Sama dengan Huayue, Lygend juga akan membangun pabrik smelter nickel, cobalt, dan ferronickel, serta pembangkit listrik di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Sulawesi Utara. Total investasi dua proyek ini US$ 2 miliar. Dari jumlah tersebut, Lygend berkontribusi 36,9% atau US$ 738 miliar.

Sementara itu pembangunan kawasan industri Morowali dipegang oleh Tsingshan Holding Group dan Delong Holdings yang saat ini telah menginvestasikan US$ 16 miliar (Rp 226,7 triliun) dan menyatakan berkomitmen untuk meningkatkan investasinya menjadi US$ 20,9 miliar (Rp 296,1 triliun) hingga 2024 dan sekitar US$ 35 miliar (Rp 495,9 triliun) hingga 2033.

Tsingshan juga bermitra dengan GEM Co.Ltd., Burnp Recycling Technology Co.Ltd., PT Indonesia Morowali Industrial Park, dan Hanwa. Mereka mendirikan perusahaan patungan Qing Mei Bang (QMB) New Energy, yang akan memproduksi bijih nikel laterit (laterite nickel ore) untuk bahan baku baterai mobil listrik. Total investasi pendirian QMB sebesar US$ 700 juta (Rp 9,9 triliun).

Juru bicara Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi Jodi Mahardi mengatakan kepada Reuters, bahwa perusahaan-perusahaan asal Tiongkok ini akan bermitra dengan investor dari Perancis, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan lainnya.

Perusahaan energi Tiongkok, Powerchina juga menggarap pembangkit listrik tenaga air di Sungai Kayan, Kalimantan Utara. Proyek PLTA yang juga bagian dari Belt and Road Inititive Tiongkok ini rencananya memiliki kapasitas 9.000 megawatt (MW), menjadikannya yang terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan PLTA Son La di Sungai Da, Vietnam, yang berkapasitas 2.400 MW.

Oleh karena itu proyek ini pun membutuhkan investasi yang tidak sedikit, US$ 20,7 – 24,3 miliar (Rp 304 – 357 triliun). Selain Powerchina, proyek ini akan dibiayai Central Asia Capital Ltd.

Agresivitas Belt and Road Initiative Tiongkok

Investasi Tiongkok di Indonesia memang terlihat lebih agresif dibandingkan Jepang. Ini juga terlihat dari PMA Tiongkok pada kuartal ketiga tahun ini yang masih tumbuh, berkebalikan dengan Jepang yang turun. Walaupun, sebenarnya Jepang memiliki jumlah proyek yang lebih banyak di Tanah Air, yakni 6.489 proyek berbanding 2.139 proyek milik Tiongkok.

Kepala BKPM Bahlil Lahadalia pada saat mengumumkan lompatan PMA Tiongkok di 2019 pada awal tahun ini menyebutkan beberapa faktor yang membuat negara itu begitu agresif menanamkan modalnya di Tanah Air. Padahal investasi yang ditawarkan kepada Tiongkok juga ditawarkan kepada negara lainnya.

Menurut dia, agresivitas investasi Tiongkok didukung oleh dua faktor utamayakni keberanian untuk masuk ke sektor padat modal, misalnya infrastruktur dan manufaktur yang berisiko tinggi dan memiliki waktu pengembalian modal yang lama. Kedua, uji kelayakan proyek oleh Tiongkok dilakukan lebih cepat, hanya sekitar satu tahun enam bulan. Setelah itu, proyek bisa langsung dimulai. Berbeda dengan Jepang yang perlu waktu hingga tiga tahun.

Agresivitas investasi Tiongkok juga merupakan bagian dari Belt and Road Initiative (BRI). Inisiatif ini diluncurkan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping pada September 2013 pada saat berkunjung ke Indonesia dan Kazakhstan. Seluruh proyek-proyek di bawah bendera BRI ditargetkan rampung pada 2049.

Bank Dunia mengestimasikan, hingga Juni 2019 Tiongkok telah menggelontorkan dana US$ 575 miliar untuk proyek BRI di seluruh dunia. PricewaterhouseCoopers pada 2016 lalu memperkirakan investasi BRI bisa mencapai US$ 1 triliun dalam 10 tahun kemudian. Sedangkan Morgan Stanley memperkirakan nilainya bisa mencapai US$ 1,2 – 1,3 triliun hingga 2027.

Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan PLTA Kayan juga merupakan bagian dari BRI Tiongkok yang sudah berjalan di Indonesia. Total proyek berbendera BRI di Tanah Air yang telah diteken akta kesepemahamannya dengan Tiongkok berjumlah 23 proyek.

Sementara menurut data Japan External Trade Organization (JETRO), Indonesia memang bukan target utama FDI Jepang di Asia. Setidaknya sejak 2017, dua negara Asia penerima FDI dari Negeri Matahari Terbit ini adalah Tiongkok dan Singapura. Sementara Indonesia berada di posisi ketiga atau keempat setelah Thailand, dengan nilai yang terpaut cukup jauh.

Seperti pada 2019, menurut data JETRO, FDI Jepang mengalir ke Indonesia sebesar US$ 8,39 miliar, jauh di bawah Tiongkok US$ 14,37 miliar dan Singapura US$ 15,67 triliun. Sedangkan untuk tahun ini, aliran keluar FDI Jepang turun ke hampir seluruh negara penerima.

Kehadiran Jepang Mengimbangi Pengaruh Tiongkok

Kepada Katadata.co.id, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional, Shinta Kamdani, mengatakan bahwa Tiongkok memang lebih agresif berinvestasi di Indonesia, terlihat dari volume investasi yang lebih besar.

Meski demikian, menurutnya, Jepang masih sangat tertarik untuk menanamkan modal di Indonesia. Hal ini hanya soal perbedaan karakter pemodal Jepang dan Tiongkok. “Investor Jepang sangat berhati-hati. Butuh waktu lebih lama untuk evaluasi dan membuat keputusan. Tapi terbukti mereka di sini untuk jangka panjang, termasuk melalui banyak krisis,” kata Shinta.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa kehati-hatian investor Jepang memperhatikan sejumlah hal, salah satunya nilai ICOR (Incremental Capital-Output Ratio) Indonesia yang tinggi. Ini membuat investasi di Indonesia lebih boros.

“Rata-rata ICOR Indonesia semakin meningkat mendekati 6,5 dalam lima tahun terakhir. Sementara Vietnam 4,6, Thailand 4,4, Malaysia 4,5, dan Filipina 3,7. Dari ICOR saja sudah terlihat kenapa relokasi pabrik Jepang tidak ke Indonesia,” ujarnya.

Selain itu, masalah lingkungan menjadi pertimbangan utama investor Jepang dibandingkan investor Tiongkok. Ini terlihat saat Tiongkok banyak masuk ke sektor ekstraktif yang aspek lingkungannya sering bermasalah. Sementara itu Jepang masuk ke sektor infrastruktur dan manufaktur.

“Jepang juga sudah komitmen investasi di kereta cepat, tapi pemerintah prefer ke Tiongkok karena konsesi yang lebih besar buat Indonesia, pinjaman murah, dan feasibility study yang cepat. Jadi sulit juga kalau head to head dengan Tiongkok,” kata Bhima.

Meski demikian, Jepang memiliki pendekatan lain, yakni menggeser investasinya ke sektor keuangan. Salah satunya dengan Sumitomo Mitsui yang mengakuisisi BTPN. Pasalnya Jepang memiliki kepentingan untuk terus meningkatkan investasi di Tanah Air. Salah satunya untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok.

“Jepang bisa menjadi penyeimbang di antara negara-negara tradisional yang berinvestasi di Indonesia,” ujar Bhima. “Sekarang investasi Tiongkok cukup cepat. Padahal 10 tahun yang lalu belum seperti ini. Semakin banyak investasi dari non-Tiongkok bisa jadi penyeimbang agar Indonesia tidak didikte oleh Tiongkok.”

Jepang pun memiliki sejarah panjang di Indonesia. Negeri Matahari Terbit itu diketahui mulai berinvestasi sejak masa Orde Baru pada pembangunan infrastruktur dan otomotif, jauh sebelum negara-negara lain berinvestasi.

Menurut hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2019, masyarakat Indonesia menganggap Tiongkok sebagai negara yang paling berpengaruh di Asia, mengungguli Jepang dan AS. Tiongkok berhasil meningkatkan pengaruhnya di Asia dari dua negara tersebut, seperti terlihat pada databoks berikut.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement