Arbitrase internasional menjadi wadah penyelesaian perkara atau sengketa antara perusahaan asing dengan suatu negara dalam berinvestasi. Namun, belakangan ini terungkap bahwa perusahaan asing kerap memanfaatkan arbitrase untuk menggertak pemerintah negara-negara berkembang demi menjaga kelangsungan investasinya.
Tak cuma itu, pengadilan arbitrase juga dipakai oleh investor untuk lepas tangan dan menghindari kewajibannya di suatu negara. Pemerintah Indonesia sering menjadi korban dari praktik tersebut.
Praktik penggunaan arbitrase oleh investor asing untuk menyudutkan negara-negara berkembang itu terangkum dalam empat serial laporan investigasi yang dimuat oleh situs BuzzFeed News pada akhir Agustus lalu. Laporan tersebut ditulis oleh Chris Hamby, wartawan investigasi BuzzFeed News di Washington, Amerika Serikat, yang pernah meraih penghargaan Pulitzer tahun 2014 atas tulisan berserinya soal kisah para penambang batubara.
Demi mengungkap praktik-praktik tersebut, BuzzFeed melakukan investigasi terhadap Investor State Dispute Settlement (ISDS) selama 18 bulan. ISDS alias penyelesaian sengketa investor-negara adalah instrumen hukum internasional umum yang memberikan investor hak penyelesaian sengketa terhadap pemerintah suatu negara.
BuzzFeed melakukan reportase di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Serikat, dengan mewawancarai lebih dari 200 narasumber.
Selain itu, menelaah ribuan dokumen yang kebanyakan tidak pernah dipublikasikan ke publik.
Berdasarkan hasil reportase dan investigasi itu, ditemukan fakta praktik penyimpangan ISDS. ISDS semula dirancang sebagai sebuah forum untuk mencari jalan keluar terhadap konflik yang membelit negara dengan perusahaan asing. Syaratnya, ISDS terkandung dalam perjanjian investasi bilateral antarnegara atau perjanjian pakta perdagangan kawasan.
ISDS memang sering dikaitkan dengan arbitrase internasional di bawah peraturan International Centre for Settlement of Investment Disputes of the (ICSID) bentukan Bank Dunia. Namun, ISDS lebih sering berada di bawah pengawasan pengadilan arbitrase internasional yang diatur oleh lembaga arbitrase di Inggris dan Hong Kong.
Namun, praktik yang terjadi adalah sistem pengadilan itu telah menyudutkan posisi negara dan menempatkannya dalam pihak yang dirugikan. Dalam sistem ini, hanya perusahaan yang bisa mengajukan tuntutan. Sedangkan suatu negara cuma bisa melakukan pembelaan, tanpa mampu menuntut perusahaan manapun.
Alhasil, pihak ketiga atau arbitrator yang memutuskan kasus-kasus sengketa itu memiliki otoritas luas untuk menginterpretasikan peraturan sesuai keinginannya, tanpa adanya preseden, dan nyaris tanpa pengawasan masyarakat. "Keputusan (ISDS) memiliki kekuatan yang begitu besar. Bahkan, negara kerap didesak untuk mematuhi ISDS seakan-akan keputusan sistem ini merupakan pengadilan tertinggi," tulis Hamby dalam seri pertama tulisannya berjudul "The Court That Rules The World" yang dipublikasikan BuzzFeed 30 Agustus lalu.
Investigasi tersebut menemukan adanya bukti intervensi investor maupun perusahaan multinasional terhadap ISDS untuk menekan sejumlah negara sehingga akhirnya hukum yang berlaku di negara itu kalah.
Tekanan pun diberikan dalam berbagai cara agar investasinya langgeng atau terbebas dari jerat hukum maupun kewajiban lainnya.
Hamby menemukan lebih dari 35 kasus di berbagai negara yang melibatkan para petinggi perusahaan. Mereka dituduh melakukan tindakan kriminal, termasuk pencucian uang, penggelapan uang, manipulasi saham, penyogokan, pencatutan, serta penipuan, namun bisa bebas karena berlindung di balik keputusan ISDS.
Contohnya, seorang miliarder real estate di Dubai, Uni Emirat Arab, sempat mendekam di penjara lantaran investasinya jutaan dolar merugikan masyarakat di Mesir. Namun akhirnya, kasus ini diproses ISDS dan miliarder tersebut pun dibebaskan.
Di El Salvador, pemerintah setempat membutuhkan waktu bertahun-tahun smapai pengadilan memutuskan kesalahan sebuah pabrik yang mencemari suatu desa. Namun, pengacara perusahaan itu menggunakan ISDS agar terbebas dari kewajiban penanggulangan bencana itu.