Program Riau Hijau menggunakan berbagai indikator antara lain Indeks Kualitas Lingkungan Hidup dan Emisi Gas Rumah Kaca dan peningkatan kualitas restorasi ekosistem, terutama restorasi ekosistem gambut. Salah satu cara yang ditempuh adalah melibatkan masyarakat melalui Perhutanan Sosial.

Pada awal 2023, Syamsuar mengumumkan ada peningkatan jumlah Perhutanan Sosial (PS) yang dibina ke arah restorasi ekosistem sebesar 35%. Selain itu, ia mengklaim vegetasi tutupan lahan meningkat sebesar 8%.

Wakil Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, mengatakan pekerjaan untuk merestorasi gambut di Riau tak akan selesai tanpa kolaborasi antarpihak. Ia menekankan, penanganan gambut yang hanya dikuasai oleh pemerintah daerah juga bukan merupakan hal baik karena dalam satu ekosistem gambut terdapat berbagai kewenangan pihak lain yang berada di luar wewenang pemerintah daerah.

Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 2 tahun 2023 tentang Penugasan Pelaksanaan Kegiatan Restorasi Gambut Tahun Anggaran 2023 ditekankan pelimpahan sebagian urusan kepada gubernur di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut. Salah satu mandatnya adalah bantuan pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur pembasahan gambut, bantuan pemeliharaan petak percontohan revegetasi di lahan bekas terbakar dan bantuan operasian pembasahan.

Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 yang merupakan perubahan dari PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, pemerintah daerah seperti gubernur, wali kota dan bupati, memiliki andil dalam pengelolaan ekosistem gambut. Andil itu ditunjukkan melalui pembuatan rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut tingkat provinsi dan tingkat kota atau kabupaten sesuai kewenangannya.

Selain itu, dalam pasal 32A disebutkan pemulihan fungsi ekosistem pada lahan dan hutan gambut pada areal penggunaan lain (APL) menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Okto menjelaskan, kewenangan pemerintah daerah tidak sampai pada konsesi yang kerap ditemukan masih melanggar komitmen no deforestation, no peat and no exploitation alias NDPA yang membahayakan ekosistem gambut.

Sebab itu, diperlukan koordinasi para pihak yang bertanggung jawab atas upaya pemulihan gambut sesuai undang-undang, mulai dari KLHK, BRGM, pemilik usaha, hingga masyarakat di tingkat tapak. Di Riau, kata dia, telah terbentuk Tim Restorasi Gambut Daerah alias TRGD.

Menurut evaluasi yang dilakukan Jikalahari pada 2021, TRGD di Jambi dan Sumatera Selatan dianggap lebih kolaboratif ketimbang di Riau. "TRGD di Riau hanya melibatkan unsur pemerintah daerah saja sehingga tidak kolaboratif dan koordinasi dengan para pihak yang terkait untuk menangani gambut kurang lancar," kata dia.

Guru Besar Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bambang Hero, mengatakan pemerintah daerah juga berperan dalam memelihara infrastruktur pembasahan lahan gambut yang sudah dibangun oleh BRGM. "Tidak semuanya lantas menjadi peran BRGM, ada peran daerah yang harus diperkuat misalnya dalam pembasahan untuk mencegah kebakaran pada saat kemarau panjang," kata dia.

Bambang mengatakan, pemerintah daerah seharusnya dapat belajar dari pola karhutla dari periode sebelumnya yang umumnya mulai terjadi pada Juli. "Sehingga dengan perencanaan yang matang, dengan adanya manajemen KHG yang baik untuk menekan kebakaran, pemerintah daerah pun dapat merencanakan penganggaran untuk kebutuhan pembasahan dalam rangka pencegahan karhutla dengan baik," kata dia.

Menurut Bambang, peran pemerintah daerah dan seluruh pihah terkait di dalam satu kesatuan hidrologi gambut dapat membantu BRGM mengatasi persoalan anggaran yang minim dan keterbatasan kewenangan. "Tidak bisa semuanya dilimpahkan kepada BRGM, masing-masing memiliki anggaran untuk ikut merestorasi gambut," kata dia. 

Kepala Kelompok Kerja Sama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat BRGM Didy Wurjanto mengakui adanya keterbatasan penganggaran untuk merestorasi gambut. "Ini adalah a huge task, dengan keterbatasan anggaran dan wewenang, BRGM tidak akan bisa sendiri menyelesaikan restorasi gambut dalam waktu empat tahun. Di satu sisi, kami memerlukan waktu untuk merangkul lebih banyak pihak yang bersifat multi sektor," kata dia. 

Mengutip perhitungan Bank Dunia dan CIFOR, biaya untuk merestorasi satu hektare lahan gambut sekitar Rp 6-36 juta per hektare. Dalam penjelasan di situsnya, Transformasi untuk Keadilan (TuK Indonesia) menghitung untuk merestorasi lahan gambut seluas 400 ribu hektare seperti yang ditargetkan pada 2017, membutuhkan dana sekitar Rp 1,44 triliun, namun saat itu anggaran yang tersedia untuk BRG adalah sebesar Rp 865 miliar yang kemudian dipangkas lagi menjadi Rp 428 miliar. 

Direktur Walhi Kalimantan Tengah Bayu Herinata mengatakan hal serupa. Menurut dia, karhutla di Kalimantan Tengah yang menyumbang emisi tertinggi, bukan sebuah hal yang tak dapat diprediksi. "Sudah banyak kajian yang dilakukan akademisi dan organisasi sipil mengenai karhutla, yang dapat dijadikan parameter awal untuk mengidentifikasi area yang rentan mengalami karhutla dan melakukan pencegahan," kata dia.

Tetapi, menurut Bayu, pencegahan berbasis kajian tersebut tidak pernah dilakukan dengan serius oleh pemerintah, termasuk pemerintah daerah. "Pemerintah ini selalu berada di belakang api sehingga lebih fokus pada pengendalian karhutla, nunggu ada api baru ada aktivitas yang dilakukan sehingga ini tidak akan pernah menyelesaikan akar masalahnya," kata dia.

Menurut Bayu, dalam konteks restorasi gambut sebagai pencegah karhutla, semua pihak harus terlibat. Ia memberi contoh KHG Sungai Sebangau-Sungai Kahayan di Kabupaten Pulang Pisau sebagai salah satu ekosistem gambut paling rawan terbakar di Kalimantan Tengah.

Harusnya, kata dia, semua pihak dalam KHG seluruhnya berperan maksimal dan membangun koordinasi yang baik, untuk mengatasi keterbatasan kewenangan masing-masing pihak. "Kita bisa lihat aktornya, ada KLHK yang berwenang di dalam kawasan hutan, ada pemerintah daerah di dalam area penggunaan lain, ada private sector juga, tetapi sayangnya kami melihat belum ada upaya yang terintegrasi dari masing-masing aktor dalam upaya restorasi," kata dia.

Sementara itu, menurut Okto dari Jikalahari, ada keterbatasan BRGM yang dapat ditangani dengan baik melalui kolaborasi dengan KLHK. "Karena sampai saat ini belum ada koneksi antara konsesi dan luar konsesi dalam hal restorasi gambut dalam satu kesatuan hidrologis gambut. Padahal gambut tidak bisa memilih mau di luar atau di dalam konsesi, tapi penanganannya berada di lembaga berbeda," kata dia.

Okto tidak memungkiri ada pengurangan kebakaran hutan dan lahan setelah adanya BRGM, namun jumlahnya tidak signifikan. Oleh sebab itu, kata dia, masih ada waktu bagi BRGM untuk mengoptimalkan kinerjanya hingga 2024. "BRGM didirikan dengan semangat positif, ada badan yang khusus mengurusi gambut. Tapi dari target kuantitas dan fakta di lapangan, itu belum memenuhi target yang disampaikan," kata dia.

Untuk memenuhi target itu, pertama, kata dia, BRGM membuka partisipasi publik mulai dari tahap perencanaan hingga evaluasi. Kedua, mengoptimalkan kinerja TRGD dan seluruh pihak yang berwenang di dalam satu kesatuan ekosistem gambut. "Ketiga, menjadikan masyarakat sebagai garda terdepan restorasi gambut dan mangrove," kata dia.

Halaman:
Editor: Dini Pramita
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement