PT Pertamina tengah gencar mengembangkan bahan bakar dari bahan nabati, khususnya minyak sawit. Yang terdepan adalah pengembangan bahan bakar diesel dari 100% minyak sawit alias D-100. Harapannya, penggunaan energgi fosil bisa ditekan dan menambah serapan sawit di dalam negeri. Namun, masih ada sejumlah ganjalan untuk mewujudkan keinginan tersebut.

Uji produksi hingga tes jalan bahan bakar D100 dilakukan hanya dalam hitungan hari. Pada 2-9 Juli lalu, Pertamina melakukan uji coba produksi D100 di Kilang Dumai, Riau. Selanjutnya, pada 14 Juli lalu, tes jalan menggunakan Kijang Innova keluaran 2017 di jalur sepanjang 200 kilometer.

Esok harinya, mobil yang sama digunakan menjemput rombongan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dari Bandara Pinang Kampai Dumai. Bersama Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati, Agus diantar ke Kilang Minyak Putri Tujuh Pertamina RU II Dumai.

Agus mengaku menikmati perjalanan sejauh 9 kilometer itu. “Suara mesin halus. Ini sekaligus sosialisasi hasil uji coba pengolahan refined, bleached and deodorized palm oil atau RBDPO 100%," katanya, Minggu (19/7).

RBDPO adalah minyak kelapa sawit atau CPO yang diproses lebih lanjut sehingga hilang getah, impurities dan baunya. Uji coba sudah tiga kali dilakukan. Namun, sebelumnya Pertamina baru mencoba mengolah RBDPO melalui co-processing dengan kadar 7,5% dan 12,5%.

“Saya ucapkan selamat kepada Pertamina, khususnya Kilang Dumai yang telah membuktikan bahwa kita mampu, dengan proses sangat cepat dimulai sejak Tahun 2019,” ujarnya.

Tak hanya Agus yang puas. Pertamina mengklaim hasil uji dan tes jalan kendaraan berbahan bakar D100 ini cukup menjanjikan. Penggunaan D-100 dalam campuran bahan bakar kendaraan dapat meningkatkan cetane number. Hasilnya, kepekatan asap yang dibuang berkurang.

Deputy CEO PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Budi Santoso Syarif menjelaskan, bahan bakar yang digunakan dalam tes jalan tersebut adalah campuran D100 sebanyak 20%, Dexlite sebanyak 50% dan FAME atau Fatty Acid Methyl Ester sebanyak 30%.

Menurut hasil uji lab, terukur bahwa cetane number campuran D-100 dan Dexlite yang digunakan tersebut minimal 60. Angka itu lebih tinggi dari Dexlite yang memiliki cetane number 51.

“Hasilnya, opacity atau kepekatan asap gas buang turun menjadi 1,7% dari sebelumnya 2,6% saat tidak dicampur dengan D-100,” ujarnya.

Bahan bakar nabati yang 100% diekstrak dari minyak sawit ini merupakan yang pertama di Indonesia. Melalui hasil uji tersebut, Pertamina menyebut implementasinya bukan lagi angan-angan. Benarkah demikian?

Genjot Serapan Sawit

Program green diesel ini sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk implementasi Program Bahan Bakar Nabati (BBN) yang mengoptimalkan sumber daya di dalam negeri. Seperti diketahui, Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia.

Saat ini produksi minyak kelapa sawit di Indonesia berada di angka 42 juta hingga 46 juta metrik ton per tahun. Serapannya untuk minyak sawit yang diolah memakai metanol atau fatty acid methyl ester (FAME) untuk biodiesel sekitar 11,5%. Databoks berikut menunjukkan produksi sawit (minyak dan inti sawit) di Indonesia sejak 1980.

Serapan sawit domestik dinilai lebih menguntungkan dalam jangka panjang. Ketua Umum Apkasindo, Gulat ME Manurung berharap tambahan kebutuhan di dalam negeri akan membuat harga sawit meningkat.

"Analisis saya itu, jika ekspor kita di bawah 50%, maka yang menentukan harga CPO dunia adalah Indonesia. Sekarang kita masih tergantung pada ekspor, nanti  kita yang menentukan harga," kata dia.

Hal senada diungkapkan oleh Ketua Umum Gapki Joko Supriyono. Dia mengatakan, pengusaha menyambut positif program Pertamina tersebut. Dengan adanya D100, konsumsi solar dapat digantikan dengan produk nabati yang lebih menguntungkan produsen sawit dalam negeri.

"Program D100 sudah pasti berdampak positif untuk industri sawit secara keseluruhan, hanya saja yang perlu didetailkan peta jalannya (roadmap) ke depan seperti," kata dia.

Diakuinya, saat ini perusahaan sawit Indonesia lebih banyak mengekspor CPO. Pasalnya, komoditas ini lebih menguntungkan ketimbang mengolahnya menjadi biodiesel. Hal ini yang membuat capaian produksi bahan bakar nabati atau BBN Indonesia di 2019 hanya 75% dari target atau sebanyak 6,26 juta kiloliter.

Kapasitas produksi D100 Pertamina di Kilang Dumai saat ini baru mencapai 1.000 barel per hari. Namun, perusahaan pelat merah itu juga menyiapkan unit produksi green diesel dengan kapasitas 20 ribu barel per hari di Kilang Plaju, Sumatera Selatan.

Jika kedua kilang tersebut beroperasi penuh, Ketua Dewan Penasehat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi memperkirakan, penyerapan minyak kelapa sawit atau CPO dari pabrik tersebut dapat mencapai 1,25 juta ton.

Berikutnya, berapa harga D100 tanpa subsidi?...

Menghitung Harga Keekonomian

Pengolahan RBDPO menjadi D100 di Kilang Dumai terwujud berkat katalis produksi Pertamina Research and Technology Centre bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung. “Dari sisi kilang dan katalis kita sudah siap. Selanjutnya kita perlu memikirkan agar sisi keekonomiannya juga dapat tercapai,” kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati.

Pertamina masih mencari celah membuat harga B100 menjadi kompetitif. Karena itu, perusahaan BUMN  ini meminta dukungan pemerintah agar ada kewajiban bagi produsen sawit untuk memasok kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).

Nicke mengatakan, aturan DMO harus dibuat agar ketersediaan pasokan CPO terpenuhi dan harga jualnya menjadi lebih murah ketimbang ekspor. “Keberlangsungan green diesel dan green gasoline perlu dukungan DMO, baik volume maupun harga,” ujarnya.

Meski begitu, ada pula yang mempertanyakan biaya pokok produksi bahan bakar ini. Apakah ke depan dapat dijual dengan harga terjangkau ke masyarakat atau justru membebani negara karena perlu disubsidi.  

Founder PT FSC Oleo Chemical Riza Mutiara menilai komponen biaya produksi penting diperhatikan. Menurut dia, bila spesifikasi D100 diasumsikan setara produk Pertamina Dex yang dibandrol seharga Rp 10.200 per liter di SPBU, maka biaya produksinya kemungkinan jauh di atas itu.

Pertamina Segera Produksi Bahan Bakar Hijau
Pertamina Segera Produksi Bahan Bakar Hijau (Adi Maulana Ibrahim|Katadata)

Penyebabnya, harga bahan baku RBDPO dan katalis untuk produksi D100 lebih mahal. Proses produksinya pun lebih kompleks dengan menggunakan hidrogen. "Karena untuk memproduksi D100, CPO yang diproses menjadi RBDPO membutuhkan proses panjang," ujarnya seperti dikutip berdasarkan keterangan tertulis, Minggu (19/20).

(Baca: Hindari Kerusakan Mesin, Gaikindo Minta Spesifikasi D100 ke Pertamina)

Menurutnya, kilang CPO menghasilkan 94% RBDPO dan 5% PFAD ( Palm Fatty Acid Distilate), sehinga semakin besar kapasitasnya, maka akan semakin murah biaya produksinya. Namun untuk produksi D100 Petamina yang memakai katalis mp (merah putih) yang belum diketahui berapa rincian harganya.

Jika rata-rata harga bahan baku CPO mencapai RM 2500 setara Rp 8,68 juta per ton dan harga RBDPO US$ 654.50 setara Rp 9,69 juta per ton, maka menurutnya harus dihitung betul biaya produksi D100. Saat harga sawit tinggi, sedangkan minyak dunia turun, bisa jadi produksi green diesel tak lagi menguntungkan.

Menurutnya, program D100 juga perlu dibandingkan dengan B30. “Berapa harga jual supaya Pertamina tidak memerlukan subsidi dan berapa biaya logistik dari mendatangkan CPO ke Dumai dan biaya distribusi D100 ke SPBU seluruh Indonesia,” ujarnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan, Rizky Alika

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami