Desa Henda dan Desa Tanjung Taruna merupakan desa yang berada di KHG Sungai Sebangau-Sungai Kahayan dan KHG Sungai Sebangau-Sungai Kapuas, yang terdampak kebakaran era 1997, sejak Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektare sawah dijalankan, dan terus berulang. Menurut Reda Herman, mantan Sekretaris Desa Henda, jika dibandingkan, kebakaran tahun ini lebih besar daripada kebakaran 2019. "Api bermula dari lahan di eks PLG terus bergerak ke sini (kebunnya di Henda) mengikuti arah angin," kata dia.

Gambaran posisi desa dalam peta KHG
Gambaran posisi desa dalam peta KHG (Katadata)

Menurut Reda, program 3R yang dilakukan BRGM di Desa Henda beberapa kurang tepat. "Ada yang dikorupsi, ada yang seharusnya yang dibangun sekat di sebelah sana tetapi malah dibangun sekat di sini sehingga percuma, kebun warga ikut kena imbasnya, ada yang seharusnya dibangun sumur bor di titik sana karena yang ada airnya di sana, malah dibangun di titik yang kering sama sekali tidak keluar air. Kami sudah ingatkan tapi dipandang tidak memiliki pengetahuannya jadi diabaikan," kata dia. 

Tuntutan Perbaikan Indikator Capaian Kerja

Perjalanan Katadata menuju Desa Tanjung Taruna, Kalimantan Tengah, pada Selasa, 3 September 2023 berkejar-kejaran dengan api yang menghanguskan lahan di sisi kiri jalan. Penduduk setempat yang mendampingi perjalanan kami memperingatkan, "Ini jalan darat satu-satunya menuju desa. Jika api loncat ke sebelah, kita tidak bisa pulang dan terjebak di dalam desa."

Akses lainnya adalah sebuah sungai kecil yang telah mengering. Api merambat dengan cepat. Dalam waktu kurang dari 15 menit, kepulan asap membumbung tinggi, menerbangkan puluhan burung yang bermukim di pepohonan di sekitar ilalang yang terbakar.

Sebelum menuju Tanjung Taruna, tim berhenti di sebuah warung kelontong di pinggir jalan trans-Kalimantan, sekitar 7 kilometer sebelum memasuki desa Tanjung Taruna yang berada di pinggir Sungai Kahayan. Asap dan jelaga menjadi pemandangan di belakang warung.

Dengan diantar anak pemilik warung, kami menyusuri kebun seluas dua hektare yang sudah hangus. Di sana, kami menemukan dua titik sumur bor yang terbakar. "Masih ada lagi di belakangnya tapi nggak bisa digunakan," ujar pemilik warung tersebut.

Sumur bor terbakar
Sumur bor terbakar (Katadata/Ezra Damara Putra)

Tanjung Taruna merupakan desa intervensi BRGM yang memiliki 409 sumur bor, namun, hanya 321 sumur bor yang dapat beroperasi dengan baik untuk pembasahan maupun pemadaman. Idealnya, sebagai infrastruktur pembasahan lahan gambut, sumur bor memiliki peran vital untuk membasahi lahan gambut yang kering agar tak terbakar, bukan hanya sebatas sebagai sumber air untuk memadamkan api.

Di Desa Henda, menurut Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Wideni, dari 135 titik sumur bor yang dibangun pada 2015-2016, hanya sebanyak 128 yang masih dalam kondisi baik. "Ini yang diserahkan kepada kami di regu MPA 1 beserta alat-alatnya. Kami terus lakukan pengecekan meskipun dengan segala keterbatasan," kata dia.

Pada 2017-2018, BRGM kembali membangun sumur bor berjumlah 186 titik dan diserahkan kepada regu MPA 2. "Kalau yang 186 saya tidak tahu berapa jumlah pasti yang bisa digunakan, tetapi saya yakin tidak semunya berfungsi baik," kata dia.

Terlebih pembangunan sumur bor di periode tersebut diwarnai persoalan korupsi yang menyeret mantan Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan DLH Kalteng, Arianto, ke dalam meja hijau bersama sekondannya Mohammad Seman, yang merupakan konsultan pengawas dalam proyek tersebut. Keduanya dianggap bersalah dalam tindak pidana korupsi proyek 700 sumur bor di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

Menurut Deni, puluhan sumur bor yang diduga hasil korupsi tersebut dibuat seadanya. "Harusnya sumur bor digali hingga pipanya mencapai kedalaman lapisan akuifer pertama, sekitar 60 meter ke bawah. Tetapi yang kami temukan di lapangan, pipanya hanya menancap 2 meter ke bawah, mau dapat air dari mana?"

Beberapa sumur bor juga kondisinya rusak akibat kebakaran atau terlindas alat berat ketika pihak swasta membangun kebunnya. Ada pula sumur bor yang dibangun tanpa meminta consent dari masyarakat pemilik kebun sehingga menimbulkan konflik.

Persoalan serupa juga ditemukan dalam pembangunan sekat kanal. "Ada beberapa titik yang dibangun sekat kanal tanpa berkonsultasi dulu dengan masyarakat, tapi ada juga yang seharusnya dipasang di situ justru tidak dipasang. Sehingga bukannya membantu tapi malah mengganggu aktivitas berkebun dan transportasi masyarakat," kata dia.

Selain itu, kata Deni, material yang digunakan untuk membangun sekat kanal umumnya adalah kayu galam yang memiliki usia pakai rata-rata tiga tahun. Sehingga pada saat ini, banyak sekat kanal yang sudah rusak dan tak berfungsi lagi.

Sekat kanal di Riau
Sekat kanal di Riau (Katadata/Ezra Damara Putra)

Sekat kanal dan sumur bor yang telah rusak juga ditemukan di Riau, salah satunya di Pelintung, Kabupaten Siak, yang dikukuhkan menjadi Desa Mandiri Peduli Gambut binaan BRGM. Lurah Pelintung Zamhuri mengatakan beberapa sekat kanal sudah rusak sehingga menyebabkan kekeringan lahan cepat terjadi.

Akibatnya, meski sudah dibangun sumur bor dan sekat kanal untuk menjaga kadar air, wilayahnya langganan terbakar setiap tahun. Di tahun ini, mereka mengalami kebakaran sebanyak dua kali. "Setelah kebakaran besar bulan Mei lalu, kebakaran gambut terjadi lagi pada Agustus. Bedanya, api cepat padam karena ada pasang, air laut naik api pun padam," kata dia.

Wakil Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, mengatakan pola intervensi BRGM dengan menetapkan DMPG masih belum maksimal untuk memulihkan kualitas gambut. Sebab, kata dia, kebanyakan desa-desa yang dipilih menjadi DMPG tidak memiliki riwayat kebakaran besar dan tutupan gambutnya tak begitu luas.

Seharusnya, kata dia, pemilihan desa untuk diintervensi baik melalui DMPG maupun 3R harus sesuai dengan kebutuhan. "Basisnya adalah desa yang memiliki tingkat kerentanan tinggi, kebakarannya cenderung besar dan wilayah gambutnya luas," kata dia.

Guru Besar Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bambang Hero, mengkritik indikator capaian yang ditetapkan BRGM. Menurut ahli forensik karhutla tersebut, terlaksananya sebuah paket proyek bukan merupakan sebuah capaian program atau indikator keberhasilan sebuah program.

Ia memberi contoh, untuk rewetting capaian kinerja idealnya diukur dari kelembapan gambut dan tingkat kebasahan gambut yang sehat. "Bisa jadi infrastruktur terkait dengan gambut banyak dibangun tetapi tidak mendapatkan sentuhan perawatan. Seharusnya ada audit berkala dari KLHK dan BRGM," kata dia.

Direktur Walhi Kalimantan Tengah Bayu Herinata mengatakan hal serupa. Menurut Bayu, selama program restorasi masih dijalankan sebatas proyek dengan capaian volume bukan kualitas gambut, pemulihan ekosisem gambut yang rusak dan kritis tidak tercapai.

Foto udara karhutla gambut di Kalimantan Tengah
Foto udara karhutla gambut di Kalimantan Tengah (Katadata/Ezra Damara Putra)

Ia mengatakan penanganan restorasi gambut seharusnya dilakukan secara sistematis dengan melibatkan para pihak. Ia memberi contoh KHG Sungai Sebayan-Sungai Kahayan yang di dalamnya terdapat peran KLHK, BRGM, pemerintah daerah dan pihak swasta pemegang izin berusaha di dalam kawasan gambut.

Menurut dia, BRGM gagal memetakan dan mengkonsolidasikan upaya restorasi yang dilakukan para pihak. "Sederhana saja, kita bisa melihat dalam satu KHG itu mana yang memegang wilayah paling luas. Jika itu private sector atau perusahaan, BRGM sampai saat ini belum maksimal melakukan supervisi atau menekan perusahaan untuk merestorasi," kata dia.

Berbicara capaian, kata Bayu, seharusnya diukur juga dari upaya pihak yang mengelola wilayah gambut yang paling luas dalam satu KHG. "Sehingga dampaknya bisa lebih optimal dan signifikan," kata dia.

Khusus mengenai 3R, menurut Bayu, Walhi Kalteng telah melakukan kajian singkat mengenai efektivitasnya dalam memulihkan ekosistem gambut. Hasilnya, kata dia, tidak dilakukan identifikasi oleh BRGM atas area yang mempengaruhi penurunan kualitas ekosistem gambut. "Misalnya membangun sekat kanal dan sumur bor tanpa melakukan FPIC sehingga penempatannya tidak mendukung upaya ekonomi masyarakat dan menimbulkan konflik antara masyarakat dengan restorasi," kata dia.

Kedua, ia melanjutkan, pembangunan sumur bor yang tidak tepat karena cenderung ke arah yang kerentanannya rendah. Sementara masukan masyarakat terkait lokasi yang tepat untuk dibangun sumur bor tidak didengarkan dengan baik dan banyak sumur bor yang tidak dibangun sesuai spesifikasi dan kebutuhan di lapangan.

Dalam konteks penanganan karhutla, terutama di area gambut, baik Bambang Hero maupun Bayu menganggap pemerintah masih gagap karena restorasi terkesan masih jalan di tempat. "Kita tidak pernah bisa belajar dari kesalahan di periode El Nino yang sudah-sudah," kata Bambang.

Sementara itu dari kacamata Bayu, pemerintah selalu terkesan berada di belakang api, bukan di depan. "Pemerintah terkesan fokusnya hanya pada pengendalian api bukan pencegahan. Kalau begini terus, tidak menyelesaikan akar masalahnya," kata dia.

 

Halaman:
Editor: Dini Pramita
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement