- Masyarakat adat di Kabupaten Sorong menolak kehadiran perkebunan sawit di hutannya.
- Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat, berharap pemerintah pusat memperpanjang moratorium perluasan lahan sawit.
- Tanpa moratorium, pelanggaran kerusakan hutan akan terus terjadi dan memperparah konflik dengan masyarakat di masa depan.
Kondisi hutan di Distrik Segun, Kabupaten Sorong, masih tampak alami. Tidak ada kegiatan perkebunan, apalagi industri. Beberapa kali warga sekitar mendapat tawaran dari perusahaan kelapa sawit agar mendapat izin membuka hutan. Namun, mereka menolak.
Warga sepakat pembukaan lahan sawit hanya membuat hutan tandus. “Hutan bisa hancur, margasatwa terancam hilang,” kata Ketua Rukun Keluarga 1 Felix Malagilik kepada fotografer Katadata.co.id Muhammad Zaenuddin, Minggu (19/9), di Distrik Segun, Papua Barat.
Masyarakat adat di sana memang menggantungkan hidup dari hutan itu. Di dalamnya terdapat pohon keladi, trembesi, sagu, rusa, dan babi. Beberapa flora dan fauna ini dapat memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Sekretaris Distrik Segun Samuel Ketumlas menyebut hutan telah membesarkan dirinya sejak kecil. Kehadiran perkebunan kelapa sawit hanya akan mengancam masyarakat adat dan keturunannya di masa depan.
PT Sorong Agro Sawitindo Lestari disebut-sebut mencoba membuka izin perusahaan kelapa sawit di hutan itu. Luasnya mencapai 15 ribu hektare yang bakal mempengaruhi kehidupan 42 kepala keluarga atau sekitar 280 jiwa penghuni distrik itu.
Berulang kali pihak perusahaan datang dengan dalih perbaikan akses jalan. Tawaran kompensasinya adalah Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per marga. “Kami tidak menerimanya. Kalau sudah ada industri sawit, kehidupan anak-anak kami menderita di hari mendatang,” kata Samuel.
Kepala Kampung Segun Permenas Hae berpendapat serupa. Segun luasnya terbilang kecil. Apabila berubah menjadi perkebunansawit, peradaban masyarakat adat di sana akan terancam. “Sawit hanya membawa kerugian dan masyarakat semakin menderita,” ujarnya.
Izin Dicabut, Perusahaan Sawit Melawan
Kebijakan moratorium perluasan lahan perkebunan kelapa sawit telah berakhir pada 19 September 2021. Sampai sekarang tidak terang benar apakah pemerintah akan melanjutkan atau memulai rezim baru industri crude palm oil (CPO).
Bupati Sorong Johny Kamuru bersama pegiat lingkungan berharap perpanjangan akan terjadi. “Kami menyayangkan apabila tidak diperpanjang,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat (17/9).
Dalam dua tahun terakhir, Provinsi Papua Barat melakukan evaluasi tata kelola perizinan perkebunan intensif. Penilaian ini mendapat dukungan pula dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pemerintah daerah melakukan hal itu berlandaskan tiga instrumen kebijakan. Ketiganya adalah Deklarasi Manokwari, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sawit (Inpres Moratorium Sawit), dan Rencana Aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) KPK.
Saat ini terdapat 24 perusahaan memegang izin pemanfaatan lahan di provinsi tersebut. Luas konsesinya mencapai 576 ribu hektare. Dari jumlah tersebut ada 383,4 ribu hektare yang bervegetasi hutan dan masih dapat diselamatkan.
Sebanyak 14 perusahaan telah dicabut izinnya. Namun, pencabutan tersebut mendapat perlawanan, khususnya di Kabupaten Sorong. Perusahaan yang menggugat balik adalah PT Inti Kebun Lestari (IKL), PT Papua Lestari Abadi (PLA), dan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS).
Johny mengatakan pencabutan izin sudah berdasarkan penilaian menyeluruh. “Kami melihat lahan yang belum dimanfaatkan perlu dikembalikan ke masyarakat adat atau pemilik hak ulayat,” ucapnya.
Konsekuensi Serius Hilangnya Moratorium Sawit
Pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya mengatakan perpanjangan kebijakan moratoriun sawit masih diperlukan karena tata kelola perizinan industri ini belum selesai. Berdasarkan data yang mereka kumpulkan di akhir 2020, terdapat 11,9 juta hektare (ha) izin sawit tak bertutupan, 10,7 juta ha izin sawit bertutupan, dan 8,4 juta ha lahan sawit tidak memiliki izin.
Dari data itu terbukti masih banyak lahan yang tidak jelas statusnya. Di sisi lain, tidak banyak pemerintah daerah melakukan evaluasi perizinan sawit di wilayahnya. Padahal, penilaian ini menjadi penting agar kegiatan perkebunan tidak merugikan negara.
Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan, deforestasi dan kebakaran hutan menjadi ancaman di lima provinsi dengan tutupan sawit terluas di Indonesia. Riau sebagai provinsi dengan tutupan sawit terluas mengalami deforestasi sebesar 24.400 hektare. Selain deforestasi, luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di provinsi tersebut sebesar 90.550 hektare.
Dari kasus di Papua Barat, sekitar 650 ribu hektare sawit yang telah diberikan, ternyata hanya sekitar 52 ribu hektare yang benar-benar ditanam pohon sawit. “Potensi kerugian negara dari pajak sangat besar dari masalah ini,” kata CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar.
Laporan Greenpeace International di bulan April 2021 menemukan, hampir 1 juta hektare hutan di Provinsi Papua mengalami pelepasan sejak 2000. Laporan tersebut juga menilai moratorium kelapa sawit yang berlaku sejak pada 19 September 2018 belum mencapai hasil yang ideal.
Banyak regulasi yang memiliki celah. Dari sisi penegakan hukum pun masih lemah. Semua masalah ini mengancam kehidupan masyarakat adat.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas menyebut, hilangnya kebijakan moratorium akan mengarah ke konsekuensi yang serius. Evaluasi perizinan lahan akan berhenti total. Industri sawit akan kembali ke business as usual. “Pelanggaran kebijakan akan diabaikan dan memperparah konflik serta kerusakan lingkungan ke depan,” kata Arie.
Pelanggaran terutama terjadi dalam hal Izin Usaha Pembangunan (IUP). Banyak perusahaan melakukan aktivitas di kawasan hutan primer dan gambut, bahkan di wilayah masyarakat adat. Pemberian izin hanya menjadi legitimasi pembukaan lahan, tanpa perhatian pada deforestasi maupun konflik lahan yang meluas.
Berdasarkan jenis izin yang tercatat pada 2020, perkebunan sawit yang sedang dalam proses dan sudah memiliki hak guna usaha (HGU) baru 35,06%. Padahal, HGU merupakan basis hukum pengoperasian perkebunan sawit untuk kepemilikan privat dan negara.
Apabila perkebunan sawit sudah dikelola sebelum mendapat HGU, artinya perusahaan pemilik perkebunan tidak melewati prosedur formal pengusahaan sawit. Dampaknya, perusahaan tersebut tidak membayar bea pelayanan HGU yang menyebabkan negara kehilangan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Karena itu pemerintah harus memperpanjang moratorium berdasarkan pelanggaran berbagai IUP dan juga kurangnya tata kelola sawit yang baik. “Ini harus menjadi bahan pijakan untuk menentukan perpanjangan dan memperkuat moratorium,” kata Arie.
Kepala Ekonom PT Bahana Sekuritas Putera Satria Sambihantoro berpendapat harga CPO akan terkoreksi kalau pemerintah tidak memperpanjang moratorium. Langkah ini dapat menjadi sinyal Indonesia bakal menambah pasokan sehingga menekan harga minyak sawit mentah.
Pemerintah, Satria memperkirakan, akan melanjutkan moratorium sawit. Selain harga, kritik keras bakal datang dari dunia internasional apabila Indonesia tidak melanjutkan langkah pencegahan deforestasi.
Sebagai informasi, harga CPO saat ini sedang tinggi dan menjadi pendongkrak devisa. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia memperkirakan sumbangan devisa sawit mencapai US$20 miliar pada tahun 2020.
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat, harga CPO untuk pengiriman November berada di kisaran US$ 1.200 per metrik ton. Angkanya melambung tinggi dibandingkan periode November 2020 yang berada pada US$ 800 per metrik ton.
Harga sawit mengalami koreksi pada Maret 2020 di kisaran US$ 500 per metrik ton. Perlahan-lahan angka ini naik pada kuartal ketiga. Para analis memperkirakan kenaikan bakal terus terjadi tahun ini karena India akan merayakan Diwali dan Eropa memasuki musim dingin.
Kehadiran moratorium diperkirakan dapat memberi nilai tambah produk sawit Indonesia di pasar global. Kebijakan ini berpihak pada penurunan laju deforestasi secara signifikan, yang didukung dunia internasional.