Menurut Faisal, pemangkasan belanja modal harus segera dilakukan agar tidak memicu masalah lebih besar. Masalah itu antara lain stabilitas makroekonomi akan goyah dan lembaga pemeringkatan menurunkan lagi peringkat kredit Indonesia. "Ongkos ekonomi dan politik sangat mahal, berpotensi mengalami 'krisis kecil'," katanya.

Pengamat ekonomi yang juga Rektor Unika Atmajaya, A. Prasetyantoko, juga menilai pembangunan infrastruktur telah  memunculkan gejala terlalu eksesif terhadap anggaran negara. Solusinya, perlu perbaikan pengelolaan termasuk memperbaiki kemampuan teknokratik penyelenggara pemerintah agar tidak terjadi salah kelola pembangunan infrastruktur.

Ia menunjuk contoh, proyek kereta ringan Light Rapid Transportation (LRT) Jabodebek yang baru diketahui sumber pendanaannya setelah proyek tersebut berjalan. “Jadi governance-nya (tata kelolanya) yang diperbaiki termasuk mengelola manajemen risiko,” kata Prasentyantoko kepada Katadata.

Di sisi lain, Ekonom Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetyantono, melihat defisit APBN-P 2017 yang diproyeksikan sebesar 2,9% masih dalam kondisi aman karena penyerapan anggaran diperkirakan tidak akan mencapai 100% hingga akhir tahun nanti. "Anggaran pemerintah biasanya tidak dihabiskan sesuai rencana."

 Light Rail Transit (LRT)
Proyek LRT Jabodebek (ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya)

Meski begitu, proyeksi defisit APBN-P 2017 hingga 2,9% terhadap PDB perlu menjadi evaluasi dan dorongan pemerintah untuk memilah kembali belanja prioritas. Menurut dia, harus ada seleksi mana pembelanjaan yang perlu diutamakan, ditunda, dan dibatalkan.

Adapun, Ekonom Indef, Enny Sri Hartati, meminta pemerintahan Jokowi tidak terlalu ekspansif dalam mengejar target infrastruktur terbangun pada tahun 2019 apabila malah membebani pendanaan pemerintah. Salah satu solusinya adalah mendorong alternatif pembiayaan lain berupa Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU). "Kalau mau KPBU harus pastikan tidak ada kroni dan harus antikorupsi."

Pemerintah, melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), telah mengalkulasi biaya yang diperlukan untuk proyek infrastruktur selama 2015-2019 sebesar Rp 4.700 triliun. Dari jumlah itu, porsi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai Rp 1.066,2 triliun atau 23% dari total kebutuhan dan pemerintah menanggung 35%. Sedangkan kontribusi terbesar diharapkan dari swasta yaitu 42% atau senilai Rp 1.974 triliun.

Demi menarik minat swasta agar mau berinvestasi di proyek-proyek infrastruktur, pemerintah mendorong berbagai skema pembiayaan dan penjaminan. Antara lain, Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA) dan skema pendanaan berbasis pasar modal (market based) lewat sekuritisasi aset.

Saat ini, pemerintah bahkan tengah merumuskan skema pembiayaan Limited Concession Scheme (LCS) dan Dana Investasi Infrastruktur Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (DINFRA).

Halaman:
Reporter: Ameidyo Daud Nasution
Editor: Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement