"Program D100 sudah pasti berdampak positif untuk industri sawit secara keseluruhan, hanya saja yang perlu didetailkan peta jalannya (roadmap) ke depan seperti," kata dia.

Diakuinya, saat ini perusahaan sawit Indonesia lebih banyak mengekspor CPO. Pasalnya, komoditas ini lebih menguntungkan ketimbang mengolahnya menjadi biodiesel. Hal ini yang membuat capaian produksi bahan bakar nabati atau BBN Indonesia di 2019 hanya 75% dari target atau sebanyak 6,26 juta kiloliter.

Kapasitas produksi D100 Pertamina di Kilang Dumai saat ini baru mencapai 1.000 barel per hari. Namun, perusahaan pelat merah itu juga menyiapkan unit produksi green diesel dengan kapasitas 20 ribu barel per hari di Kilang Plaju, Sumatera Selatan.

Jika kedua kilang tersebut beroperasi penuh, Ketua Dewan Penasehat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi memperkirakan, penyerapan minyak kelapa sawit atau CPO dari pabrik tersebut dapat mencapai 1,25 juta ton.

Berikutnya, berapa harga D100 tanpa subsidi?...

Menghitung Harga Keekonomian

Pengolahan RBDPO menjadi D100 di Kilang Dumai terwujud berkat katalis produksi Pertamina Research and Technology Centre bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung. “Dari sisi kilang dan katalis kita sudah siap. Selanjutnya kita perlu memikirkan agar sisi keekonomiannya juga dapat tercapai,” kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati.

Pertamina masih mencari celah membuat harga B100 menjadi kompetitif. Karena itu, perusahaan BUMN  ini meminta dukungan pemerintah agar ada kewajiban bagi produsen sawit untuk memasok kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).

Nicke mengatakan, aturan DMO harus dibuat agar ketersediaan pasokan CPO terpenuhi dan harga jualnya menjadi lebih murah ketimbang ekspor. “Keberlangsungan green diesel dan green gasoline perlu dukungan DMO, baik volume maupun harga,” ujarnya.

Meski begitu, ada pula yang mempertanyakan biaya pokok produksi bahan bakar ini. Apakah ke depan dapat dijual dengan harga terjangkau ke masyarakat atau justru membebani negara karena perlu disubsidi.  

Founder PT FSC Oleo Chemical Riza Mutiara menilai komponen biaya produksi penting diperhatikan. Menurut dia, bila spesifikasi D100 diasumsikan setara produk Pertamina Dex yang dibandrol seharga Rp 10.200 per liter di SPBU, maka biaya produksinya kemungkinan jauh di atas itu.

Pertamina Segera Produksi Bahan Bakar Hijau
Pertamina Segera Produksi Bahan Bakar Hijau (Adi Maulana Ibrahim|Katadata)

Penyebabnya, harga bahan baku RBDPO dan katalis untuk produksi D100 lebih mahal. Proses produksinya pun lebih kompleks dengan menggunakan hidrogen. "Karena untuk memproduksi D100, CPO yang diproses menjadi RBDPO membutuhkan proses panjang," ujarnya seperti dikutip berdasarkan keterangan tertulis, Minggu (19/20).

(Baca: Hindari Kerusakan Mesin, Gaikindo Minta Spesifikasi D100 ke Pertamina)

Menurutnya, kilang CPO menghasilkan 94% RBDPO dan 5% PFAD ( Palm Fatty Acid Distilate), sehinga semakin besar kapasitasnya, maka akan semakin murah biaya produksinya. Namun untuk produksi D100 Petamina yang memakai katalis mp (merah putih) yang belum diketahui berapa rincian harganya.

Jika rata-rata harga bahan baku CPO mencapai RM 2500 setara Rp 8,68 juta per ton dan harga RBDPO US$ 654.50 setara Rp 9,69 juta per ton, maka menurutnya harus dihitung betul biaya produksi D100. Saat harga sawit tinggi, sedangkan minyak dunia turun, bisa jadi produksi green diesel tak lagi menguntungkan.

Menurutnya, program D100 juga perlu dibandingkan dengan B30. “Berapa harga jual supaya Pertamina tidak memerlukan subsidi dan berapa biaya logistik dari mendatangkan CPO ke Dumai dan biaya distribusi D100 ke SPBU seluruh Indonesia,” ujarnya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan, Rizky Alika
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement