Ia pun melihat bahwa startup yang bergerak dengan model business to business alias B2B akan lebih kuat daripada yang berbasis konsumen. Pasalnya, startup B2C sangat mengandalkan promosi terkait harga yang sudah sulit dilakukan dengan kebijakan pendanaan masa kini. Meski begitu, ada beberapa sektor startup yang menurutnya masih akan dilirik oleh investor.

“Misalnya fintech, itu biasanya orang tetap akan butuh, kemudian agritech karena orang masih harus tetap makan, dan health tech karena orang sudah lebih sadar akan kesehatan,” katanya. 

Di sisi lain, pandangan optimistis datang dari Chief Investment Officer Mandiri Capital Indonesia, Dennis Pratistha. Menurutnya, PHK adalah pilihan terakhir untuk efisiensi di tengah kondisi ekonomi global yang sedang melambat. Namun, bisnis lain masih akan tetap tumbuh dan menyerap tenaga kerja tersebut. 

Ia membandingkan keadaan PHK ini dengan krisis ekonomi 2008 lalu, di mana banyak pekerja bank investasi yang juga mengalami pemutusan hubungan kerja. Dari amatan Dennis, tidak butuh waktu lama bagi karyawan yang terdampak ini untuk bekerja di sektor baru yang tercipta kala itu.

“Jadi ketika kondisi membaik, saya yakin justru akan membuat perusahaan lebih baik, ekonomi lebih baik, dan mereka direkrut oleh different position on different company,” kata Dennis.

Gagasan serupa dikemukakan Co-Founder sekaligus Managing Partner Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani. Menurutnya, PHK yang terjadi sekarang cenderung menerpa startup yang sudah besar dan berada di sektor yang sudah lama digarap investor. Ia melihat masih banyak sektor yang belum digarap serta memiliki peluang lebih besar.

“Rata-rata yang sudah mature seperti e-commerce dan fintech itu CAGR-nya 20%-25%, sudah pasti. Tapi kalau misalnya ada startup yang fokusnya ke pasar baru atau blue ocean, itu masih bisa lebih tinggi lagi,” kata Edward dalam sambungan telepon dengan Katadata, Rabu (14/12).

Oleh sebab itu, peneliti ekonomi digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menyarankan agar startup mulai mengubah strategi kerja mereka. Sebagai sebuah perusahaan yang mengandalkan pendanaan untuk bersaing, startup harus membuat perkiraan kapan mereka akan mencapai keuntungan.

“Mereka harus lepas dari strategi bakar uang. Sekarang bukan zamannya balik modal 10 tahun, harus lebih cepat,” ujar Nailul. 

Bisakah Pemerintah Bisa Bantu Startup?

Mengutip laporan Google, Temasek, dan Bain, Nailul menjelaskan ada penurunan proyeksi ekonomi digital Indonesia pada 2025. Dalam laporan tahun lalu, ekonomi digital Indonesia diproyeksi bisa mencapai US$ 146 juta pada 2025. Namun, tahun ini proyeksi tersebut turun menjadi US$ 130 juta, seperti yang ditampilkan pada Databoks berikut:

 

“Apa artinya? Sebenarnya Google memperkirakan ekonomi Indonesia itu dalam keadaan yang tidak baik-baik saja dan investasi pun melambat,” kata Nailul melalui sambungan telepon dengan Katadata, Rabu (14/12)

Dengan perubahan tersebut, Nailul berharap pemerintah bisa masuk ke dalam ekosistem startup melalui perusahaan modal ventura milik pemerintah. Beberapa diantaranya seperti Mandiri Capital, BRI Ventures, MDI Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi dan terakhir BNI Ventures.

“Sebenarnya yang diharapkan startup ini pendanaan, inliah yang bisa dipegang oleh BUMN melalui perusahaan modal ventura. Kalau soal perubahan aturan itu bersifat relatif saja agar startup tidak semakin terpuruk,” jelas Nailul.

Meski begitu, Eddi tidak menyarankan adanya relaksasi aturan untuk membantu jalannya startup di Indonesia. Menurutnya, resiliensi startup harus dibangun secara alami. “Saya tidak suka founder dimanja dengan sedikit-sedikit dibantu dan dibela. Founder startup sering gitu, dapat founding dia go crazy, giliran susah dia efisiensi. Itu terlalu ekstrem menurut saya” tegasnya. 

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement