Mengutip CNBC, ekonomi Cina berhasil tumbuh 8,1% sepanjang 2021, tetapi bergerak melambat menuju akhir tahun. Produk domestik bruto (PDB) Cina pada kuartal keempat tahun lalu hanya tumbuh 4% dibandingkan periode yang sama 2020. Pertumbuhan ini melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 4,9%year on year dan kuartal II 2020 yang tumbuh 7,9% yoy. 

Kinerja manufaktur Cina masih mencatatkan pertumbuhan, sementara konsumsi rumah tangga mulai melambat seiring kebijakan lockdown di beberapa kota untuk mencegah penularan Covid-19. Pemerintah Cina masih berupaya mengejar nol kasus Covid-19, berbeda dengan banyak negara yang sudah mulai berdamai dengan Covid-19 sehingga menerapkan kebijakan pembatasan yang lebih longgar. 

Tak heran, kinerja ekspor mulai mengalami tren penurunan pada Desember. Penurunan ekspor terutama terjadi untuk tujuan Cina sebesar US$ 310,4 juta. Sebaliknya, impor pada bulan lalu justru mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah dan naik 10% dibandingkan bulan sebelumnya. 

 

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, potensi perlambatan ekonomi Cina akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia tahun ini. IMF dan Bank Dunia sama-sama memproyeksikan bahwa ekonomi Cina cenderung melambat pada tahun ini sehingga berpotensi mempengaruhi volume permintaan komoditas ekspor Indonesia.

IMF memperkirakan ekonomi Cina hanya akan tumbuh 5,6% pada tahun ini. Bank Dunia bahkan lebih pesimistis lagi dan meramal ekonomi Cina hanya akan tumbuh 5,1%. 

"Perlambatan aktivitas ekonomi Tiongkok juga diperkirakan akan mempengaruhi tren harga komoditas global mengingat pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang memiliki korelasi tinggi terhadap harga komoditas global, seperti minyak mentah, CPO dan batu bara," ujar Josua kepada Katadata.co.id. 

Selain itu, menurut dia, komponen harga komoditas ekspor yang merupakan komponen lain selain volume ekspor, juga diperkirakan mengalami proses normalisasi seiring mulai normalnya rantai pasokan global. Rencana normalisasi kebijakan moneter AS tahun 2022 juga akan turut mempengaruhi harga komoditas global. Kenaikan suku bunga acuan AS yang berpotensi mendorong penguatan dolar AS yang memiliki hubungan terbalik dengan harga komoditas ekspor.

"Tantangan ekspor Indonesia akan datang dari perlambatan ekonomi Tiongkok, potensi penguatan dolar AS yang berimplikasi pada potensi penurunan harga komoditas global," ujar dia.

Oleh sebab itu, menurut Josua, pemerintah tetap perlu mendorong hilirisasi komoditas ekspor, yakni CPO dan batu bara sehingga kinerja ekspor tidak selalu bergantung pada kondisi global, terutama harga komoditas mentah di pasar internasional. Saat ini, Indonesia masih menjadi pengekspor komoditas mentah dengan nilai tambah yang tidak tinggi.

Kepala Ekonom BCA David Sumual juga memperkirakan kinerja ekspor pada tahun ini tak akan sebagus tahun lalu terutama karena perlambatan ekonomi Cina. Ia meramal ekspor tahun ini tak akan mencapai US$ 200 miliar. 

Sementara itu, menurut David, impor kemungkinan akan mulai meningkat seiring dengan pemulihan ekonomi domestik. Meski demikian, ia masih optimistis neraca perdagangan pada tahun ini masih akan mencetak surplus meski tak sebesar tahun lalu. 

"Surplus neraca perdagangan mungkin mencapai sekitar US$ 20 miliar, sedangkan ekspor kemungkinan di bawah US$ 200 miliar," ujar David. 

Meski dukungan dari kinerja perdagangan internasional akan menurun pada tahun ini, David memperkirakan ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh di atas 5% pada tahun ini sesuai target pemerintah. Namun, ia memberikan catatan, proyeksi ini mungkin akan tercapai jika tidak ada kondisi khusus seperti lonjakan kasus Covid-19 akibat varian Delta pada tahun lalu.

"Pertumbuhan ekonomi akan ditopang konsumsi rumah tangga. Investasi juga diharapkan mulai meningkat setelah hampir dua tahun bisa dikatakan puasa," kata David. 

 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement