Padahal, AI adalah sebuah alat alias tools yang harus dikuasai untuk memaksimalkan pekerjaan sehari-hari. “Jadi jangan kamu melawan tools, karena tidak akan menang. Pada akhirnya, pasti AI menang karena tidak bisa lelah dan tidak punya batas data,” kata Alfons. 

Logo Bing, Chrome, dan ChatGPT
Logo Bing, Chrome, dan ChatGPT (Microsoft, Google, dan OpenAI)

Pertarungan AI dan Mesin Pencari

Tidak sebatas bersenda gurau, ChatGPT juga bisa digunakan untuk kepentingan akademis dan formal. Josanda, misalnya, seorang pekerja laboratorium medis yang menggunakan ChatGPT untuk memahami konsep biologi dan cara kerja mesin.

Ia menyebut, AI tersebut bekerja lebih cepat daripada Google.  “Kalau saya pakai Google, saya cuma akan diberikan link yang harus dibaca dan dirangkum, mungkin butuh waktu 10 menit,” ujar lelaki 24 tahun ini. “Tapi kalau ChatGPT jelaskan, bisa langsung jadi rangkuman, dan tinggal cross-check dengan literatur yang ada.”

Josanda bukan satu-satunya orang yang menyadari keunggulan chatbot tersebut. Nun jauh di negeri Paman Sam, mesin pencarian Google sudah mulai terguncang dengan keunggulan ChatGPT. 

Dalam catatan Katadata, Alphabet selaku induk perusahaan Google sudah mengundang pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin dalam sebuah pertemuan pada Desember lalu. Bahasannya, tak lain dan tak bukan, adalah ChatGPT yang diperkirakan dapat mengancam bisnis Google hingga US$ 149 miliar atau sekitar Rp 2.259 triliun.

CEO Alphabet Sundar Pichai pun menerjemahkan ancaman ini sebagai “red code”, sehingga mulai mengembangkan ChatGPT versi Google. Rencana ini mulai terwujud dengan adanya acara yang akan diadakan Google pada Rabu pekan lalu.

Jurnalis The Verge melaporkan, dirinya diundang datang ke acara berrtajuk perkembangan AI besutan Google. Lalu, dalam catatan The New York Times, prototipe dan produk AI baru itu mungkin diluncurkan dalam acara Google IO pada Mei nanti. 

Fenomena ini pun dinilai pengamat teknologi sebagai sebuah ancaman bagi Google. Pratama mengatakan, Google memang bisa digunakan untuk mencari informasi, tapi pengguna masih harus memilih informasi dan menganalisanya.

Sedangkan ChatGPT langsung mencari informasi yang paling sesuai, menyajikannya dengan bentuk matang, dan bisa langsung digunakan. “Jelas Google yang akan pertama kali ditinggalkan oleh netizen global,” katanya. 

Pratama pun menemukan sisi positif lainnya dari ChatGPT, bahwa AI ini memiliki “moral”. Kecerdasan buatan tersebut akan otomatis menolak pertanyaan pengguna yang berpotensi digunakan untuk tindak kejahatan. 

Sayangnya, moral ChatGPT ini masih bisa ditembus. Jevon, bukan nama sebenarnya,, menjelaskan bahwa penggunanya bisa bertanya dengan sistem permainan peran atau role play. Hal tersebut ia sampaikan dengan kapasitasnya sebagai threat analyst vendor keamanan di Amerika Serikat. 

Pengguna dapat memberi arahan ke ChatGPT untuk membuat cerita. Misalnya, bagaimana seseorang ingin membobol rumah. "Lalu, pengguna membuat alur cerita terlebih dahulu, kemudian meminta ChatGPT melengkapi alur cara membobol rumah. Itu bakal dijawab oleh ChatGPT,” tuturnya pada Katadata.co.id

Di sisi lain, kemudahan pengguna untuk memberikan tanggapan atas jawaban ChatGPT pun bisa mengurangi kualitas informasi AI tersebut. Alfons menyebutkan hal ini selaras dengan prinsip garbage in, garbage out (GIGO). 

“Kalau orang kasih data sampah ke ChatGPT, maka mungkin juga data dan analisa yang dikeluarkan itu data sampah juga. Jadi jangan telan mentah-mentah informasinya, harus dipilih juga,” jelas Alfons. 

Pengalaman Alfons mengakses ChatGPT pun menunjukkan bahwa AI tersebut masih belum banyak menerima data dari Indonesia. Bila pengguna meminta informasi yang terlalu spesifik terkait Indonesia, maka AI ini bisa memberikan informasi yang salah, bahkan mengaku tidak tahu. “Jadi masih kelihatan begonya,” kata Alfons.

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement