- Pemerintah sudah memiliki saham seri A Dwiwarna di Bank Syariah Indonesia, menjadikan emiten berkode BRIS ini mirip dengan BUMN lainnya.
- DPR ingin pemerintah segera menjadikan BSI sebagai BUMN melalui penyertaan modal yang diperkirakan bisa mencapai belasan triliun.
- Kementerian BUMN terlihat berhati-hati dan enggan terburu-buru menanggapi wacana tersebut.
Rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi VI DPR dengan PT Bank Syariah Indonesia Tbk pada Selasa (20/9) itu berlangsung mulus tanpa hambatan. Rapat yang berlangsung nyaris 2,5 jam itu fokus membahas masa depan emiten berkode BRIS tersebut. Ini terutama terkait dengan rencana pemerintah menjadikan BSI sebagai perusahaan pelat merah.
“DPR RI meminta Kementerian BUMN untuk mengawal dan memastikan proses status BSI menjadi Bank BUMN,” kata Sarmuji, Wakil Ketua Komisi VI DPR yang bertindak sebagai pimpinan rapat.
Wacana BSI menjadi bank BUMN memang bukan hal baru. Sejak awal tahun lalu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin sudah mendorong pemerintah menjadikan bank syariah itu sebagai milik negara. Ada dua skema yang didorong. Pertama, melalui penerbitan saham seri A Dwiwarna. Kedua, melalui penyertaan modal negara.
Penerbitan saham Dwiwarna di BSI sudah berhasil dilakukan lewat Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada Mei silam. Dengan demikian, secara prinsip pemerintah sudah memegang kewenangan terhadap BSI, meskipun sahamnya masih dimiliki oleh Bank Mandiri, BNI, dan BRI.
Melalui saham Dwiwarna, pemerintah memiliki sejumlah hak istimewa. Ini misalnya kewenangan mengenai perubahan anggaran dasar, permodalan, hingga beragam aksi korporasi seperti penggabungan, peleburan, pemisahan, bahkan sampai pembubaran BSI. Pemerintah juga berwenang untuk menetapkan pedoman terkait pengembangan bisnis strategis BSI, mengusulkan penyelenggaraan RUPS, serta mengakses data dan dokumen BSI.
Kendati saham Dwiwarna sudah cukup sakti mengatur jalannya bisnis BSI, Lembaga Legislatif ingin mendorong lebih jauh melalui penyertaan modal negara. Dalam RDP pekan lalu, nyaris seluruh anggota Komisi VI sepakat soal urgensi mendorong pemerintah menggelontorkan dana untuk menjadikan BSI sebagai BUMN.
Dukungan bahkan juga datang dari lintas komisi. Anggota Komisi XI DPR RI Misbakhun mengatakan pemerintah harus berperan memperkuat perbankan syariah dengan menjadikan BSI sebagai bank pelat merah. Menurutnya, potensi industri keuangan syariah sangat besar sehingga setoran modal negara untuk memperkuat struktur permodalan BSI sangat diperlukan.
“Berapapun besarnya setoran modal yang diperlukan untuk menjadikan BSI sebagai Bank BUMN harus tetap menjadi komitmen pemerintah untuk direalisasikan,” katanya kepada Katadata.
Kementerian BUMN Menahan Diri
Hingar bingar untuk segera mendorong BSI sebagai bank pelat merah justru ditanggapi dingin oleh Kementerian BUMN. Selepas RDP, Menteri Erick Thohir yang dimintai tanggapan soal rencana ini hanya berkomentar singkat.
“Pemerintah kan sudah punya saham Dwiwarna di BSI,” kata Erick.
Komentar singkat Erick ini memberikan sinyal soal bagaimana Kementerian BUMN bereaksi terhadap wacana ini. Sejumlah Sumber Katadata menyebutkan Kementerian BUMN sejatinya tidak ingin buru-buru menjadikan BSI sebagai bank BUMN. Kementerian merasa untuk saat ini saham Dwiwarna sudah cukup untuk menegaskan kehadiran negara di BSI.
Sumber Katadata yang lain bercerita, Kementerian BUMN mengkhawatirkan soal besaran setoran modal negara yang harus digelontorkan untuk mengakuisisi BSI. Saat ini, Bank Mandiri menggenggam 50,83% saham di BSI. Sementara BNI memiliki 24,85% dan BRI (17,25%). Adapun sisanya dimiliki oleh publik.
Melalui hitung-hitungan sederhana, 93% valuasi saham BSI yang dipegang ketiga bank tersebut saat ini bernilai sekitar Rp 35 triliun. Jika pemerintah ingin memegang 51% saham BSI, maka dibutuhkan dana setidaknya Rp 17 triliun untuk mencapai tujuan tersebut. Ini tentu angka yang sangat besar di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.
Sinyal keengganan Kementerian BUMN untuk buru-buru mengubah status BSI juga bisa dilihat dari pernyataan Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga. Menurutnya saham Dwiwarna di BSI saat ini sudah menjadi alat kontrol pemerintah yang membuat posisi BSI hampir mirip dengan BUMN lainnya. Ia pun menyebut proses BSI menjadi BUMN masih sangat panjang.
“Butuh waktu lama dan mungkin kita tidak tergesa-gesa saat ini,” kata Arya, Jumat (30/9).
Untung Buntung BSI Jadi BUMN
Pengamat Perbankan dari FEB Universitas Gadjah Mada mengatakan BSI memang ada beberapa keuntungan jika BSI menjadi BUMN. Salah satunya kemampuan pendanaan untuk mengakselerasi ekspansi.
“[Menjadi BUMN] bisa memperoleh suntikan dana dari pemerintah dengan lebih cepat,” katanya, Kamis (29/30).
Eddy juga menilai secara teknis menjadikan BSI sebagai BUMN sebetulnya tidak rumit. Pemerintah bisa saja membeli saham BSI dari pemiliknya saat ini, dengan tetap memperhatikan ketentuan yang berlaku. Namun, ia menilai pemerintah akan sedikit menunggu terkait wacana ini.
Apalagi menurutnya saat ini banyak BUMN yang sedang kesulitan dan menunggu uluran tangan pemerintah. “Di masa resesi sekarang ini, saya kira pilihan terbaik pemerintah harusnya agak menunggu. Mungkin isunya didorong dulu tetapi realisasinya masih perlu waktu,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad menilai perubahan status BSI menjadi BUMN sesuai dengan rencana Kementerian BUMN untuk membentuk kelompok usaha perbankan.
Menurutnya, pemerintah akan menargetkan dividen yang besar dari BSI karena pasar perbankan syariah belum digarap maksimal. Lebih lanjut, ia melihat sektor perbankan cenderung lebih stabil menghasilkan dividen dibandingkan dengan sektor lain, seperti infrastruktur, energi, atau transportasi.
“Rata-rata kalau kita lihat, di atas 80% dari seluruh dividen BUMN itu kan dari bank, jadi orang melihat bank lebih berkepastian memberi dividen dibanding badan usaha lain,” katanya.
Tauhid menilai BSI berpotensi menjadi akselerator pembangunan layaknya bank konvensional. Beberapa sektor industri yang dapat menjadi target pembiayaan terbesar BSI adalah telekomunikasi, logistik, hingga industri. Tauhid melihat ketiga sektor itu tumbuh dengan cepat dan membutuhkan modal yang lebih besar dari lembaga keuangan.
PR Besar BSI
Hampir dua tahun lalu, ketika BSI terlahir dari proses merger tiga bank syariah, manajemen mamatok target ambisius. Tidak hanya mengusai pasar lokal, BSI ingin bersaing di tingkat global.
“Kami ingin di 2025 bisa masuk 10 besar bank syariah global,” kata Direktur Utama BSI Hery Gunardi.
Hery menuturkan saat ini dengan kapitalisasi pasar US$ 3,69 miliar, BSI berada di posisi ke-14 dalam percaturan bank syariah global. Adapun di Indonesia, saat ini BSI menguasai 60% pangsa pasar perbankan syariah.
Kinerja BSI juha cukup mentereng. Pada paruh pertama 2022, BSI membukukan laba bersih hingga Rp 2,13 triliun, naik 41% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Hery optimistis sebab pasar syariah di Indonesia masih sangat besar. Saat ini, 86,9% dari populasi total masyarakat Indonesia adalah umat muslim atau setara 237,53 juta orang. Bila dibandingkan dengan angka global, nilai ini setara dengan 12,7% populasi umat muslim di seluruh dunia.
Kendati demikian, sebagai perbankan BSI masih punya segudang pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Ekonom Indef Tauhid Ahmad menilai ada tiga hal yang harus diperbaiki BSI. Pertama, penyesuaian budaya kerja dari sektor privat ke BUMN yang tidak berpaku pada pencarian keuntungan. Kedua, digitalisasi perbankan yang dinilai masih lambat dibanding industri perbankan lainnya. Ketiga, penyesuaian sumber daya manusia yang memiliki keahlian di industri syariah.
“Market syariah ini punya potensi besar, tapi manfaat yang diterima masyarakat masih kecil. Padahal karakteristik syariah tadi pun agak beda dengan bank umum," kata Tauhid
Tugas lain yang tidak kalah penting adalah aspek permodalan. Anggota Komisi VI DPR Nusron Wahid mempertanyakan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) BSI yang saat ini masih berada di kisaran 17,31%. Ia berharap BSI bisa meningkatkan CAR tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Dirut BSI Hery Gunardi mengatakan pihaknya ingin meningkatkan CAR melalui right issue. Menurut rencana BSI mengincar Rp 5 triliun melalui aksi korporasi ini.
“Waktu merger belum ada injeksi modal, kita harus injeksi lagi lewat right issue,” kata Hery.