NasDem juga punya pekerjaan rumah lain untuk membentuk koalisi demi memenuhi ketentuan  presidential threshold. Dalam aturan ini, capres harus diusung 25% suara sah nasional atau 20% kursi di DPR, yang masih belum dicapai oleh Nasional Demokrat.

Pakar politik Universitas Gadjah Mada Nyarwi Ahmad, merumuskan ada lima hal yang harus diperhatikan Anies untuk menyeleksi pasangan wakil presidennya. Pertama, Nyarwi menjelaskan apabila Anies percaya dengan basis elektoral, ia harus mencari sosok cawapres yang merepresentasikan organisasi atau partai nasionalis. Hal ini lantaran dirinya dikenal sebagai sosok yang dekat dengan komunitas ulama. 

Kedua, dari berbagai data survey ditemukan Anies memiliki nilai elektabilitas rendah di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang justru menjadi kunci kemenangan Pilpres. “Artinya, cawapres harus punya daya tarik di wilayah Jawa secara umum dan dua wilayah ini secara khusus,” kata Nyarwi pada Katadata.

Ketiga, Nyarwi melihat gaya kepemimpinan Anies di DKI Jakarta cenderung menawarkan ide besar dan kurang maksimal untuk eksekusinya. Maka, cawapres yang mendampinginya harus memiliki kemampuan manajerial dan birokrasi yang baik. Keempat, elektabilitas Anies masih belum tinggi di kalangan generasi muda, padahal generasi muda adalah pemilih mayoritas di Pemilu 2024 mendatang. Maka, ia meminta Anies mempertimbangkan cawapres dari kalangan muda.

“Ya bukan secara usia saja, tapi punya daya tarik di kalangan anak muda,” jelasnya. 

Terakhir, Nyarwi menyoroti status Anies yang bukanlah seorang pimpinan partai politik. Menurutnya, Anies bisa menggandeng seorang pimpinan partai politik untuk mendulang suara dan membantu kinerjanya. Dari kategori ini, Nyarwi menyebut ada dua nama yang mungkin digandeng Anies, yaitu Puan Maharani dan AHY.

“Tapi pertanyaannya, mau atau tidak? Partainya rela atau tidak? Formasi koalisinya seperti apa? Kalau Puan bisa maju sendiri tanpa koalisi karena suara partainya dominan di DPR, beda dengan Nasdem dan Demokrat,” katanya.

Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, pun menyatakan bahwa Anies tidak memiliki banyak pilihan untuk pasangan koalisinya. Dengan posisi Anies sebagai pihak oposisi pemerintahan, orang-orang yang memiliki elektabilitas tinggi dan terlihat sevisi dengannya hanyalah satu: AHY.

“Secara partai, AHY sebagai ketua umum Partai Demokrat pun jadi kunci apakah Anies bisa maju atau tidak. Nasdem dengan PKS nggak bisa mengusung capres, hanya Demokrat yang bisa. Enggak ada pilihan lain,” tutur Adi.

Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam memperkuat pernyataan Adi dengan menjelaskan bahwa AHY unggul di berbagai simulasi survey serta indikator non elektabilitas lainnya. Faktor non elektabilitas ini meliputi jaringan partai, jaringan nonpartai, pendanaan, hingga ideologi. 

Ia pun mengesampingkan peluang Ridwan Kamil sebagai salah satu calon wakil presiden untuk Anies. Dalam penjelasannya, Ridwan Kamil masuk dalam daftar hitam alias blacklist Nasdem dan PKS sebab dianggap mengkhianati agenda perjuangan pasca pilkada. Selain itu, nama non partai ia anggap belum pasti akan diterima Demokrat selaku kandidat kuat partai koalisi Nasdem.

“Artinya, koalisi harus mencari titik temu, sejauh ini AHY berada di daftar pertama. Kabar baiknya, Nasdem sebagai partai pengusung Anies memberikan hak untuk Anies memilih cawapres,” jelas Umam. 

Meski begitu, alternatif lain ditawarkan oleh Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin. Menurutnya, Khofifah bisa menjadi calon wakil presiden yang cocok bersanding dengan Anies. Menurutnya, Khofifah yang memiliki kekuatan di Jawa Timur bisa mengisi rendahnya elektabilitas Anies di daerah tersebut. Lalu, Khofifah dikenal dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU) serta bisa mendulang suara dari kaum perempuan, terutama ibu-ibu.

“Tapi itu tergantung partainya dan pasti ada pertimbangan masing-masing,” kata Ujang. 

Bekal Elektabilitas

Infografik_Deklarasi Nasdem untuk Anies Baswedan
Infografik_Deklarasi Nasdem untuk Anies Baswedan (Katadata/ Nurfathi)
 

 

Beberapa survey yang dilakukan periode Agustus hingga September 2022, nama Anies memang terlihat sebagai langganan tiga besar. Baik survei dari Indikator, LSI, Charta Politika, hingga CSIS mencatat nama Anies sebagai capres dengan elektabilitas nomor tiga, di bawah Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

Meski begitu, nilai elektabilitas Anies masih terpaut di angka 17,7% hingga 20,6%. Ujang berpendapat angka ini masih belum bisa menjadi simpulan peluang Anies untuk menang di kontestasi Pemilu 2024. Masih ada beberapa calon yang berpotensi menang atau menjegal elektabilitas Anies.

“Saat ini masih belum bisa disimpulkan bagaimana peluangnya, karena elektabilitasnya masih di angka 30%. Kalau angkanya di 50%-60%, baru punya potensi menang,” tutur Ujang.

Selain dari sisi elektabilitas, Nyarwi menyebut Anies masuk dalam dua kategori calon presiden alias capres yang biasanya dicari oleh rakyat. Pertama, adalah capres yang bisa meneruskan kepemimpinan periode sebelumnya dan capres yang bisa menawarkan alternatif. 

Menurut Nyarwi, Anies memiliki kapasitas untuk meneruskan kepemimpinan Jokowi sebab ia pernah menjadi menteri, juru bicara Jokowi-Jusuf Kalla, hingga menjadi gubernur DKI Jakarta yang berada di bawah komando presiden. Dengan pengalaman itu, Nyarwi menilai tidak sulit bagi Anies untuk menentukan apa celah kepemimpinan Jokowi.

“Tapi yang unik, ia bisa jadi alternatif karena dia oposisi tapi dekat dengan elit pemerintah. Meski dia dekat dengan elit-elit pemerintah, tapi dia tidak terlihat sebagai seorang president’s man. Itu jadi potensi,” katanya pada Katadata, Senin (3/10). 

Nyarwi juga menilai kiprah Anies selama menjadi Gubernur DKI Jakarta pun menjadi salah satu bekal kuat untuk maju ke kursi RI-1. Memegang kekuasaan tertinggi di ibukota pun membuat Anies dekat dengan tokoh nasional dan elit politik lainnya. Menurut Nyarwi, Jakarta adalah salah satu barometer bagaimana seorang politisi mampu bertahan dakam pilkada dan menunjukkan kualifikasi politisi untuk maju menjadi capres atau cawapres. 

“Kita sudah punya evidence, Jokowi sebelumnya kan Gubernur DKI Jakarta juga,” katanya. 

Pendapat berseberangan datang dari Adi Prayitno. Menurutnya Anies sudah berhasil memperbaiki fasilitas umum DKI Jakarta, seperti trotoar, perbaikan Jalan Thamrin-Sudirman, hingga transportasi publik. Namun, ada beberapa janji politik berupa pembangunan sumber daya manusia yang belum dipenuhi Anies. 

Beberapa di antaranya adalah target rumah dengan DP 0% yang belum terpenuhi serta OK OCE (One Kecamatan One for Center Entrepreneurship) yang digaungkan Anies saat Pilkada 2017 lalu, namun belum maksimal terwujud. 

“Orang kan dulu melihat Anies itu bukan karena pembangunan fisik, tapi pembangunan manusia. Kategori pembangunan manusia belum bisa dilihat publik dan kalau pembangunan fasilitas ini kategorinya pembangunan fisik,” jelas Adi. 

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement