“Pintu untuk pembicaraan perdagangan selalu terbuka tetapi negosiasi harus diadakan dalam suatu kondisi yang saling menghormati,” menurut dokumen yang diterima Kantor Berita Xinhua, seperti dikutip Bloomberg. “Negosiasi tidak dapat dilakukan di bawah ancaman tarif.”

Putaran terakhir pemberlakuan tarif oleh Amerika berlaku tepat setelah tengah malam waktu Washington terhadap daftar produk-produk Cina mulai dari daging beku hingga komponen televisi. Cina pun menyatakan siap membalas dengan mengenakan tarif pada barang-barang asal Amerika senilai US$ 60 miliar.

Pemerintah Cina menerapkan tarif balasan sepekan kemudian yang mencakup tarif 5 % tambahan pada sekitar 1.600 jenis produk Amerika, termasuk komputer dan tekstil, serta tarif 10 % tambahan pada lebih dari 3.500 item termasuk bahan kimia, daging, gandum, anggur, dan gas alam cair.

 

Risiko konflik dua negara berkekuatan ekonomi terbesar ini yang dikhawatirkan membawa resesi ekonomi dunia. Sejumlah ekonom memperingatkan bahwa perang dagang Amerika dan Cina dapat menggerogoti ekonomi global serta mengubah rantai pasokan perusahaan-perusahaan multinasional.

Sejumlah perusahaan telah mengeluhkan bahwa waktu antara pengumuman dan penerapan tarif terbaru pada ribuan produk terlalu pendek. Apalagi, perang perdagangan yang berlarut-larut dapat memukul inflasi di Amerika, terutama karena kenaikan tarif di beberapa kategori seperti furnitur, pakaian, dan teknologi. “Peritail sudah menghadapi gelombang pasang tarif. Yang terbaru ini adalah tsunami,” kata Wakil Presiden Perdagangan Internasional untuk Asosiasi Pemimpin Industri Ritail Hun Quach,.

Ketegangan sedikit mengendor di awal tahun 2019 ketika Trump menyatakan sepakat untuk mengakhiri perang tarif dengan Tiongkok. Hal itu bisa ditandatangani dengan Presiden Cina Xi Jinping jika kedua negara dapat menjembatani perbedaan yang tersisa.

Dilansir oleh Reuters, Trump mengatakan perundingan dagang Amerika-Cina semakin dekat untuk mencapai kesepakatan. Trump menunda kenaikan tarif senilai US$ 200 miliar yang semula dijadwalkan berlaku pada 1 Maret 2019. Keputusan ini menghadirkan sentimen positif ke pasar keuangan global pada perdagangan Senin (25/2/2019).

Sayang, mimpi membaiknya situasi tersebut buyar. Awal pekan ini Trump kembali mengancam menerapkan kenaikan tarif US$ 200 miliar dengan menuding Cina bertele-tele dalam proses perundingan.

Ranjau Perang Dagang Amerika di Penjuru Dunia

Presiden Donald Trump bukan hanya membuka front peperangan dengan Cina. Ketika hubugan dengan Beijing panas-dingin, dia berkicau melalui akun twitter-nya mengenai kondisi para petani di negaranya yang begitu “mengenaskan” lantaran ada ketidakadilan oleh beberapa negara, terutama Kanada dan Uni Eropa.

Trump pun menuliskan pada awal Juni tahun lalu, “Mereka harus membuka pasar dan menurunkan hambatan perdagangan! Mereka melaporkan surplus perdagangan yang sangat tinggi dengan kami.”

Karena surplus di kedua negara itu, neraca dagang pertanian Amerika defisit. Walau Uni Eropa dan Kanada merupakan sekutu tradisional Amerika, Trump tetap mengamcam keduanya. Seperti dikutip Reuters, dia mengatakan kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron tentang perlunya menyeimbangkan neraca perdagangan Amerika dan Eropa. 

(Baca juga: Indonesia dalam Bayang-bayang Perang Dagang Amerika-Tiongkok).

Trump menyampaikan ancaman tersebut setelah hari sebelumnya menaikkan tarif bea masuk baja dan alumunium dari Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa. Menteri Perdagangan Amerika Wilbur Ross mengatakan kedua komoditas tersebut dikenai tarif impor masing-masing 25 dan 10 %. Saat itu, Kanada merupakan pemasok baja terbesar ke Amerika.

Atas tindakan tersebut, Kanada akan mengenakan tarif balasan hingga C$ 16,6 miliar, sekitar US$ 12,8 miliar untuk impor Amerika. Komoditas yang dibidik mencakup wiski, jus jeruk, baja, aluminium, dan beberapa produk lainnya.

Langkah serupa hendak diambil Meksiko dan Uni Eropa untuk menaikkan pungutan atas jus jeruk, wiski, jeans biru, dan sepeda motor Harley-Davidson yang nilainya miliaran dolar Amerika. Akibatnya, saham Harley-Davidson turun 1,5 persen saat itu. Semntara Belgia mengajukan daftar sebanyak delapan halaman kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang berisi sejumlah produk untuk diperlakukan sebagai tindakan pembalasan.

Kelompok negara-negara dengan ekonomi maju yang tergabung dalam G7 pun mengisolasi Amerika. Pada pertemuan di Kanada, Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire mengecam Amerika. (Baca juga: Rupiah Masih Terombang-ambing Perang Dagang Amerika-Tiongkok).

Ancamannya diungkapn sebagai, “Kami akan memiliki G6 plus satu Amerika Serikat,” kata Le Maire di Whistler, British Columbia. Tindakan Donald Trump dituding membuka perang dagang makin luas yang memicu destabilisasi ekonomi dunia.

Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut tindakan Amerika memungut tarif lebih tinggi sebagai perbuatan ilegal dan kesalahan. Dia mengingatkan satu periode buruk pada masa lampau yakni sebelum Perang Dunia II. “Nasionalisme ekonomi mengarah pada perang. Inilah tepatnya yang terjadi pada 1930-an,” kata Macron seperti dikutip kantor berita AP. Ketika itu, resesi ekonomi melanda dunia.

Indonesia juga tidak mengharapakan situasi yang dapat memukul pertumbuhan eknomi global. Awal Februari lalu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengingatkan perang dagang antara Amerika Serikat  dan Tiongkok mengganggu stabilitas ekonomi dunia. Keadaan tersebut dapat meningkatkan proteksionisme banyak negara.

Trump

Akibatnya,  banyak negara di berbagai belahan dunia terpancing untuk menerapkan kebijakan proteksionisme. “Perang dagang yang diakibatkan kenaikan tarif sebenarnya merugikan negara itu sendiri karena inflasi akan meningkat dan konsumen dirugikan,” kata Enggar.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement