Belakangan, mereka menyewa George Burn, pengacara yang berpengalaman menangani sengketa korpopasi. Berlindung di balik ISDS, Burn mengatakan Rizvi dan al-Warraq tidak pernah mendapatkan kesempatan hadir dalam persidangan di Jakarta. Selain itu, ia menganggap adanya pelanggaran terhadap proses hukum di beberapa level. Indonesia juga dinilainya tidak memenuhi kriteria hukum internasional untuk menjalankan persidangan in absentia.

Alhasil, Burn menuding seluruh proses pengadilan di Indonesia bernuansa politis untuk mengkambinghitamkan Rizvi dan al-Warraq atas keputusan pemerintah memberikan dana talangan kepada Bank Century. Padahal, Pemerintah Indonesia sudah melakukan berbagai upaya untuk mencari dan menghadirkan Rizvi dan al-Warraq di persidangan.

Di sisi lain, Burn terus mencari bukti adanya pelanggaran atas hak al-Warraq. Ia pun menakut-nakuti Interpol. Jika Interpol tidak mencabut status red notice kliennya, lembaga tersebut berarti melakukan pelanggaran atas hukum internasional. Interpol pun akhirnya menuruti permintaan tersebut.

Selanjutnya, tim pengacara berusaha menggunakan ISDS untuk mencegah Indonesia membekukan rekening bank asing kedua kliennya. Semula, Pemerintah Indonesia melihat adanya titik terang ketika pengadilan Hong Kong memberikan akses ke rekening mereka senilai US$ 4 juta.

Namun, peluang itu diragukan. “Pemerintah Hong Kong sekarang sangat berhati-hati,” kata Cahyo Muzhar, seorang pejabat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang sudah bertahun-tahun memburu aset Rizvi dan al-Warraq, seperti dilansir BuzzFeed.

Akhirnya, Rizvi tak terjamah oleh hukum dan kini bebas bepergian menjalankan bisnisnya. Sedangkan Al-Warraq dikeakan status wajib lapor setiap pekan kepada kepolisian Arab Saudi selama empat tahun terakhir ini. “Saya berusaha mengubur sejarah ini,” tulis al-Warraq melalui surat elektronik kepada BuzzFeed.

Sidang Century
Sidang kasus Bank Century di pengadilan. (KATADATA)

Sedangkan Burn merasa bangga bisa menemukan adanya kecacatan hukum di Indonesia. “Tidak ada bukti kuat yang menyatakan al-Warraq dan Rizvi terlibat dalam penipuan. Namun jika mereka terlibat pun, tidak ada seorang pun yang akan mengetahuinya karena adanya kesalahan dalam proses (hukum di Indonesia).”

Perusahaan asing juga menggunakan pengadilan arbitrase untuk mengancam pemerintah Indonesia agar tidak mengganggu investasinya. Newcrest Mining memenangkan hak eksplorasi penambangan selama 30 tahun di Maluku pada masa Orde Baru. Setelah pergantian rezim, pemerintah membuat Undang-Undang Kehutanan yang melarang metode penambangan terbuka (open pit-mining).

Namun, Newcrest tidak mengindahkan peraturan tersebut. Perusahaan asal Australia ini menyatakan UU ini mencederai kontrak yang diteken semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Newcrest dan sejumlah perusahaan pertambangan asing lainnya pun mengancam akan melakukan langkah hukum.

Belum lama ini, BuzzFeed mewawancarai beberapa pejabat dan mantan pejabat di sejumlah kementerian di Indonesia, empat perusahaan pertambangan, dan asosiasi. Hasilnya, mereka menyebut adanya perusahaan-perusahaan tambang raksasa asing yang diam-diam mengeluarkan ancaman. Mereka berniat menuntut Pemerintah Indonesia miliaran dolar Amerika Serikat ke arbitrase jika tetap menerapkan peraturan larangan penambangan terbuka.

Awalnya, petinggi Newcrest di Indonesia, Syahrir A.B., mengakui adanya upaya-upaya mengancam pemerintah tersebut. “Perusahaan saya, Newcrest, mengeluarkan ancaman,” ujarnya dalam wawancara dengan BuzzFeed.

Bahkan, Syahrir sendiri yang menyampaikan “pesan” tersebut kepada pemerintah dalam suatu pertemuan dengan para pejabat Kementerian Pertambangan. “Jika kami tidak bisa melakukan penambangan di wilayah ini, maka kami akan cuci tangan dan menempuh proses arbitrase internasional.”

Belakangan, Juru Bicara Newcrest dalam keterangan tertulisnya mengatakan Syahrir tidak mengeluarkan ancaman apapun kepada Pemerintah Indonesia. Sedangkan Syahrir kemudian meminta artikel hasil wawancara itu sebelum dipublikasikan. Ketika permintaan itu ditolak, Syahrir berlalu pergi sambil menyatakan, “Kamu tidak pernah berjumpa dengan kami.”

Ancaman itu ternyata mempengaruhi Pemerintah Indonesia.

Apalagi, Indonesia pernah memiliki pengalaman buruk dengan pengadilan arbitrase. Keputusan pemerintah mengangguhkan proyek pembangkit listrik panas bumi Karaha Bodas akibat krisis ekonomi tahun 1998, malah menuai gugatan ke arbitrase internasional.  

Setelah melalui proses persidangan yang panjang, perusahaan energi asal Amerika Serikat (AS) Karaha Bodas Corporation memenangkan gugatannya. Alhasil, Pemerintah Indonesia harus membayar US$ 261 juta karena dinilai telah wanprestasi. Padahal, pembangkit listrik itu batal dibangun.

Kasus inilah yang menjadi pertimbangan pemerintah saat menghadapi ancaman dari perusahaan-perusahaan tambang asing. “Karena pengalaman pahit ini, kami ingin mencari jalan keluarnya,” kata Menteri Kehutanan M.S. Kaban tahun 2004. Ia pun menghitung, potensi kerugian negara jika kalah dalam tuntutan itu mencapai US$ 22,7 miliar.

“Untuk suatu negara seperti Indonesia, jika tidak memiliki kekuatan yang sangat besar, pasti akan tertekan dalam menghadapi ancaman semacam ini,” ujar Stuart Gross, seorang pengacara Amerika yang mendampingi kelompok penduduk lokal menghadapi Newcrest.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement