Kedua, perang dagang antara AS dan Tiongkok yang membuat jeri investor. Selain akibat suku bunga di AS yang kian menarik, kekhawatiran terhadap perang dagang mendorong investor untuk melikuidasi portofolio investasi di negara berkembang dan membeli aset finansial berjangka panjang di AS yang dinilai sebagai safe haven. Ini juga mendorong permintaan yang tinggi ke obligasi bertenor panjang yang pada gilirannya ikut menekan imbal hasil.

Sebaliknya, permintaan terhadap obligasi bertenor jangka pendek justru rendah, yang pada gilirannya mengerek imbal hasil surat utang bertenor pendek. Apalagi dengan kebijakan The Fed untuk terus menaikkan suku bunga acuan, para penerbit obligasi juga terpaksa menawarkan kupon lebih tinggi agar bisa bersaing dengan suku bunga yang ditawarkan perbankan.

Pertanyaannya, apakah ini berarti akan terjadi krisis? Mantan Gubernur The Fed Ben Bernanke membantahnya. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi AS di kuartal III-2018 cukup baik, Data pengangguran dan pertumbuhan upah juga masih positif. Data manufaktur yang dirilis pekan lalu juga menggembirakan. Singkat kata, kalau merujuk ke indikator makro, tak perlu ada kekhawatiran resesi.

Fenomena inverted yield curve juga tak selalu berujung krisis. Pertengahan 1960-an, kurva imbal hasil terbalik muncul dan tak ada krisis. Sebagian ekonom menilai, tak ada hubungan sebab-akibat antara inverted yield curve dengan krisis. Yang ada hanya hubungan waktu, bahwa seringkali sebelum krisis, terjadi kursa imbal hasil terbalik.

Bursa Saham
(Arief Kamaludin|Katadata)

Problemnya, obligasi bertenor pendek yang menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi mengacaukan konsep time value of money dan mengirim sinyal yang membingungkan ke perekonomian. Yield yang tinggi dari obligasi bertenor pendek juga memberatkan penerbit obligasi yang sebenarnya mengharapkan beban buna yang lebih rendah dari beban utama berupa kewajiban pengembalian utang dalam tempo yang lebih singkat.

Karena itu, menurut Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada, kekhawatiran terhadap resesi di AS bisa menghadirkan sentimen negatif ke pasar modal Indonesia. Apalagi, pasar dalam negeri mudah dipanikkan sentimen eksternal.

Namun, respon kebijakan dari The Fed dalam jangka pendek sejatinya punya kemungkinan menguntungkan emerging market seperti Indonesia. Untuk meredam kenaikan yield obligasi bertenor pendek, The Fed kemungkinan akan mengerem kenaikan suku bunga acuan Federal Fund Rate (FFR) yang sekarang sudah berada di level 2 persen-2.25 persen. Kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed ini yang menyebabkan nilai tukar mata uang emerging market terhadap dollar merosot akibat pembalikan arus modal keluar atau capital outflow.

Namun, dalam risetnya, ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Ananka menilai, kurva yield yang terbalik sesungguhnya memberi sinyal bahwa investor mengantisipasi risiko serius di perekonomian AS dalam beberapa tahun mendatang. Jika indikator ekonomi lainnya memburuk, sentimen yang diciptakan inverted yied curve akan membesar dan investor akan enggan mengambil risiko.

Ini akan meningkatkan permintaan aset safe haven seperti obligasi pemerintah AS dan dapat menyedot likuiditas dari negara-negara berkembang seperti Indonesia. Ujungnya, nilai tukar rupiah akan kembali terjungkal.

Menurut Jonathan Golub, Chief Equity Strategist Credit Suisse, jeda waktu antara terjadinya kurva yield terbalik dan krisis bervariasi antara 14 hingga 36 bulan. Selama itu, dunia akan menanti dengan penuh kekhawatiran.

Halaman:
Editor: Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement