Jumlah ini rupanya masih belum memuaskan bagi pemerintah. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut pemerintah akan memangkas pos anggaran infrastruktur untuk menggurangi anggaran. Tito beralasan pemerintah masih bersiaga menghadapi pemulihan ekonomi akibat pandemi, di tengah banyaknya proyek strategis nasional lainnya.

Sebagai gantinya, Tito berencana menyurati pemerintah daerah (Pemda) untuk membantu persiapan renovasi atau pengadaan kantor KPU daerah. 

"Artinya, dengan anggaran seminimal mungkin, bisa mencapai target,” kata Tito.

Lantas, bagaimana sebenarnya rasionalisasi anggaran KPU? Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti mengatakan kebutuhan anggaran Pemilu 2024 ini sejatinya sudah cukup masuk akal jika memang program yang diajukan KPU dibutuhkan. Kendati demikian, ia menyebut masih ada ruang bagi KPU untuk melakukan efisiensi biaya.

“Mungkin program-program yang tidak terlalu berdampak terhadap tahapan Pemilu bisa dikurangi,” kata Ray kepada Katadata.

Hal senada juga diungkapkan oleh Titi Anggraini. Menurutnya, salah satu penyebab anggaran jumbo pemilu ini karena usulan untuk menaikkan honorarium petugas pemungutan dan penghitungan suara di lapangan. Pasalnya, para petugas di lapangan ini menghadapi beban kerja dan tantangan politik yang sangat besar. 

“Penghargaan dan apresiasi yang lebih baik bagi petugas pemilu merupakan sesuatu yang logis dan bisa dipahami, hanya saja tetap harus memperhatikan efektivitas dan efisiensi serta kemampuan keuangan negara dalam membiayainya,” kata Titi.

Titi juga mengingatkan agar KPU menjelaskan ke publik soal anggaran Pemilu 2024 ini. Apalagi menurutnya, anggaran pemilu bersumber dari dana publik sehingga peruntukannya juga wajib memperhatikan prinsip-prinsip penganggaran yang baik, efektif, efisien, anti-korupsi, dan tepat guna. 



Politik Identitas

Meskipun anggaran Pemilu 2024 belum disahkan, suhu politik menjelang 2024 sudah mulai memanas. Partai politik bergerilya mencari jagoan untuk diusung sebagai calon pemimpin masa depan. Sementara itu, para politisi juga kian agresif berupaya untuk meningkatkan elektabilitas.

Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani Indonesia, mengatakan salah satu ciri khas Pemilu 2019 yang masih dapat dirasakan hingga saat ini adalah politik identitas. Polarisasi ini terlihat jelas melalui istilah ‘cebong’ dan ‘kampret’ yang tetap bertahan bahkan bertahun-tahun setelah pertama kali muncul di publik.

“Saya melihat politik identitas masih terawat karena Pemerintah juga tidak berusaha mengurangi hal tersebut,” kata Ray kepada Katadata

Menurut Ray, partai politik memang cenderung diuntungkan oleh politik identitas. Selain itu, ada juga basis pendukung yang memanfaatkan isu ini untuk kepentingan elektoral. “Padahal politik identitas itu lebih berbahaya dibandingkan dengan politik uang,” kata Ray. 

Ray mengajukan tiga alasan mengapa politik identitas sangat berbahaya bagi demokrasi kita. Pertama, politik identitas bisa berlangsung lama. Menurut Ray, bibit politik identitas sebenarnya sudah mulai muncul sejak 2014, tetapi mulai menemukan momentumnya pada 2019. Kedua, jangkauan politik identitas bisa sangat luas. Selain itu, politik identitas cenderung menimbulkan kekerasan.

“Ribut-ribut Pilkada Jakarta misalnya bisa meluas dan jadi pembicaraan orang di ujung Sumatera,” kata Ray.

Sementara itu, laporan Drone Emprit menunjukkan penggunaan istilah cebong dan kampret mulau meningkat drastis sejak April 2019. Pada periode tersebut, publik menggunakan kata cebong pada lebih dari 400.000cuitan dan kampret mencapai 300.000 cuitan di Twitter. 

PRESIDEN MELANTIK KOMISIONER KPU-BAWASLU
PRESIDEN MELANTIK KOMISIONER KPU-BAWASLU (ANTARA FOTO/HO/Setpres-Lukas/wpa/tom.)
 

Usai Pilpres, penyebutan cebong dan kampret perlahan tergantikan dengan penggunaan istilah baru, yaitu "kadrun" dan "buzzeRp" serta variasinya "buzzerRp".  Sementara itu, terhitung sejak Juli 2015 hingga Sabtu 16 April 2022, terdapat lebih dari 14 juta cuitan yang menyebutkan keempat istilah tersebut: Cebong 4,67 juta, kadrun 4,33 juta, kampret 3,94 juta, buzzeRp 943 ribu, dan buzzerRp 352 ribu. 

“Politik identitas ini adalah polarisasi politik paling panjang dalam sejarah Indonesia,” kata Ray Rangkuti.  

Halaman:
Reporter: Ashri Fadilla
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement