• Indonesia menerima peringatan dari IMF terkait fenomena bangkrutnya bank-bank di AS.
  • Para pengamat menyebut kondisi perbankan Indonesia masih kuat.
  • Dampak jatuhnya bank-bank AS sudah menjalar ke beberapa negara.

Sekali berarti, sudah itu mati. Ungkapan Chairil Anwar ini mungkin bisa menjelaskan bagaimana keadaan terbaru Silicon Valley Bank alias SVB. Berdiri sejak 1893 dan dikenal sebagai penyuntik dana ke perusahaan perintis alias startup, per 8 Maret bank justru bangkrut.

Bukan hanya SVB yang mati, namun juga Silvergate bank dan Signature Bank. Jarak kolapsnya bank ini pun berdekatan, tidak sampai satu pekan ketiganya tumbang.

Ada satu benang merah yang menghubungkan ketiga bank tersebut. Ketiganya sama-sama melayani nasabah sektor digital.

Silvergate Bank dan Signature Bank adalah dua pentolan mata uang kripto di Amerika Serikat. Bank ini melayani penyimpanan dan penarikan mata uang kripto. Sayangnya, nilai mata uang ini kian turun hingga bank akhirnya bangkrut.

Indonesia sudah menerima peringatan dari Dana Moneter Internasional terkait fenomena ini. IMF menyarankan pengetatan perbankan kepemilikan surat utang pemerintah yang makin besar.

Sistem keuangan Indonesia memang tangguh. Namun, IMF berpendapat tetap harus waspada terhadap ancaman, seperti dampak suku bunga yang lebih tinggi terhadap perbankan dan sektor korporasi. 

“Dengan tingkat utang pemerintah yang lebih tinggi pada neraca bank, kehati-hatian fiskal yang berkelanjutan dan pengawasan bank yang ketat diperlukan untuk mengurangi risiko yang berasal dari perhubungan bank-negara,” kata tim IMF, Cheng Hoon Lim, dalam dokumen Article IV.

Bahaya Kebangkrutan Silicon Valley Bank
Bahaya Kebangkrutan Silicon Valley Bank (Katadata)

Kenapa Dampaknya Belum Terasa di Tanah Air?

Pengamat sepakat bahwa fenomena ini tidak memiliki dampak terlalu besar bagi Indonesia, setidaknya hingga akhir Maret ini. Direktur Eksekutif Institut of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan ada dua faktor penopang dampak negatif tersebut di Tanah Air.

Pertama, bank di Indonesia belum banyak yang mendanai startup layaknya Silicon Valley Bank. Tauhid melihat startup Tanah Air banyak didanai oleh modal ventura alias venture capital (VC). Memang saat ini pendanaan ke startup sedang seret, tapi keterkaitan pendanaan dari SVB pun kecil. 

Kedua, kecilnya keterkaitan tiga bank yang tumbang itu pada Indonesia. Ini tentu berbeda dengan Credit Suisse dan Deutsche Bank yang sudah mendapat efek negatif dari jatuhnya bank di AS, lantaran memiliki hubungan yang kuat. 

“Fondasi fundamental Indonesia kuat, sehingga bila di luar sana terjadi guncangan, tidak terlalu terpengaruh,” ujar Tauhid pada Katadata. 

Pengamat perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto pun mengamini hal ini. Kebijakan moneter Indonesia masih belum seagresif Amerika Serikat. Di kala The Fed menaikkan suku bunga ke 5% pada Maret, BI tetap pada posisi 5,75%. 

Selain itu, hingga Januari 2203 rasio kecukupan modal alias CAR perbankan Indonesia di angka 25,93%. Sebanyak 85% komponen modal ini masuk dalam klasifikasi modal inti. Sebagai perbandingan, rasio modal inti perbankan Amerika senilai 13,52% dan Eropa senilai 16,13%. 

The Fed menyiratkan kemungkinan menaikkan lagi suku bunga di masa mendatang. Pasalnya, sampai akhir Februari 2023 laju inflasi AS masih di level 6%.

Peningkatan suku bunga AS ini adalah yang tertinggi selama 16 tahun belakangan, seperti terlihat dalam Databoks berikut:

 

Penopang utama lainnya adalah bagaimana mata uang kripto di Tanah Air masih terpisah dari perbankan. Beda halnya dengan AS. Mata uang digital sudah bisa disimpan di perbankan. Ketika mata uang kripto ambrol, Silvergate Bank dan Signature Bank ikut kolaps. 

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement