(Baca juga: Ekonom Peringatkan Risiko Perebutan Dana di Pasar Keuangan)

BI menyediakan berbagai instrumen yang membantu pengelolaan likuiditas perbankan. Salah satunya, melalui operasi term repo maupun dengan standing atau lending facility. Bahkan saat ini sudah ada tambahan instrumen yaitu Penyangga Likuiditas Makroprudensial(PLM). Dengan instrumen ini, bank wajib menyediakan alat likuiditas sebesar 4% dari DPK. Pada saat likuiditasnya ketat, bank dapat me-repo-kan 2% dana tersebut kepada BI.

BI memang memiliki instrumen dalam menampung dana likuiditas perbankan yang berlebih melalui operasi moneter. Dana ini bisa menjadi cadangan yang bisa digunakan perbankan saat kesulitan likuiditas. Namun, sejak awal tahun posisi dana yang ada dalam operasi moneter BI sudah jauh berkurang.

Pada awal tahun ini total dana operasi moneter mencapai Rp 482,37 triliun, sebanyak 436,84 triliun dari operasi pasar terbuka (OPT) dan Rp 72 triliun standing facility. Sementara posisi operasi moneter per 30 Oktober 2018 hanya Rp 305 triliun, yang terdiri dari Rp 275,54 triliun OPT dan Rp 57,42 triliun standing facility.

(Baca: Duit Bank di Instrumen Moneter BI per Juli 2018 Capai Rp 291 Triliun)

Rupiah
Rupiah (Arief Kamaludin|KATADATA)

Menurut Erwin, saat ini perbankan bisa lebih baik dalam mengelola likuiditasnya, karena memiliki alat yang beragam. Sebelumnya, bank hanya bisa mengoptimalkan instrumen operasi moneter dalam mengatasi masalah likuiditas. Kini perbankan sudah banyak yang memanfaatkan instrumen lain, seperti Surat Berharga Negara (SBN). Saat ini kedua instrumen tersebut masih likuid dan bisa dimanfaatkan sewaktu-waktu, apabila dibutuhkan. Baik melalui transaksi repo antarbank maupun kepada BI.

Destry mengakui LDR bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur likuiditas perbankan. "Sekarang ada indikator loan to financing ratio (LFR). Pembiayaan kredit bisa dengan penerbitan obligasi dan instrumen lainnya. Tapi dengan bond yield (bunga obligasi) yang tinggi, bank juga akan pikir-pikir untuk menerbitkannya," ujarnya.

Menurut Kepala LPS Fauzi Ichsan, masalah likuiditas perbankan bisa dihadapi dengan menahan pertumbuhan kredit. Namun, di tengah tingginya permintaan kredit, perbankan cenderung enggan melakukannya. Cara lainnya adalah menggenjot penggalangan simpanan dana murah. Saat ini perbankan sudah terlihat berlomba mengejar dana nasabah melalui deposito. Perang bunga deposito pun terjadi.

(Baca: Persaingan Bunga Deposito Sengit, LPS Naikkan Bunga Penjaminan)

Seretnya likuiditas membuat bank-bank BUKU III dan IV menaikkan suku bunga deposito special rate masing-masing menjadi 7,17% dan 6,95%. Bunga deposito spesial tersebut melampaui bunga deposito sejenis di bank BUKU I yang sebesar 6,9% dan BUKU II sebesar 6,91%. “Yang menjadi masalah perbankan bukan hanya modal tetapi tantangan dalam menggalang likuiditas,” kata Fauzi.

Persaingan menghimpun dana nasabah semakin dipersulit dengan langkah pemerintah mengeluarkan Obligasi Negara Ritel (ORI) berseri ORI015. Kupon 8,25% per tahun yang ditawarkan, membuat pergerakan suku bunga deposito kembali terkerek karena pasar menjadikan instrumen ini sebagai acuan atau reference rate.

Karena harus memberikan bunga besar dalam menggalang dana, margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) yang didapat perbankan pun menyusut. OJK mencatat rata-rata NIM bank umum per Agustus lalu berada di level 5,14%. Posisi ini turun dari periode yang sama tahun lalu 5,35%. Sementara riset LPS per September 2018 ke beberapa bank acuan menunjukan rata-rata NIM bank umum menurun dari 4,6% menjadi 4,4%.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement