Kemenangan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan bubarnya Koalisi Adil Makmur Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memunculkan pertanyaan, ke mana partai-partai pendukung kubu 02 akan berlabuh? Bubarnya Koalisi Adil Makmur menandakan partai-partai yang bernaung di dalamnya seperti Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, serta Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bebas menjalin hubungan dengan kubu mana pun, termasuk Jokowi-Ma'ruf.
Usai ditetapkan sebagai pemenang Pemilihan Presiden 2019 pada Minggu (30/6) lalu, Jokowi menyatakan membuka diri bagi semua pihak dalam membangun negara. Meski demikian, dia mengaku perlu berbicara dengan pengusungnya di Koalisi Indonesia Kerja (KIK) terkait potensi tambahan parpol yang masuk. "Saya harus mengajak berbicara yang sudah ada di dalam (koalisi)," kata Jokowi.
Wacana rekonsiliasi politik lalu mulai merebak, diikuti isu bergabungnya sejumlah partai ke barisan Jokowi. Beberapa partai yang menunjukkan gelagat bergabung, antara lain Demokrat dan PAN. Bahkan, Gerindra melalui wakil ketua umumnya, Arief Poyuono, sempat menyatakan koalisi Jokowi-Ma'ruf memerlukan Gerindra di dalamnya. Meski dia juga menyadari perlu adanya oposisi agar pemerintah tidak kebablasan.
(Baca: Luhut Sebut Upaya Pertemuan Antara Jokowi-Prabowo Hanya Soal Waktu)
Adapun PAN dan Demokrat yang sudah menunjukkan minat, tapi mengaku belum terburu-buru menentukan langkah apakah akan bergabung dengan koalisi Jokowi atau tidak. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan masuknya Demokrat ke Jokowi tergantung supply and demand (tawaran dan kebutuhan) koalisi 01 dengan partai berlambang mercy tersebut. "Kalau bagus, cocok dan menjanjikan, maka baru ada supply (pasokan dukungan)," kata Syarief.
Sedangkan Wakil Sekretaris Jenderal PAN Faldo Maldini mengaku ada suara di dalam internal partai berlambang matahari terbit itu yang ingin bergabung dalam pemerintahan mendatang. Oleh sebab itu dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Juli mendatang, PAN akan mengambil sikap politik ke depannya. "Kami harus akomodasi suara pengurus hingga tiap Ranting," kata Faldo.
(Baca: Koalisi Prabowo Bubar, PAN dan Demokrat Tak Buru-Buru Gabung Jokowi)
Suara di kubu 01 juga seolah terpecah menyikapi parpol yang ingin menumpang sekoci Jokowi. Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Ahmad Basarah awal bulan lalu menyatakan partai banteng terbiasa berkoalisi dengan beberapa partai termasuk dengan Demokrat.
Sementara, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto mengatakan partai yang ingin masuk perlu menyamakan visi misi dengan partai di dalam. "Komitmennya harus sama dengan partai yang sudah duluan (bergabung)," kata Airlangga pertengahan Juni lalu dikutip dari Antara.
(Baca: Koalisi Parpol Pengusung Prabowo-Sandi Resmi Bubar)
Namun suara keberatan dari koalisi juga mulai muncul. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan koalisi yang sehat haruslah dibentuk sebelum Pilpres. Adapun Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengatakan koalisi 01 saat ini mencapai 61 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Koalisi akan semakin gemuk apabila bertambah lagi anggotanya. "Yang penting jangan kurangi jatah PKB," katanya.
Risiko Politik
Pengamat menyebut, baik PAN maupun Demokrat merupakan dua partai yang berpeluang paling besar masuk koalisi Jokowi-Ma'ruf. Meski demikian, kebutuhan masuknya dua partai ini akan ditentukan oleh strategi Jokowi dalam menjalankan pemerintahan lima tahun ke depan.
Pengamat politik Exposit Strategic Arif Susanto mengatakan apabila Jokowi mengincar stabilitas jangka pendek, maka Demokrat lebih menguntungkan ketimbang PAN yang dianggap inkonsisten mendukung Jokowi pada 2014-2019. Meski demikian, meroketkan nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tentunya jadi risiko tersendiri bagi internal koalisi mengingat Pilpres 2024 di depan mata.
"Kalau Jokowi melihat (stabilitas) jangka panjang, mungkin memilih PAN karena mereka tak punya figur kuat," kata Arif kepada Katadata.co.id, Selasa (2/7).
(Baca: Golkar Terbuka Jika Partai Lain Masuk Koalisi Jokowi-Maruf)
Peneliti Lingkar Survei Indonesia Rully Akbar mengatakan secara historis dua partai ini tidak pernah menunjukkan gaya oposisi yang jelas sehingga laik dianggap berpeluang masuk ke dalam pemerintahan. Sementara, bagi PKS dan Gerindra, masuk pemerintahan berisiko membuat kehilangan basis pemilihnya. "Bisa dibilang mereka berdua ini kan isinya anti Jokowi," kata Rully kepada Katadata.co.id.
Menurut Arif dan Rully koalisi yang terlalu gemuk di parlemen membahayakan demokrasi dan soliditas koalisi itu sendiri. Arief bahkan memprediksi kestabilan koalisi politik Jokowi-Ma'ruf hanya bertahan dua sampai tiga tahun saja. Pasalnya jelang 2024, maka parpol akan kembali sibuk bermanuver masing-masing. "Bukan tidak mungkin polarisasi akan kembali terjadi di dalam dan antar koalisi," kata dia.
Rully mengatakan pemerintahan yang sehat perlu oposisi yang juga kuat meski tidak semua parpol siap menjadi oposisi. Meski demikian, ia meyakini partai besar lebih mampu menjalani peran oposisi laiknya yang dilakukan PDIP selama dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. "Saya pikir kecuali partai baru, partai lainnya siap," ujarnya.
Simulasi Suara Koalisi Hasil Pemilu 2019 dengan atau tanpa PAN-Demokrat
Suara Kubu Jokowi | Oposisi (Gerindra-PKS) | |
01 Tambah PAN-Demokrat | 76,62% | 22,87% |
01 Minus PAN-Demokrat | 62,01% | 37,48% |
Pendapat pengamat tersebut seakan diperkuat oleh Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS Mardani Ali Sera. Dia mengajak koalisi partai politik pemdukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Adil Makmur untuk melanjutkan kebersamaan menjadi oposisi konstruktif. Ia menganggap menjadi oposisi yang kritis merupakan pilihan paling rasional bagi partainya saat ini.
(Baca: Politisi PKS Ajak Eks Koalisi Pendukung Prabowo Jadi Oposisi Jokowi)
"Kami harus mengakui kemenangan Jokowi-Ma'ruf dan kami sama-sama mencintai negeri, tetapi tidak dengan bersama dalam koalisi. Kami menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif," kata Mardani, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (7/1).
Apabila bagi-bagi jatah kekuasaan berbalut rekonsiliasi politik sulit dilakukan, Arif Susanto menyarankan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf mengambil dua jalan lain. Pertama, berkoalisi dengan partai pendukung Prabowo di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendatang. Kedua, mengakomodir keinginan parpol pendukung 02 dalam legislasi di DPR. "Power sharing akan sulit karena sumber daya terbatas, kue (kekuasaan) tetap, yang dibagi malah lebih banyak," kata dia.
(Baca: Jokowi Mulai Terima Masukan Parpol untuk Menyusun Kabinet Baru)
Ancang-ancang sebagai oposisi demi menjaga demokrasi juga telah diambil Gerindra dalam akun Twitter resminya. Akun ini menyatakan rekonsiliasi tidak akan pernah terjadi, jika visi misi Indonesia Raya yang disampaikan Prabowo tak dilaksanakan oleh pemerintahan Jokowi. "Karena rekonsiliasi harus untuk kepentingan nasional dan bukan kepentingan penguasa," demikian cuit akun @Gerindra, Selasa (2/7).