“Pemerintah harus konsisten. Kalau declare (bilang) tidak ada subsidi, ketika (harga BBM) harus naik maka naik. Kalau harus turun, ya turun,” kata Pri Agung. Jika pemerintah belum bisa konsisten maka harus mengalokasikan cadangan fiskal untuk menombok kerugian akibat menurunkan harga BBM. “Kalau memang harus subsidi, harusnya bukan Pertamina tapi (dari) APBN.”

Namun, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengaku pemerintah tidak menyediakan anggaran khusus kalau harga BBM jadi diturunkan. Namun, dia menjanjikan akan memikirkan cara lain sebagai kompensasi penurunan harga BBM. “Penurunan harga BBM sangat penting untuk meningkatkan daya beli masyarakat,” imbuhnya.

(Baca: Daya Beli Masyarakat Jadi Fokus Paket Kebijakan Tahap III)

Sebagai gambaran, daya beli masyarakat tecermin dari konsumsi riil rumahtangga, yakni konsumsi nominal dibagi indeks harga. Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), belanja rumahtangga pada kuartal II-2015 tumbuh 4,97 persen, atau lebih rendah dibandingkan kuartal I yang tumbuh 5,01 persen. Padahal, belanja rumahtangga berkontribusi sebesar 54,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi.

Di tengah posisi yang terjepit tersebut, manajemen Pertamina menyodorkan solusi. Yaitu meminta pemerintah menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Dengan begitu, harga BBM bisa diturunkan secara signifikan. “Kalau mau membantu rakyat, dikurangi dulu pajak atau pungutannya,” kata Ahmad.

Dalam formula harga BBM, Pertamina memang memasukkan pungutan PPN sebesar 10 persen dan PBBKB lima persen. Ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah bahwa tarif PBBKB bisa ditagihkan maksimal 10 persen.

Formula harga BBM

Dari harga jual eceran tersebut, Pertamina masih bisa mengambil margin keuntungan untuk wilayah Jamali. Margin yang ditetapkan sekitar lima persen sampai 10 persen dari harga jual eceran.

Meski begitu, Dwi Soetjipto mengklaim Pertamina masih menanggung kerugian dari penjualan BBM karena harga jualnya di bawah harga keekonomian. Dari evaluasi Kementerian ESDM, harga Premium untuk periode tiga bulan pada Oktober 2015 ini seharusnya Rp 7.900 per liter. Ini dengan asumsi rata-rata kurs rupiah periode 25 Juni-24 September 2015 sebesar 13.708 per dolar AS dan harga MOPS US$ 66,71 per barel.

(Baca: Kalau Harga BBM Turun, Pertamina Minta Pengurangan Dividen)

Selain mencabut pajak seperti PPN dan PBBKB, Pertamina menawarkan kompensasi penurunan harga BBM dalam bentuk pengurangan setoran dividen kepada negara. Dengan begitu, laba bersih yang diperoleh Pertamina bisa dipakai lebih besar untuk modal kerja dan dana ekspansi usahanya. “Kalau sebagai korporasi kan berharap boleh saja. Tapi itu keputusan pemegang saham,” kata Dwi.

Semoga harapan tersebut bisa terwujud. Sebab, kalau pemerintah tidak menerima solusi untuk kompensasi penurunan harga BBM itu maka manajemen Pertamina masih punya pekerjaan rumah untuk menambal kerugiannya yang akan kian membengkak. 

Halaman:
Reporter: Arnold Sirait
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement