Ia mencatat di salah satu perguruan tinggi di Lampung pada tahun ini, hanya 20 mahasiswa penerima KIP Kuliah yang betul-betul berasal dari keluarga miskin yang dibuktikan dari PKH.

Menurut dia, sebaiknya pemerintah menetapkan batasan minimal dan maksimal kuota yang jelas bagi setiap perguruan tinggi. Serta memperbaiki sistem verifikasi untuk calon penerima.


Skema Baru tak Luput Kritik

Pada tahun ini, pemerintah menerapkan skema baru bagi penerima KIP Kuliah. Dalam skema baru tersebut, penerima KIP Kuliah terbagi ke dalam dua kluster atau skema.

Skema pertama, mahasiswa akan mendapatkan manfaat biaya kuliah secara penuh dan mendapatkan tunjangan biaya hidup. Sementara mahasiswa yang masuk dalam skema kedua hanya menerima manfaat biaya kuliah saja, tanpa mendapatkan tunjangan biaya hidup.

Aturan ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, bahkan berbeda dari Bidikmisi yang menjadi cikal-bakal KIP Kuliah. Dalam aturan sebelumnya, seluruh mahasiswa penerima KIP Kuliah menerima manfaat biaya kuliah secara penuh yang ditambah dengan tunjangan biaya hidup.

Skema baru ini tertuang dalam Pedoman Pendaftaran KIP Kuliah Merdeka 2023 yang dikeluarkan oleh Puslapdik Kemdikbud. Dalam pedoman disebutkan ada dua skema penerima KIP Kuliah 2023 dengan menekankan pada keterpilihan penerima yang mendapatkan manfaat biaya kuliah sekaligus biaya hidup.

Yang menjadi catatan dalam pedoman tersebut adalah pemberian skema 1 dan 2 ditetapkan dengan mengacu pada kuota penerimaan masing-masing perguruan tinggi. Adapun penerima skema 1 adalah mahasiswa yang masuk dalam kategori termiskin yang dibuktikan dengan terdaftarnya calon penerima dalam DTKS/P3KE.

Menurut Chairul, skema baru yang diusung pemerintah bagi penerima KIP Kuliah 2023 membuat KIP Kuliah menjauh dari cita-cita luhurnya. "Penerima KIP Kuliah, baik skema 1 dan 2, merupakan mahasiswa yang berasal dari keluarga prasejahtera. Seharusnya mereka mendapatkan perlakuan yang sama."

Chairul menyinggung ihwal KIP Kuliah yang merupakan transformasi dari Bidikmisi. "Ini program pemerintah untuk membantu agar siswa dari keluarga miskin bisa mengakses pendidikan tinggi dengan layak. Seharusnya tak ada perlakuan perbedaan karena akan menimbulkan kesenjangan," kata dia.

Ia mengatakan mahasiswa dari keluarga miskin yang hanya mendapatkan bantuan biaya kuliah akan tetap kesulitan meneruskan kuliah. Di tengah naiknya angka kemiskinan, kata dia, KIP Kuliah seharusnya dioptimalkan untuk membuat siswa miskin benar-benar dapat kuliah dengan layak dan tenang.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebesar 26,36 juta orang, meningkat 0,20 juta orang terhadap Maret 2022. Dari angka itu, terdapat peningkatan penduduk miskin perkotaan sebesar 0,16 juta orang, dari 11,82 juta orang pada Maret 2022 menjadi 11,98 juta orang pada September 2022.

Pada periode yang sama, jumlah penduduk miskin pedesaan meningkat sebanyak 0,04 juta orang dari 14,34 juta orang pada Maret 2022 menjadi 14,38 juta orang pada September 2022. Presiden Joko Widodo dalam Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah se-Indonesia di Bogor, Jawa Barat, pada Selasa (17/01) menyebutkan angka kemiskinan di 14 provinsi masih di atas rata-rata nasional.

Chairul menyebut, perbedaan skema ini menjadi polemik baru karena tak ada kejelasan seleksi, verifikasi, distribusi kuota per skema, hingga penetapan siswa yang berhak mendapatkan pembiayaan penuh. "Jangan yang miskin tak mendapatkan haknya secara penuh, tetapi yang mampu malah mendapatkan bantuan penuh," kata dia. 

Dengan tak optimalnya KIP Kuliah, turut berpengaruh pada angka partisipasi perguruan tinggi di Indonesia. Sesuai data Bank Dunia tahun 2020, APK pendidikan tinggi di Singapura mencapai 91%, Thailand 49%, dan Malaysia 43%. Sementara angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia pada 2021 baru mencapai 31,49% dan di angka 39,37% pada 2022.


Pemborosan yang tak Mencetak Ahli

Pengamat pendidikan Indra Charismadji mengatakan KIP Kuliah merupakan program bansos yang tak didesain untuk mencetak ahli sejak awal. "Seharusnya program ini tidak sebatas untuk memperluas kesempatan kuliah kepada mahasiswa miskin yang mampu secara akademik saja, tetapi harus digunakan untuk mencetak ahli," kata dia.

Menurut dia, ada kerugian yang ditanggung oleh kedua belah pihak dalam program ini. Kerugian dari pemberi beasiswa, yaitu pemerintah, adalah tak optimalnya bantuan untuk menyiapkan ahli yang diperlukan untuk pembangunan di berbagai aspek.

Sementara itu dari sisi penerima, kata dia, mahasiswa yang tak memiliki keahlian yang mumpuni akan terlunta-lunta dan malah menjadi beban baru dengan menambah jumlah pengangguran. "Dengan desain yang tidak jelas, yang penting kuliah, manfaat bagi penerima akan minim juga pada akhirnya," kata dia.

Indra mengatakan KIP Kuliah masih dapat dioptimalkan untuk menciptakan ahli dengan membenahi mekanisme penerimaan, seleksi dan verifikasi yang ketat seperti yang dilakukan pada seleksi beasiswa bergengsi umumnya, hingga membenahi cetak biru program studi untuk penerimannya. "Dengan begitu mahasiswa dari golongan miskin akan bertransformasi menjadi para ahli yang dibutuhkan oleh negeri ini," kata dia.

Kami telah menghubungi Kepala Puslapdik Abdul Kahar dan Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Anang Ristanto untuk mengkonfirmasi. Namun hingga tulisan ini diturunkan, belum ada jawaban.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement