Membawa satu rombongan, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mengunjungi Jepang. Dalam lawatannya pada pekan lalu, Erick didampingi Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo. Mereka dijamu perwakilan pemerintah dan kalangan bisnis di sana. Dengan target utama meningkatkan kerja sama ekonomi, sejumlah kalangan menilai ini sebagai sinyal kedekatan kedua negara di tengah upaya Tiongkok memperkuat pengaruhnya ke Indonesia.
Kesehatan, perumahan, industri baterai kendaraan listrik, dan pembiayaan proyek-proyek infrastruktur nasional menjadi topik utama sektor-sektor yang didiskusikan. Erick menjajaki sejumlah perusahaan dan institusi keuangan Jepang untuk berinvestasi di Tanah Air.
Kunjungan Erick ini tak lama setelah Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga ke Indonesia pada 20 Oktober lalu. Di Jakarta, Suga menyatakan komitmen Negeri Matahari Terbit itu untuk mempekuat kerja sama dengan Indonesia. Dalam pembangunan infrastruktur, misalnya, ada Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta, jalur kereta semi cepat Jakarta-Surabaya, pembangunan dan pengelolaan pelabuhan Patimban, dan pulau-pulau terluar Indonesia.
Total investasi Jepang pada proyek-proyek tersebut diperkirakan lebih dari Rp 90 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk mega proyek lapangan gas Abadi oleh perusahaan minyak dan gas asal Jepang, Inpex. Pengembangan di Blok Masela ini diperkirakan menelan investasi hingga Rp 277 triliun.
Di samping itu masih ada proyek pembangunan instalasi pengolahan air limbah domestik (IPAL) di DKI Jakarta. Dalam proyek ini Jepang akan memberikan pinjaman lunak melalui skema Official Development Assistance (ODA) sebesar 64,4 miliar yen atau sekitar Rp 8,7 triliun. Adapun total dana yang dibutuhkan untuk proyek ini sebesar Rp 14 triliun.
Tak hanya itu, ada beberapa perusahaan Jepang yang juga berencana memperbesar investasi di Indonesia. Toyota kembali menggelontorkan US$ 2 miliar atau sekitar Rp 28,3 triliun mulai tahun lalu hingga 2023 untuk mengembangkan kendaraan listrik.
Kemudian, Mitsubishi Chemical menyatakan akan menambah guyuran modal di Tanah Air US$ 150 juta, sekitar Rp 2,2 triliun, untuk membangun pabrik baru di Cilegon, Banten. Lalu ada Denso, Sagami Electric, dan Panasonic yang memindahkan pabriknya ke Indonesia dengan nilai investasi masing-masing US$ 138 juta, US$ 50 juta, dan US$ 30 juta.
Denso, Sagami, dan Panasonic merupakan tiga dari tujuh perusahaan yang merelokasi pabriknya dari Tiongkok ke Indonesia imbas perang dagang Tiongkok dengan Amerika Serikat. Empat perusahaan lainnya yaitu Meiloon Technology (Taiwan), Alpan Lighting (AS), LG Electronics (Korea), dan Kenda Tire (Taiwan). Total investasi relokasi pabrik keempat perusahaan itu Rp 8,4 triliun.
Di masa pandemi ini pemerintah Jepang memang memberikan subsidi 70 miliar yen atau sekitar US$ 653 juta kepada 87 perusahaan negaranya untuk memindahkan produksi dari Cina kembali ke dalam negeri atau ke Vietnam, Myanmar, Thailand dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Pandemi corona membuat Jepang tersadar bahwa ekonominya terlalu bergantung pada Tiongkok. Ketika Negeri Panda itu menerapkan penguncian wilayah atau lockdown, rantai pasok (supply chain) produksi sejumlah perusahaan Jepang terganggu. Seperti Nissan yang pada Februari lalu terpaksa menghentikan produksi karena pasokan onderdil dari Cina macet.
Dari total subsidi yang dianggarkan Jepang tersebut, 57,4 miliar yen (US$ 536 juta) diberikan kepada 57 perusahaan yang dipastikan bakal memindahkan produksinya ke negara asalnya. Sementara sisanya diberikan kepada 30 perusahaan untuk memboyong produksinya ke negara-negara Asia Tenggara.
Peluang inilah yang ingin ditangkap Indonesia, walaupun hanya berhasil menjaring segelintir perusahaan. Seperti pada 2019, Indonesia gagal total dalam mengundang 33 perusahaan yang hengkang dari Tiongkok. Sebanyak 23 di antaranya memilih pindah ke Vietnam dan sisanya berlabuh di Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
Databoks berikut menjelaskan seberapa besar potensi penyerapan perusahaan asal Jepang yang relokasi ke Indonesia dan empat perusahaan lainnya.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal, dana asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) Jepang ke Indonesia pada kuartal ketiga tahun ini merosot tajam. Per September, total PMA asal Jepang hanya US$ 2,31 miliar, turun 34,12% secara tahunan dibandingkan US$ 3,24 miliar pada periode yang sama 2019.
Tiongkok Salip Jepang Sebagai Investor Terbesar Kedua di Indonesia
Berkebalikan dengan Jepang, PMA asal Tiongkok pada periode yang sama masih naik 5,92% dari US$ 3,31 miliar menjadi US$ 3,51 miliar. Sejak 2019, Tiongkok telah menyalip Jepang sebagai negara penyumbang PMA terbesar kedua setelah Singapura.
Tahun lalu PMA asal Tiongkok US$ 4,74 miliar, melonjak nyaris dua kali dibandingkan 2018 sebesar US$ 2,38 miliar. Sedangkan PMA asal Jepang turun menjadi US$ 4,31 miliar dari sebelumnya US$ 4,95 miliar.
Singapura masih berada di urutan teratas dengan PMA sebesar US$ 6,51 miliar pada 2019. Sedangkan pada triwulan ketiga tahun ini nilainya melonjak hingga 33,13% secara tahunan menjadi US$ 7,16 miliar dari US$ 5,38 miliar pada periode yang sama 2019.
Menurut data BKPM, investasi Tiongkok di Indonesia selama 10 tahun terakhir berfokus pada tiga sektor. Ketiganya yakni industri logam dasar, barang logam bukan mesin dan peralatannya dengan nilai US$ 7,52 miliar dari 954 proyek; kemudian listrik, gas, dan air US$ 3,64 miliar (551 proyek); serta transportasi, pergudangan, dan telekomunikasi US$ 3,44 miliar (227 proyek).
Salah satu investasi besar Tiongkok yang tengah digarap saat ini yaitu pembangunan jalur kereta cepat Jakarta-Bandung. Proyek ini membutuhkan dana US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 85 triliun. China Development Bank membantu pendanaan proyek dengan utang US$ 4,5 miliar. Hingga saat ini dana yang telah digelontorkan dari ekuitas ataupun pinjaman mencapai 55 % dari total kebutuhan anggaran.
Sedangkan sisanya ditanggung oleh modal dari pemegang saham PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yakni Pilar Sinergi BUMN Indonesia, yang terdiri dari Wijaya Karya, Kereta Api Indonesia, PTPN VIII, dan PT Jasa Marga Tbk. Kepemilikan mereka 60 % saham, dan konsorsium Tiongkok melalui Beijing Yawan HSR Co. menguasai sisanya.
Pada saat tender awal, Cina dan Jepang bersaing ketat memperebutkan proyek ini. Saat itu tersiar kabar Jepang berpotensi besar memenangkannya. Namun, terjadi tarik-menarik dan lobi kanan-kiri yang cupuk ketat. Hingga akhirnya Cina bisa menggenggam proyek tersebut.
Selain kereta cepat, investasi besar Negeri Panda lainnya di Indonesia yaitu pabrik baterai lithium di kawasan industri Morowali, Sulawesi Tengah. Di kawasan industri ini ada beberapa perusahaan asal Tiongkok yang menyatakan ingin membangun industri tersebut.
Salah satunya yaitu Contemporary Amperex Technology Co.Ltd. (CATL) yang memproduksi baterai mobil listrik. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan CATL berminat untuk menginvetasikan hingga US$ 20 miliar untuk pengembangan ekosistem baterai listrik.
“Mereka sudah tanda tangan US$ 4,6 miliar (sekitar Rp 65 triliun),” kata Luhut. CATL akan bermitra dengan Ningbo Lygend Mining Co. dan Huayue Nickel Cobalt. Huayue bakal membangun pabrik smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL). Smelter Huayue ditargetkan selesai pada Januari 2021 dengan nilai investasi US$ 1,28 miliar (Rp 18,1 triliun).
Sama dengan Huayue, Lygend juga akan membangun pabrik smelter nickel, cobalt, dan ferronickel, serta pembangkit listrik di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Sulawesi Utara. Total investasi dua proyek ini US$ 2 miliar. Dari jumlah tersebut, Lygend berkontribusi 36,9% atau US$ 738 miliar.
Sementara itu pembangunan kawasan industri Morowali dipegang oleh Tsingshan Holding Group dan Delong Holdings yang saat ini telah menginvestasikan US$ 16 miliar (Rp 226,7 triliun) dan menyatakan berkomitmen untuk meningkatkan investasinya menjadi US$ 20,9 miliar (Rp 296,1 triliun) hingga 2024 dan sekitar US$ 35 miliar (Rp 495,9 triliun) hingga 2033.
Tsingshan juga bermitra dengan GEM Co.Ltd., Burnp Recycling Technology Co.Ltd., PT Indonesia Morowali Industrial Park, dan Hanwa. Mereka mendirikan perusahaan patungan Qing Mei Bang (QMB) New Energy, yang akan memproduksi bijih nikel laterit (laterite nickel ore) untuk bahan baku baterai mobil listrik. Total investasi pendirian QMB sebesar US$ 700 juta (Rp 9,9 triliun).
Juru bicara Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi Jodi Mahardi mengatakan kepada Reuters, bahwa perusahaan-perusahaan asal Tiongkok ini akan bermitra dengan investor dari Perancis, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan lainnya.
Perusahaan energi Tiongkok, Powerchina juga menggarap pembangkit listrik tenaga air di Sungai Kayan, Kalimantan Utara. Proyek PLTA yang juga bagian dari Belt and Road Inititive Tiongkok ini rencananya memiliki kapasitas 9.000 megawatt (MW), menjadikannya yang terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan PLTA Son La di Sungai Da, Vietnam, yang berkapasitas 2.400 MW.
Oleh karena itu proyek ini pun membutuhkan investasi yang tidak sedikit, US$ 20,7 – 24,3 miliar (Rp 304 – 357 triliun). Selain Powerchina, proyek ini akan dibiayai Central Asia Capital Ltd.
Agresivitas Belt and Road Initiative Tiongkok
Investasi Tiongkok di Indonesia memang terlihat lebih agresif dibandingkan Jepang. Ini juga terlihat dari PMA Tiongkok pada kuartal ketiga tahun ini yang masih tumbuh, berkebalikan dengan Jepang yang turun. Walaupun, sebenarnya Jepang memiliki jumlah proyek yang lebih banyak di Tanah Air, yakni 6.489 proyek berbanding 2.139 proyek milik Tiongkok.
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia pada saat mengumumkan lompatan PMA Tiongkok di 2019 pada awal tahun ini menyebutkan beberapa faktor yang membuat negara itu begitu agresif menanamkan modalnya di Tanah Air. Padahal investasi yang ditawarkan kepada Tiongkok juga ditawarkan kepada negara lainnya.
Menurut dia, agresivitas investasi Tiongkok didukung oleh dua faktor utama, yakni keberanian untuk masuk ke sektor padat modal, misalnya infrastruktur dan manufaktur yang berisiko tinggi dan memiliki waktu pengembalian modal yang lama. Kedua, uji kelayakan proyek oleh Tiongkok dilakukan lebih cepat, hanya sekitar satu tahun enam bulan. Setelah itu, proyek bisa langsung dimulai. Berbeda dengan Jepang yang perlu waktu hingga tiga tahun.
Agresivitas investasi Tiongkok juga merupakan bagian dari Belt and Road Initiative (BRI). Inisiatif ini diluncurkan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping pada September 2013 pada saat berkunjung ke Indonesia dan Kazakhstan. Seluruh proyek-proyek di bawah bendera BRI ditargetkan rampung pada 2049.
Bank Dunia mengestimasikan, hingga Juni 2019 Tiongkok telah menggelontorkan dana US$ 575 miliar untuk proyek BRI di seluruh dunia. PricewaterhouseCoopers pada 2016 lalu memperkirakan investasi BRI bisa mencapai US$ 1 triliun dalam 10 tahun kemudian. Sedangkan Morgan Stanley memperkirakan nilainya bisa mencapai US$ 1,2 – 1,3 triliun hingga 2027.
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan PLTA Kayan juga merupakan bagian dari BRI Tiongkok yang sudah berjalan di Indonesia. Total proyek berbendera BRI di Tanah Air yang telah diteken akta kesepemahamannya dengan Tiongkok berjumlah 23 proyek.
Sementara menurut data Japan External Trade Organization (JETRO), Indonesia memang bukan target utama FDI Jepang di Asia. Setidaknya sejak 2017, dua negara Asia penerima FDI dari Negeri Matahari Terbit ini adalah Tiongkok dan Singapura. Sementara Indonesia berada di posisi ketiga atau keempat setelah Thailand, dengan nilai yang terpaut cukup jauh.
Seperti pada 2019, menurut data JETRO, FDI Jepang mengalir ke Indonesia sebesar US$ 8,39 miliar, jauh di bawah Tiongkok US$ 14,37 miliar dan Singapura US$ 15,67 triliun. Sedangkan untuk tahun ini, aliran keluar FDI Jepang turun ke hampir seluruh negara penerima.
Kehadiran Jepang Mengimbangi Pengaruh Tiongkok
Kepada Katadata.co.id, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional, Shinta Kamdani, mengatakan bahwa Tiongkok memang lebih agresif berinvestasi di Indonesia, terlihat dari volume investasi yang lebih besar.
Meski demikian, menurutnya, Jepang masih sangat tertarik untuk menanamkan modal di Indonesia. Hal ini hanya soal perbedaan karakter pemodal Jepang dan Tiongkok. “Investor Jepang sangat berhati-hati. Butuh waktu lebih lama untuk evaluasi dan membuat keputusan. Tapi terbukti mereka di sini untuk jangka panjang, termasuk melalui banyak krisis,” kata Shinta.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa kehati-hatian investor Jepang memperhatikan sejumlah hal, salah satunya nilai ICOR (Incremental Capital-Output Ratio) Indonesia yang tinggi. Ini membuat investasi di Indonesia lebih boros.
“Rata-rata ICOR Indonesia semakin meningkat mendekati 6,5 dalam lima tahun terakhir. Sementara Vietnam 4,6, Thailand 4,4, Malaysia 4,5, dan Filipina 3,7. Dari ICOR saja sudah terlihat kenapa relokasi pabrik Jepang tidak ke Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, masalah lingkungan menjadi pertimbangan utama investor Jepang dibandingkan investor Tiongkok. Ini terlihat saat Tiongkok banyak masuk ke sektor ekstraktif yang aspek lingkungannya sering bermasalah. Sementara itu Jepang masuk ke sektor infrastruktur dan manufaktur.
“Jepang juga sudah komitmen investasi di kereta cepat, tapi pemerintah prefer ke Tiongkok karena konsesi yang lebih besar buat Indonesia, pinjaman murah, dan feasibility study yang cepat. Jadi sulit juga kalau head to head dengan Tiongkok,” kata Bhima.
Meski demikian, Jepang memiliki pendekatan lain, yakni menggeser investasinya ke sektor keuangan. Salah satunya dengan Sumitomo Mitsui yang mengakuisisi BTPN. Pasalnya Jepang memiliki kepentingan untuk terus meningkatkan investasi di Tanah Air. Salah satunya untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok.
“Jepang bisa menjadi penyeimbang di antara negara-negara tradisional yang berinvestasi di Indonesia,” ujar Bhima. “Sekarang investasi Tiongkok cukup cepat. Padahal 10 tahun yang lalu belum seperti ini. Semakin banyak investasi dari non-Tiongkok bisa jadi penyeimbang agar Indonesia tidak didikte oleh Tiongkok.”
Jepang pun memiliki sejarah panjang di Indonesia. Negeri Matahari Terbit itu diketahui mulai berinvestasi sejak masa Orde Baru pada pembangunan infrastruktur dan otomotif, jauh sebelum negara-negara lain berinvestasi.
Menurut hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2019, masyarakat Indonesia menganggap Tiongkok sebagai negara yang paling berpengaruh di Asia, mengungguli Jepang dan AS. Tiongkok berhasil meningkatkan pengaruhnya di Asia dari dua negara tersebut, seperti terlihat pada databoks berikut.