Pernyataan senada diungkapkan Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani. Akibat nilai tukar rupiah yang makin lemah, industri farmasi harus mengeluarkan dana lebih besar untuk membeli bahan baku. Sepanjang tahun ini, rupiah telah melemah lebih dari 12%.  

Tekanan untuk industri farmasi juga datang dari tunggakan BPJS Kesehatan. “Belum lagi masih ada outstanding (tunggakan) dari BPJS Kesehatan di industri farmasi kurang lebih Rp 6 triliun,” kata dia pada pertengahan April.

(Baca: Raksasa Farmasi Inggris dan Prancis Kolaborasi Bikin Vaksin Corona)

Tahun lalu, besarnya beban, termasuk dari pelemahan nilai tukar rupiah, membuat kinerja industri farmasi lesu. Perusahaan farmasi milik negara Kimia Farma mencatatkan penurunan drastis laba. Laba tahun berjalan tercatat hanya sebesar Rp 15,89 miliar tahun lalu, turun 97,03% dari Rp 535,08 miliar tahun sebelumnya.

Bahkan, perusahaan mencatatkan rugi tahun berjalan yang diatribusikan kepada pemilik induk sebesar Rp 12,72 miliar. Padahal, penjualan meningkat 11,11% dari Rp 8,46 triliun menjadi Rp 9,4 triliun. Laba terkikis oleh berbagai beban yang membengkak.

Beban pokok penjualan tercatat Rp 5,9 triliun, naik 15,69% dari tahun sebelumnya Rp 5,1 triliun. Selisih nilai tukar mata uang meningkat 95,37% dari Rp 2,59 miliar menjadi Rp 5,06 miliar. Sedangkan beban usaha melonjak 23,46% dari Rp 2,6 triliun menjadi 3,21 triliun. Kemudian, beban keuangan melonjak 119,18% dari Rp 227,2 miliar menjadi Rp 497,97 miliar.

Membesarnya beban juga membuat perusahaan farmasi swasta Kalbe Farma mencatatkan kenaikan tipis laba. Kalbe mencatatkan laba tahun berjalan Rp 2,54 triliun, hanya naik 1,6% dari tahun sebelumnya Rp 2,5 triliun. Sedangkan penjualan Rp 22,63 triliun, naik 7,4% dari tahun sebelumnya Rp 21,07 triliun.  

Faktor pemberatnya antara lain beban pokok penjualan yang sebesar Rp 12,39 triliun, naik 10,33% dari tahun sebelumnya Rp 11,23 triliun. Kemudian, beban penjualan naik 3,08% dari Rp 5,2 triliun menjadi menjadi Rp 5,36 triliun. Sedangkan beban bunga dan keuangan naik 35,91% dari Rp 29,74 miliar menjadi Rp 40,42 miliar.

(Baca: Lebih dari 10 Perusahaan Kembangkan Vaksin Corona, Ini Daftarnya)

Meski begitu, analis dan pelaku pasar tampak optimistis akan adanya perbaikan kinerja emiten farmasi di tahun ini. Analis Oso Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas melihat peluang membaiknya kinerja karena meningkatnya kebutuhan masyarakat akan produk kesehatan. Dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, Selasa (21/4), Direktur Utama Kimia Farma Verdi Budidarmo menargetkan penjualan naik 24,46% menjadi Rp 11,7 triliun.

Sukarno tak menafikan adanya tantangan dari segi pelemahan nilai tukar rupiah. Tapi, kebijakan baru pemerintah yakni pembebasan bea masuk dan pajak impor barang untuk penanganan pandemi corona bisa menjadi angin segar yang meringankan beban. “Jadi kinerjanya bisa tumbuh meskipun pelemahan rupiah terjadi,” kata dia kepada katadata.co.id, Rabu (22/4).

Saham emiten farmasi pelat merah berada dalam tren naik setelah amblas tahun lalu seiring tertekannya keuntungan. Saham Kimia Farma menanjak 12,58% dalam waktu kurang dari dua bulan yakni dari posisi Rp 580 pada akhir Februari ke posisi Rp 1.310 pada Selasa, 22 April. Saham Indofarma bahkan melejit 158% pada periode yang sama.

Sedangkan saham Kalbe Farma tercatat naik mulai akhir Maret. Saham berbalik naik setelah menyentuh level terendah sejak 2012 yaitu Rp 865 pada 23 Maret, seiring rontoknya Indeks Harga Saham Gabungan. Saham perusahaan tersebut tercatat berada di posisi Rp 1.250 pada 22 April, ini artinya harga saham rebound 44,5% dalam sebulan.

Saham perusahaan farmasi swasta lainnya yakni Tempo Scan Pacific, Darya Varia Laboratoria, dan Sido Muncul juga telah berbalik naik setelah rontok pada Maret. Sepanjang April, saham Tempo naik 21,76%, Darya 3,8%, dan Sido Muncul naik 0,85%.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement