- Bank Dunia menyebut masih terdapat masalah terkait kesenjangan digital, ekonomi, dan sosial di masyarakat.
- Populasi pengguna internet di Indonesia bertumbuh pesat, tapi penetrasinya masih rendah.
- Peringkat inklusifitas ekonomi digital di Indonesia relatif rendah dibanding negara Asia Tenggara lainnya.
Pesatnya populasi pengguna internet telah mendorong Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi digital tercepat di kawasan Asia Tenggara. Pandemi corona bahkan membuat akselerasi adopsi teknologi digital oleh masyarakat, perusahaan, dan pemerintah menjadi semakin lincah.
Ekonom Senior Bank Dunia Sailesh Tiwari menyebut saat ini penggunaan internet di Tanah Air mencapai 28% dari total penggunaannya secara global. Indonesia juga memiliki pengguna muda yang jauh lebih aktif dibandingkan negara lain.
Dengan kondisi tersebut perekonomian digital dalam negeri berpotensi terus dikembangkan. “Komunikasi, media sosial, dan leisure mendominasi penggunaan internet negara ini,” ucap Tiwari dalam paparan virtual World Bank Indonesia Digital Report pada Kamis pekan lalu.
Di samping itu, jasa e-commerce menjadi salah satu komponen utama pendorong ekonomi digital, terutama di masa pandemi Covid-19. Sistem dagang elektronik menjadi sumber pekerjaan dan pendapatan baru bagi banyak masyarakat.
Pada 2019, sebanyak 13,2 juta dari 127 juta pekerja terlibat dalam kegiatan dagang tersebut. Kondisi ini akan menjadi pekerjaan lebih umum dan dijadikan masyarakat untuk mendapatkan pemasukan tambahan. “Khususnya bagi anak muda dan perempuan,” ucapnya.
Namun, untuk memastikan semua orang dapat terlibat dalam perekonomian digital, Indonesia harus terus mendorong inklusi finansial. Pemerintah juga harus memastikan pembayaran digital aman untuk meningkatkan penggunaannya, memperbaiki logistik, dan perluasan investasi untuk meningkatkan keterampilan digital.
Dalam laporannya Bank Dunia menyebut, pertumbuhan yang inklusif tetap menjadi hambatan dalam pemanfaatan teknologi di negara ini. Masih terdapat segudang masalah terkait kesenjangan digital, ekonomi, dan sosial di masyarakat.
Contohnya, jumlah orang dewasa dengan akses internet di negara ini naik lebih tiga kali lipat dari 2011 hingga 2019. Namun, di sisi lain, sebanyak 49% kelompok umur tersebut masih belum terhubung ke internet.
Ekonom Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, pertumbuhan perekonomian digital saat ini hanya dinikmati oleh segelintir orang. “Terutama orang yang mampu mengakses teknologi digital secara penuh,” katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (4/8).
Terdapat tiga kategori kesenjangan digital di Indonesia. Ketiganya adalah kesenjangan akses, sumber daya manusia, dan penggunaan. Kesenjangan tersebut banyak dialami penduduk di luar Pulau Jawa.
“Masih banyak masyarakat yang tidak dapat mengakses internet, tidak memiliki skill (keahlian) digital, kemudian tidak paham penggunan tekonologi seperti apa,” ucap Nailul.
Mengapa Masih Ada Kesenjangan Digital di Indonesia?
Nailul menyebut salah satu penyebab kesenjangan digital di tanah air masih luas, yakni rendahnya integrasi antara sektor digital dengan pendidikan. Akibatnya, meski difasilitasi internet, misalnya dengan pembangunan Palapa Ring, masyarakat tidak tahu untuk apa.
Bank Dunia mengatakan, hanya 4% penduduk Indonesia yang mengakses internet melalui layanan fixed broadband atau jaringan komputer (local area network/LAN) dan WiFi. Angka ini menunjukkan penetrasi yang rendah, dibandingkan berbagai negara tetangga di Asia Tenggara.
Melansir Databoks, alasan utama masyarakat enggan berlangganan fixed broadband karena biayanya yang mahal. Tarif berlangganan berkisar Rp 250 ribu hingga Rp 800 ribu per bulan. Bahkan, biaya pemasangan awalnya setara dengan 1,2 kali pengeluaran bulanan per kapita keluarga miskin.Kondisi ini memperlihatkan kesenjangan digital berkaitan erat dengan kesenjangan ekonomi.
Masalah lainnya, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, adalah porsi produk lokal yang realtif rendah dalam kegiatan perdagangan elektronik. “Hanya 23% barang yang dijual di internet itu adalah produk lokal. Sebanyak 76% merupakan produk impor dari luar negeri,” katanya.
Saat ini, menurut dia, terjadi fenomena industrialisasi dini. Bisnis jasa digitalnya meningkat, tapi industrinya makin terpukul ke bawah. Banyak manufaktur di Indonesia yang menutup industrinya.
Yang justru menjamur justru para importir, dropshipper atau reseller barang-barang impor di pasar e-commerce Indonesia. “Makin dipicu digitalisasi, maka ketimpangan semakin lebar,” kata Bhima.
Ekonomi Digital untuk Pekerja Keahlian Tinggi?
Melansir Bank Dunia, ekonomi digital memang menjadi peluang baru bagi pekerja. Namun, peluang ini terbatas pada sektor dan wilayah tertentu. Pekerja dengan keterampilan tinggi lebih berpeluang bersinar di perekonomian digital saat ini.
Penyebabnya adalah tingkat adopsi digital oleh perusahaan, terutama usaha kecil dan menengah (UMKM) masih rendah. Menurut Nailul, kemampuan digital seperti ini ke depannya akan terus meningkat. “Memang, disinyalir akan ada pekerja, khususnya yang berketerampilan lebih rendah, yang akan tergerus oleh ekonomi digital,” ucapnya.
Dalam sektor digital, Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) menunjukkan 66% perusahaan teknologi keuangan atau fintech kekurangan sumber daya manusia di bidang pemrograman dan data.
Artinya, pasokan tenaga kerja ahli masih kurang dan tak jarang sampai memperkerjakan pekerja asing. “Dalam ekonomi digital memang memerlukan sumber daya manusia berkeahlian tinggi. Ini yang belum dipenuhi oleh masyarakat Indonesia,” kata Nailul.
Bagaimana Agar Ekonomi Digital Inklusif Tanpa Kesenjangan?
Peringkat inklusifitas ekonomi digital di Indonesia relatif rendah dibanding negara Asia Tenggara lainnya. “Ini memang jadi PR (pekerjaan rumah) kita, bagaimana agar pertumbuhan ekonomi digital yang besar ini dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat,” ujar Nailul.
Pasokan tenaga kerja harus dimulai dari sektor pendidikan. Pemerintah harus segera mengintegrasi sektor teknologi digital dengan kurikum pendidikan.
Lalu, menurut Bhima, paling utama ialah terkait pemerataan infrastruktur, terutama bagi masyarakat di luar Pulau Jawa. Biaya internet juga harus dibuat murah, supaya kelas menengah bawah turut memanfatkannya.
Sebagai informasi, masyarakat menengah ke bawah saat ini banyak bergerak di sektor UMKM. Namun, hanya 13% dari 65 juta pelaku UMKM yang sudah memanfaatkan teknologi digital.
Untuk menuju ekonomi digital yang inklusif tanpa kesenjangan, UMKM perlu diberi bantuan terkait hal ini. “Di Malaysia, UMKM yang berjualan di masa pandemi diberi subdisi kuota internet, kemudian subsidi ongkos kirim. Ini contoh yang harus diaplikasikan secara nasional di Indonesia,” kata Bhima.
Lalu, terkait masalah biaya, dalam meningkatkan ekonomi, pembiayaan produktif harus lebih didorong. Misalnya, dengan memberi uang pinjaman untuk industri pertanian, manufaktur kecil, dan masyakarat daerah.
Miliki Unicorn Terbanyak di ASEAN, Apa Kontribusinya?
Saat ini kontribusi ekonomi digital kepada ekonomi nasional masih relatif rendah. Sumbangannya sekitar 3,7% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. “Lalu, e-commerce yang menjadi penyumbang terbesar di ekonomi digital pun hanya 7 sampai 9%,” kata Nailul.
Artinya, meski memiliki jumlah perusahaan unicorn terbanyak di Asia Tenggara, kontribusi sektor teknologi kepada perekonomian masih rendah. Perekonomian nasional saat ini paling banyak disumbang oleh sektor padat modal dan karya, seperti industri, perdagangan, pertanian.
Meski tak banyak berkontribusi pada PDB, Bhima mengatakan, unicorn di Indonesia banyak membantu masyarakat. Misalnya, menopang UMKM dalam segi pembayaran hingga logistik. Kemudian, membantu pembiayaan ke sektor produktif atau melalui pinjaman modal usaha. “Selain itu, juga dapat menyerap tenaga kerja langsung. Dampaknya cukup besar kepada perekonomian,” kata Bhima.
Lalu, jika dibandingkan dengan unicorn negara tetangga Singapura, kontribusinya Indonesia pada perekonomian masih rendah. Begitu pula dengan Malaysia. Namun, nilainya masih lebih tinggi dibanding Vietnam, Thailand, Filipina, atau Kamboja dan Laos.
Penyumbang bahan: Alfida Febrianna (magang)