Dari pertemuan tersebut, Gobel mengaku mendapatkan banyak informasi mengenai kesulitan yang dialami Garuda Indonesia saat ini dan sejauh mana langkah yang sudah ditempuh manajemen untuk menangani krisis keuangan. Dia mendukung langkah manajemen dalam menyehatkan kembali Garuda.

Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Prasetio mengatakan kemungkinan empat opsi tersebut digabung atau dipilih salah satu. "Opsi mana yang akan dipilih, saya rasa pasti nanti akan memberikan yang terbaik buat Garuda, itu yang penting," ujarnya.

Serikat Bersama (Sekber) Serikat Karyawan Garuda Indonesia sepertinya lebih memilih opsi pertama. Ini terlihat dari surat yang dikirimkan Sekber kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), saat hari Kesaktian Pancasila 1 Juni 2021. Sekber merupakan gabungan dari tiga wadah karyawan GIAA, yakni Serikat Karyawan Garuda Indonesia (Sekarga), Asosiasi Pilot Garuda (APG), dan Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (Ikagi).

Pengamat industri penerbangan Gatot Raharjo menilai dari keempat opsi tersebut, tiga di antaranya berkaitan dan harus dijalankan bersamaan. Pemberian stimulus dalam batas tertentu untuk operasional sangat diperlukan saat ini, karena arus kas sudah tersendat. Namun, ini harus disertai dengan restrukturisasi utang dan restrukturisasi perusahaan

Setelah itu Garuda dibiarkan tumbuh sesuai mekanisme pasar. Pemerintah jangan terlalu dalam mempengaruhi bisnis Garuda. "Misalnya jangan terlalu banyak meminta Garuda menjual harga tiket tertentu, tapi sesuaikan saja dengan harga pasar," ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (7/6).

Meski begitu, campur tangan pemerintah diperlukan dalam pembenahan operasional Garuda. Misalnya, harga avtur dan mekanisme pembelian yang tidak memberatkan maskapai. Karena avtur itu dikuasai Pertamina dan di bawah Kementerian BUMN, seharusnya bisa lebih mudah mengaturnya.

Pemerintah juga perlu mengatur mekanisme pentarifan, agar tidak terjadi persaingan harga antara penerbangan full service dan LCC (berbiaya rendah). Kemudian pembenahan pemberian rute dan slot berdasarkan banyaknya permintaan dan penawaran (supply and demand) juga diperlukan.

Meski opsi-opsinya belum diputuskan, Garuda terus melakukan upaya restrukturisasi dan bernegosiasi ulang dengan lessor atau pihak pemberi sewa pesawat. Menjelang akhir tahun lalu, manajemen perusahaan menyebutkan tengah bernegosiasi dengan 31 lessor pesawat terkait dengan sewa pesawat.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan akan mempercepat penyelesaian masa sewa pesawat sebelum jatuh tempo. Beberapa waktu lalu, Garuda mengembalikan dua armada Boeing 737-800 NG kepada salah satu lessor.

"Langkah strategis Garuda Indonesia dalam mengoptimalisasikan produktivitas armada dengan mempercepat jangka waktu sewa pesawat," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (7/6).

Efisiensi lain pun dijalankan, salah satunya dengan mengurangi jumlah karyawan dan komisaris. Menteri Erick mengatakan komisaris Garuda akan dikurangi dari lima orang, menjadi tiga orang. Garuda pun akan difokuskan melayani penerbangan domestik.

Halaman selanjutnya: Utang Garuda Membengkak Tiga Kali Lipat di 2020

Utang Garuda Membengkak US$ 5 Miliar di 2020

Hingga akhir 2019 total utang atau liabilitas Garuda yang tercatat dalam dalam laporan keuangan hanya US$ 3,73 miliar. Ini terdiri dari liabilitas jangka pendek US$ 3,26 miliar dan liabilitas jangka panjang US$ 477,22 juta. Namun, belum setahun berselang, nilainya meningkat hingga hampir tiga kali lipat.

Berdasarkan laporan keuangan kuartal III-2020, total liabilitas Garuda mencapai US$ 10,36 miliar. Liabilitas jangka pendek mengalami peningkatan 44% menjadi US$ 4,69 miliar. Sementara liabilitas jangka panjang kenaikannya sangat tinggi, menjadi US$ 5,67 miliar.

Mengutip penjelasan laporan keuangan Garuda Indonesia kuartal III-2020, lonjakan nilai liabilitas terjadi karena pada tahun lalu perseroan menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73. Ini membuat liabilitas sewa pembiayaan naik hingga US$ 5,07 miliar, menjadi US$ 5,12 miliar.

Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) memang mulai memberlakukan PSAK 73 pada tahun lalu. Ketentuan ini mengubah pembukuan transaksi sewa dari sisi penyewa (lessee). Penyewa harus membukukan hampir semua transaksi sewanya sebagai sewa finansial (financial lease).

Pembukuan sewa operasi (operating lease) hanya boleh dilakukan atas transaksi sewa yang kurang dari setahun dan bernilai rendah. Konsekuensinya, perusahaan harus mencatatkan aset dan kewajiban sewa di dalam neraca keuangan. Pencatatan ini bisa mempengaruhi rasio utang dan rasio pengembalian aset.

 

Demi menyelamatkan Garuda dari lilitan utang dan kinerja perusahaan yang terpuruk akibat pandemi, saat ini pemerintah sedang dalam proses memberikan pinjaman ke Garuda lewat obligasi wajib konversi (OWK) atau mandatory convertible bond (MCB) yang diterbitkan Garuda.

Garuda akan menerbitkan surat utang dengan nilai maksimum Rp 8,5 triliun dengan tenor selama 7 tahun. Setelah tenornya habis, obligasi ini akan dikonversi menjadi saham baru melalui mekanisme penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (PMTHMETD) atau private placement.

Dana tersebut akan digunakan untuk memperbaiki posisi keuangan GIAA, pembiayaan operasional, dan membantu keberlangsungan usaha. Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra mengatakan hingga Mei lalu, surat utang yang sudah diterbitkan Garuda baru Rp 1 triliun. Masih ada Rp 7,5 triliun lagi yang belum bisa diterbitkan karena masalah adminstrasi.

Halaman:
Reporter: Ihya Ulum Aldin
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement