatan yang berbahaya bagi lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang sedang terjadi di Sumatera dan Kalimantan salah satu contohnya. “Implikasinya, banyak perusahaan besar nanti akan membakar lahan,” ucap Doni.

Terbatasnya tanah bagi masyarakat juga akan membuat kesenjangan kepemilikan lahan antar laki-laki dan perempuan semakin besar. Mengutip data Badan Pertanahan Nasional, hanya sekitar 24,2% lahan saat ini terdaftar atas nama perempuan.

(Baca: Jokowi-JK Dinilai Gagal Realisasikan Agenda Reforma Agraria)

Ombudsman Republik Indonesia sebelumnya meminta pembahasan RUU Pertanahan dihentikan karena belum mengakomodir konflik-konflik agraria. "Konflik-konflik terkait pertanahan ini masih kerap terjadi. Apakah UU ini bisa mereduksi konflik-konflik yang ada?" kata Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih pada 9 September lalu.

Menurut data Ombudsman, selama 2015-2019 jumlah kasus pertanahan yang paling banyak dilaporkan masyarakat kepada lembaga tersebut, yakni 4.806 kasus.

Kasus maladministrasi proses Sertifikat Hak Milik (SHM) menempati laporan terbanyak periode Januari-Juni 2019 dengan 128 laporan. Kasus terbanyak kedua adalah penerbitan sertifikat (96 laporan) dan ganti rugi pembebasan tanah (46 laporan).

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami