Sumber kedua berasal dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang dirilis Februari lalu. Beleid ini mewajibkan seluruh lini Industri Keuangan Nonbank menggenggam SUN 20-50 persen. Dia menghitung potensi berkurangnya DPK dari hengkangnya dana perusahaan asuransi mencapai Rp 70 triliun. Sehingga, total jenderal, dana masyarakat yang hijrah dari bank mencapai Rp 95 triliun.

Kekhawatiran ketatnya likuiditas ini kembali disampaikan Budi dalam rapat kerja dengan Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat kemarin, Senin, 14 Maret 2016. Dalam perspektif lebih luas, dia menyatakan kondisi perbankan mengikuti perkembangan dunia. Pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat berpengaruh ke industri perbankan, termasuk Indonesia meski kondisi dalam negeri relatif lebih baik.

“Dalam lima tahun terakhir pertumbuhannya melambat. Cashflow perbankan makin lama makin ketat. LDR kalau sudah tembus di atas 90 persen artinya sudah sangat ketat, itu harus diperhatikan bersama,” kata Budi. “Kalau pertumbuhan kredit terus di atas pertumbuhan dana pihak ketiga, makin banyak jual beli uang. Kalau suplai-nya aja tidak ada, bagimana kami mau kasih kredit.” (Baca: Likuiditas Mengetat, Rp 95 Triliun Berpotensi Cabut dari Bank).

Menurutnya, aset Bank Mandiri pada tahun lalu tembus Rp 900 triliun. Sementara laba bersihnya tumbuh Rp 20 triliun. Menurut Budi, keuntungan tersebut tidak besar meski masih tumbuh dua digit, sebab keuntungan tersebut ditaruh di dana cadangan. Adapun kredit masih tumbuh 10 persen.

“DPK sudah jauh di bawah pertumbuhan kredit. Ini akan buat cashflow perbankan ketat,” ujarnya. Karena itu, sebagai salah satu upaya menggaet kembali uang segar, pada bulan ini Bank Mandiri akan revaluasi aset. Harapannya, langkah tersebut menambah dana hingga Rp 23 triliun. “Kapital (CAR) kami akan tembus 20 persen. NPL naik tapi masih bisa kami atasi.”

Sejumlah indikator tersebut, seperti kewajiban penempatan dana pensiun dan asuransi di SUN, juga dicemaskan oleh Anggito Abimanyu. “Likuiditas memang ketat. Akan berpengaruh ke kredit,” kata Kepala Ekonom Bank Rakyat Idonesia ini, Selasa 15 Maret 2016.

Namun demikian, menurut dia, hal itu masih terkelola dengan baik. Untuk itu, Giro Wajib Minimum, perlu diturunkan kembali. Apalagi, Anggito melihat situasinya memungkinkan bila dilihat dari laju inflasi yang rendah dan defisit transaksi berajalan (CAD) membaik.

Suara lebih optimistis datang dari Direktur Utama Bank Negara Indonesia Achmad Baiquni. “Likuiditas belum terlaku ketat karena penyaluran kredit belum signifikan,” ujarnya. (Lihat pula: Likuiditas BCA Bertambah Rp 4 Triliun Efek Penurunan GWM).

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan ada likuiditas senilai Rp 200 triliun yang mengalir ke pasar tahun ini. Pembayaran utang jatuh tempo Rp 190 triliun akan mengalirkan likuiditas ke sistem. Untuk surat utang bertenor kurang dari setahun juga dibayarkan senilai Rp 1,5 triliun. Kementerian Keuangan juga menggelontorkan Rp 3 triliun untuk membeli kembali (buyback) SBN.

Dari sisa penerbitan SBN, sekitar Rp 300 triliun atau 24 persen dikuasai asing. Porsi asing sudah ditambah dari sebelumnya untuk menghindari risiko pengetatan likuiditas imbas keluarnya aliran dana (crowding out). Robert mengatakan untuk menghindari risiko ini pemerintah berkoordinasi dengan Bank Indonesia terkait waktu penarikan SBN. “Agar tidak crowding out di pasar domestik,” kata dia.

Senada dengan Destry, ia yakin likuiditas yang disedot oleh pemerintah akan dengan cepat disalurkan kembali ke sektor rill melalui pembangunan infrastruktur. Uang yang dikeluarkan untuk gaji pegawai negara sipil (PNS) juga akan berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat yang berlanjut ke konsumsi rumah tangga. “Dari domestik yang kami sedot, kalau pemerintah cepat membelanjakan harusnya cepat masuk lagi ke sistem perbankan.”

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement