• Pemerintah tengah mempersiapkan aturan turunan pengelolaan hasil sedimentasi laut yang lebih ketat dan transparan.
  • Pengerukan, pengisapan, dan ekspor pasir laut akan memicu tenggelamnya pulau-pulau kecil di sekitar wilayah tambang.
  • Aktivitas kapal untuk menambang pasir laut juga berpotensi merusak terumbu karang.

Memperingati Hari Laut Sedunia yang jatuh kemarin, Kamis (8/6), sejumlah pihak menyayangkan sikap pemerintah yang membuka keran ekspor pasir laut. Keputusan ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Dalam siniar alias podcast #NgobrolLingkungan, organisasi lingkungan hidup, Greenpeace, menyebut persoalan ekspor pasir laut menambah bom waktu di lautan Indonesia. PP yang terbit pada 15 Mei 2023 tersebut dianggap sebagai salah satu bentuk greenwashing ala pemerintah.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah mengatakan setidaknya ada dua pasal dalam PP 26/2023 yang berisi ketentuan soal ekspor pasir laut, yakni Pasal 9 dan Pasal 15.

Dalam pasal ayat 2 (d) disebutkan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut digunakan untuk ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, pasal 15 berisi aturan perizinan untuk kegiatan ekspor seperti yang tercantum dalam pasal 9.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan tidak semua daerah diperbolehkan ekspor pasir laut. Kriteria daerah yang boleh melakukan pengerukan pasir laut akan diatur dalam peraturan turunan dari PP 26/2023.

Peraturan turunan itu nantinya berupa peraturan menteri yang akan diterbitkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). "Apakah untuk dalam negeri, apakah diperbolehkan diekspor, nanti akan diatur lebih lanjut daerah mana yang diperbolehkan, daerah mana yang tidak diperbolehkan," kata Pramono pada Rabu lalu.

INFOGRAFIK - Potensi Bencana dari Ekspor Pasir Laut
INFOGRAFIK - Potensi Bencana dari Ekspor Pasir Laut (Katadata/Amosella)

Klaim Perlindungan Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

PP Nomor 26 Tahun 2023 tersebut merupakan inisiatif dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dipimpin oleh Menteri Sakti Wahyu Trenggono. Ia mengatakan aturan ini akan melindungi ekosistem pesisir dan pulau kecil dari ancaman aktivitas eksploitasi secara ilegal.

Ia memberi contoh aktivitas pengerukan pasir laut secara ilegal di Pulau Rupat dan Pulau Bawah. "Hampir habis itu pulaunya, disedotin pasirnya. Selama ini belum ada aturannya, berarti ngambil pasir laut bebas dari pantai, dari pulau-pulau. Ini yang kita atur," ucapnya.

Selain itu, menurut Trenggono, aturan itu dapat membuat penggunaan pasir laut untuk reklamasi menjadi lebih tertata. Ke depan, material yang boleh dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan reklamasi bukan pasir laut yang diambil dari sembarang lokasi.

Ia menyebutkan hasil sedimentasi jika dibiarkan akan mengganggu kelestarian ekosistem laut. "Indonesia itu tempat putaran arus. Material di dalamnya bisa berupa lumpur dan pasir, itu ngumpul. Dia menutupi alur pelayaran dan terumbu karang, padang lamun," kata dia.

Saat ini pemerintah tengah mempersiapkan aturan turunan yang melibatkan tim kajian dari berbagai pijak untuk memastikan pengelolaan hasil sedimentasi laut menjadi lebih ketat dan transparan. "Saya ini panglimanya ekologi. Membuat kebijakan tidak boleh ada vested di dalamnya," ujar Trenggono

Kepala Badan Riset dan SDM KKP I Nyoman Radiarta mengatakan pemanfaatan sedimen laut harus menggunakan sarana yang ramah lingkungan, tidak mengancam kepunahan biota laut, tidak mengakibatkan kerusakan permanen habitat biota laut, tidak membahayakan keselamatan pelayaran dan tidak mengubah fungsi dan peruntukan ruang yang telah ditetapkan, serta memiliki sarana untuk memisahkan mineral berharga.

Namun, pasal 7 ayat 3 (1) menyebutkan sarana yang digunakan, yang memenuhi seluruh kriteria yang disebutkan Radiarta adalah kapal isap. Penggunaan kapal isap tertulis dalam pasal 7, pasal 8, pasal 13, dan pasal 21 PP Nomor 26 Tahun 2023.

Dinamisator Jaring Nusa Asmar Exwar mengatakan kapal isap bukan merupakan sarana transportasi yang ramah lingkungan. "Reklamasi di Jakarta dan di Sulawesi Selatan menggunakan kapal isap yang berada di perairan Takalar yang menyebabkan penurunan kualitas ekosistem, merusak wilayah tangkap, dan menyebabkan abrasi menguat," kata dia.

Data dari Walhi Sulawesi Selatan menunjukkan penambangan pasir laut pada 2017 di wilayah tersebut untuk kepentingan proyek reklamasi Centre Point of Indonesia (CPI) di Makassar menyebabkan 250 nelayan meninggalkan profesinya sebagai nelayan. Lalu, sebanyak 6.474 nelayan mengalami penurunan pendapatan mencapai 80%. "Ini dilakukan dengan pasir isap," ucapn ya.

Selain itu, abrasi pantai tercatat berada di kisaran 10 meter samapi 20 meter. Karena itu, masyarakat pesisir dan pulau kecil yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan yang akan menjadi korban. "Ini kontradiktif dengan agenda besar mewujudkan laut sehat dan merupakan ancaman nyata," kata Asmar.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah mengatakan pengerukan, pengisapan, dan ekspor pasir laut akan memicu percepatan tenggelamnya pulau-pulau kecil di sekitar wilayah yang ditambang. Pasalnya, aktivitas tersebut menyebabkan perubahan kontur dasar laut yang berpengaruh pada pola arus dan gelombang laut.

"Ditambah lagi kerugian yang akan dialami masyarakat pesisir sebagai kelompok yang akan terdampak langsung dari perubahan ekologis akibat tambang pasir laut," kata dia.

Catatan Kerusakan Penambangan Pasir untuk Proyek Reklamasi

Dalam riset berjudul “Panraki Pa’boya-Boyangang: Oligarki Proyek Strategis Nasional dan Kerusakan Laut Spermonde” yang disusun oleh Koalisi Save Spermonde menyebutkan, terjadi kerusakan alam dan kerugian sosial-ekonomi di Pulau Kodingareng, Makassar, akibat penambangan pasir. Aktivitas ini dilakukan pada 2020 sebagai bagian dari proyek reklamasi pelabuhan Makassar New Port (MNP) yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN).

Koalisi Save Spermonde tersebut terdiri dari WALHI Sulsel, Greenpeace Indonesia, YKL (Yayasan Konservasi Laut) Indonesia, Sobat Bumi, MSDC (Marine Science Diving Club) Unhas, FDC (Fisheries Diving Club) Unhas, Green Youth Movement, Aliansi Selamatkan Pesisir, Pedjuang Pesisir Kodingareng, dan Marine Buddies.

Dalam laporan itu disebutkan kerugian 1.043 nelayan di Kodingareng mencapai Rp 80 miliar. Rinciannya, rata-rata kerugian nelayan pancing mencapai Rp 200 ribu per hari, nelayan panah sebesar Rp 350 ribu per hari, nelayan jaring Rp 1,4 juta per hari, dan nelayan bagan sebesar Rp 2 juta per hari.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement