"Membuat ide-ide baru yang bisa membuat investasi datang lebih datang lebih cepat. Makanya dibutuhkan kreativitas," kata dia.

Sementara sumber pertumbuhan lainnya yaitu perdagangan internasional atau ekspor-impor tidak bisa menjadi diandalkan dengan kondisi eksternal yang juga masih lemah. Apalagi selama ini Indonesia lebih sering mencatatkan defisit neraca perdagangan.

Baru pada 2020 ini Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan selama enam bulan berturut-turut, sejak Mei hingga Oktober. Namun surplus tersebut lebih disebabkan impor yang turun lebih kencang dibandingkan ekspor.

Data BPS menunjukkan, nilai ekspor 10 bulan pertama 2020 mencapai US$ 131,54 miliar, turun 5,58% secara tahunan atau year on year (yoy). Sedangkan impor sebesar US$ 114,46 miliar, turun 19,07% yoy. Dengan demikian surplus neraca perdagangan sebesar US$ 17,07 miliar. Adapun pada Oktober Ri mencatatkan surplus US$ 3,61 miliar.

Selengkapnya bisa dilihat pada databoks berikut:

Belanja Pemerintah Jadi Tumpuan

Pemerintah pun harus memutuskan antara mendorong konsumsi atau investasi melalui pengeluaran belanjanya. Chatib merekomendasikan agar pemerintah memfokuskan anggaran belanjanya untuk mendorong daya beli masyarakat sehingga bisa mendongkrak konsumsi, daripada digunakan untuk menggenjot investasi.

Berdasarkan simulasi yang ia lakukan, jika pemerintah meningkatkan daya beli, peningkatan konsumsi akan mampu mengundang investasi yang signifikan.

Sebaliknya jika investasi yang digenjot, dengan daya beli masyarakat yang masih lemah, peningkatan produksi hanya akan menambah persediaan barang di gudang dan tidak signifikan mendorong konsumsi.

“Sebaiknya yang didorong itu konsumsi rumah tangga dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) atau cash transfer yang lebih superior mendorong investasi,” ujarnya.

Lalu siapa yang harus dibantu? Menurut Chatib, kelompok yang paling parah terkena dampak pandemi Covid-19 ini adalah pengusaha yang pendapatannya turun sekitar 14% di bawah normal dibandingkan sebelum pandemi, dan pekerja sektor informal yang pendapatannya turun sekitar 30% menjadi 70,9%.

Dengan turunnya tingkat pendapatan, maka level konsumsi ikut menurun. Data OCE Bank Mandiri menunjukkan bahwa konsumsi kelompok masyarakat bawah (low income) turun sekitar 16%, kelompok menengah (middle income) turun 27% dan kelompok atas (high income) turun 31%.

"Jadi yang mesti dilakukan adalah membantu kelompok yang bawah ini bisa tetap belanja dengan bantuan sosial, kemudian mendorong yang menengah atas untuk belanja,” kata Chatib.

Selain itu juga terjadi perubahan pola konsumsi pada kelompok menengah atas yang mengurangi belanja barang non-kebutuhan pokok seperti traveling. Ini karena pandemi membuat masyarakat lebih banyak tinggal di rumah.

Menurut dia kebijakan ini cukup berhasil dalam memperbaiki kinerja konsumsi dari terkontraksi 5,52% pada kuartal II menjadi kontraksi 4,04%. Chatib menilai ini lantaran program bantuan tunai yang diberikan pemerintah.

Alasannya berbagai upaya sudah dilakukan dari sisi moneter dengan tingkat suku bunga acuan yang kini berada pada level terendah sepanjang sejarah Indonesia. Namun tetap saja penyaluran kredit bank masih seret, dan likuiditas bank semakin berlimpah.

“Yang membuat ekonomi turn around ternyata adalah belanja pemerintah yang sebagian besar adalah social assistance seperti BLT, PKH (program keluarga harapan), sembako. Tidak banyak orang yang pinjam dari bank,” ujarnya.

Kemudian agar bank berani mengucurkan kredit Chatib menyarankan pemerintah memberikan penjaminan kredit, subsidi bunga. “Ini programnya sudah ada. Ketika aktivitas ekonominya normal, baru kasih insentif pajak.

Pertumbuhan belanja pemerintah pada kuartal III tahun ini memang naik hingga 9,76% dibandingkan kuartal II yang terkontraksi 6,9%. Perkembangan belanja pemerintah dapat dilihat pada databoks berikut.

Menurut dia transfer BLT sangat efektif membuat konsumsi membaik walau masih terkontraksi. “Jump start-nya adalah stimulus fiskal. Kalau permintaan sudah naik baru kita akan melihat adanya dampak terhadap investasi. Karena investasi akan merespon naik kalau sudah ada permintaan,” kata Chatib.

Adapun realisasi anggaran perlindungan sosial dalam program penanganan virus corona Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional telah mencapai Rp 200,18 triliun atau 98,2% dari pagu Rp 203,9 triliun per 30 Oktober 2020. Selengkapnya dapat dilihat pada databoks berikut:

Senada, pendiri Ancora Group, dan mantan Menteri Perdagangan periode 2011 – 2014 pada masa pemerintahan Presiden SBY, menilai pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat pada 2021 bergantung pada secepat dan sedalam apa bantuan yang dapat diberikan untuk mendorong permintaan.

Kemudian apakah pemulihan ini dapat lebih meluas akan tergantung pada secepat apa pemerintah bisa melakukan vaksinasi dan menjamin ketersediaan vaksin. Pelaksanaan tes Covid-19 yang baru sekitar 2,1% dari total populasi masih belum menggambarkan kondisi pandemi secara keseluruhan untuk pengambilan keputusan.

Dia menilai ketidakpastian akibat risiko kesehatan ini masih akan berlangsung 2 hingga 3 tahun ke depan. “Sektor retail itu tidak bisa lepas dari bagaimana kita menempatkan dana untuk mendorong daya beli masyarakat,” ujar Gita pada acara webinar yang sama.

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement