Meski relatif lebih sebentar, BC merupakan komponen kedua setelah CO2 yang berperan dalam pemanasan global dengan dampak pemanasan yang ditimbulkan 1.500 kali lebih kuat daripada CO2 per unit massa.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh gabungan ilmuwan atmosfer global pada 2013 menunjukkan, BC dapat menyerap energi satu juta kali lebih banyak daripada CO2.

Ilustrasi Visual Persebaran Black Carbon
Ilustrasi Visual Persebaran Black Carbon (NASA)

Yobel menjelaskan BC sangat baik dalam menyerap radiasi matahari dalam rentang yang luas. "Energi yang diserap kemudian ditransfer ke atmosfer sebagai panas dan berkontribusi terhadap pemanasan global," kata dia.

Dalam situs The National Aeronautics and Space Administration (NASA) menyebut, BC mampu menyerap radiasi matahari dalam gelombang spektrum yang luas, dari gelombang yang terlihat hingga inframerah. Dengan kemampuan penyerapan yang baik, BC menjadi sangat berkontribusi besar dalam memanaskan atmosfer.

Riset yang diterbitkan di Jurnal of Geophysical Research-Atmospheres itu memperkirakan dampak BC terhadap pemanasan atmosfer sebesar 1,1 watt per meter persegi per tahun. Adapun yang menjadi benchmark--karbon dioksida-- menghasilkan 1,56 watt per meter persegi per tahun.

Sarah J. Doherty, salah satu pakar mengenai studi atmosfer dari University of Washington mengatakan, riset tersebut menunjukkan peran spesifik BC dalam memanaskan bumi berkorelasi dengan penanganan kualitas udara dan lingkungan.

"Mungkin dengan mengendalikan emisi ini kita dapat mencegah perburukan perubahan iklim lebih cepat dibandingkan dengan upaya mengendalikan karbon dioksida," kata dia dikutip dari situs web University of Washington. Katadata.co.id telah berupaya menghubungi Doherty via surat elektronik tapi belum mendapatkan balasan.

Dalam situs web University of Washington, Doherty mengatakan sebelum hasil riset ini dipublikasikan, ada kecenderungan negara-negara di dunia meremehkan emisi BC. "Emisi BC dari pembakaran hutan, ladang pertanian, dan padang rumput serta dari pembakaran terkait energi di Asia Tenggara da Asia Timur cenderung dianggap tak signifikan dampaknya bagi kesehatan maupun bagi pemanasan bumi," kata dia.

Riset itu menunjukkan BC menjadi terdakwa utama bagi percepatan laju pelelehan es di Arktik. Karbon hitam yang mengendap di permukaan salju dan es menggelapkan permukaan yang mengurangi albedo (kemampuan untuk merefleksikan cahaya). "Akibatnya, terjadi peningkatan panas pada permukaan es dan salju yang mempercepat pelelehan," kata dia.

Riset Marc Jacobson dari Standford University dan NASA menunjukkan pengurangan emisi jelaga yang berasal dari pembakaran fosil dan biofuel selama 15 tahun ke depan dapat mengurangi pemanasan Arktik hingga 1,7 derajat Celcius (°C). Sebagai perbandingan, laju pemanasan Arktik selama satu abad terakhir adalah sebesar 2,5°C.

Visualisasi Kemampuan Black Carbon dalam Menyerap Cahaya
Visualisasi Kemampuan Black Carbon dalam Menyerap Cahaya (NASA)

Mengutip dari NASA, kemampuan BC lainnya adalah mempengaruhi karakteristik dan proses-proses di awan. Caranya adalah dengan menyerap panas pada tingkat pembentukan awan sehingga akan menguap dengan cepat dan akan mengubah curah hujan.

Persoalannya, menurut Yobel, meskipun terkait erat dengan polusi udara dan krisis iklim, pencatatan terhadap BC belum dilakukan dengan baik di Indonesia. "Di NDC kita juga belum tercatat," kata dia. Sehingga target penurunan BC belum terpantau dengan baik.

Selain BC, PM2,5 juga mengandung beberapa zat berbahaya seperti asam benzoat, parafin, dan sejumlah zat yang berpotensi menyebabkan karsinogen. "PM2,5 itu seperti transporter yang menjadi tempat menempel BC, sulfat, nitrat, amonia, natrium klorida, karbon hitam, debu mineral dan air," kata dia.

Persoalannya, partikel dalam polusi udara ada pula yang berukuran jauh di bawah 2,5 µm, dikenal dengan nama ultrafine particles (UFPs). UFPs merupakan aerosol dengan ukuran diameter aerodinamis 0,1 µm atau kurang.

Tingkat bahaya partikel super halus ini, menurut Yobel, setingkat di atas PM2,5. "Karena massa dan ukurannya lebih kecil, jadi lebih mudah untuk mencapai daerah paru-paru paling dalam, bahkan menembus jaringan darah," kata dia.

Dalam sebuah riset yang diterbitkan di Nature, Experimental & Molecular Medicine, pada 17 Maret 2020 menyebutkan, efek kesehatan sistemik yang berbahaya dari PM10 atau PM2.5 sering kali justru disebabkan oleh jumlah partikel dari fraksi UFPs yang mendominasi di udara.

Riset itu menjelaskan UFPs menembus tubuh pertama kali melalui hidung kemudian masuk ke dalam sistem pernapasan, gastrointestinal, plasenta, hingga menembus otak, bertranslokasi dalam aliran darah dan mencapai sistem saraf glimfatik dan pusat.

Apabila dibandingkan dengan PM10 dan PM2,5, UFPs lebih mudah untuk didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah.

Perbandingan Konsentrasi Partikulat
Perbandingan Konsentrasi Partikulat (Jurnal Nature)

Dalam diagram dijelaskan, dengan massa yang sama, partikel UFPs jauh lebih banyak dalam hal jumlah dan mampu menguasai area yang lebih luas. Efeknya, kemampuan UFPs untuk menyerap material toksin menjadi lebih tinggi.

Selain itu, apabila PM10 masih dapat disaring oleh saluran pernapasan bagian proksimal, UFPs dapat langsung masuk ke sistem peredaran darah. "Karena itu, lebih berbahaya," kata Yobel. 

Halaman:
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement