Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan rencana revisi empat Undang-undang (UU) menjadi rancangan UU (RUU) inisiatif DPR dalam rapat paripurna ke-18 masa sidang V tahun 2023-2024. Empat UU yang akan diubah tersebut adalah UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, UU No. 3/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan UU No. 6/2011 tentang Keimigrasian.
"Selanjutnya menugaskan Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk menyampaikan rumusan RUU tersebut," ujar Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR yang memimpin rapat paripurna pada 28 Mei lalu.
Selain empat UU di atas, masih ada beberapa UU lain yang akan dikebut DPR untuk direvisi, antara lain UU No. 7/2020 tentang tentang Perubahan Ketiga atas UU Mahkamah Konstitusi (MK), UU No. 32/2002 tentang Penyiaran, UU No. 7/2008 tentang Ombudsman, UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Saat ini, ada 47 UU yang masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2024. Ditambah dengan revisi empat UU yang disetujui DPR pada akhir Mei lalu, plus UU MK, maka sejatinya ada 52 rancangan UU yang harus dituntaskan DPR periode saat ini. Dari semua RUU tersebut, baru tiga yang selesai diundangkan yakni revisi UU Daerah Khusus Jakarta, revisi UU Desa, dan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Problemnya, DPR saat ini akan purna tugas pada Oktober mendatang atau waktu yang tersedia sebenarnya hanya 5 bulan lagi. Dipotong dengan masa reses, waktu lima bulan yang tersisa itu praktis hanya meninggalkan dua kali masa sidang saja.
Pertanyaan utamanya sesungguhnya adalah, dengan masih banyaknya pekerjaan rumah RUU dalam Prolegnas, mengapa DPR ngotot mengejar revisi beberapa UU baru, yang sebelumnya tidak masuk dalam Prolegnas 2024, tetapi dipaksakan untuk diselesaikan di masa sidang yang tersisa sebelum purna tugas?
Yang Menyalip di Tikungan
Proses legislasi empat RUU di awal tulisan memang masuk "jalan tol". Ini bisa nyata dilihat dalam agenda rapat Baleg di masa sidang V yang dimulai pada 14 Mei hingga 11 Juli mendatang. Empat UU yang akan direvisi, yakni UU Kementerian Negara, UU Polri, UU TNI, dan UU Keimigrasian sudah masuk dalam agenda. Begitu juga UU Penyiaran.
Adapun beberapa RUU lain yang sudah lebih dulu masuk dalam Prolegnas seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Perampasan Aset, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga malah belum masuk dalam agenda. Maknanya, banyak UU yang sebenarnya sudah lama berkarat di daftar Prolegnas 2024 kemungkinan akan dilempar menjadi pekerjaan rumah DPR baru.
Gejala lain yang menunjukkan "jalur khusus" diberlakukan untuk beberapa RUU anyar tersebut juga tampak dari pengesahan yang dilakukan dengan cepat dan seolah terburu-buru. Dalam rapat paripurna pada 28 Mei lalu, pendapat fraksi-fraksi tidak dibacakan dan hanya disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR.
Sebagai gantinya, menurut Dasco, sembilan fraksi di DPR telah menyampaikan pendapatnya masing-masing secara tertulis. Dia mengakui, penyampaian pendapat fraksi secara tertulis kepada pimpinan dewan untuk mempersingkat waktu.
Seorang anggota DPR yang tidak mau disebut namanya mengungkapkan, proses pengesahan di paripurna dewan sekaligus permintaan untuk menyampaikan pendapat fraksi hanya secara tertulis dilakukan lewat lobi-lobi ke pimpinan masing-masing fraksi. Ini lantaran anggota DPR dari komisi-komisi terkait masih banyak yang belum mendapatkan draf yang hendak disahkan sebagai RUU. Padahal mereka sedianya yang memberikan masukan kepada pimpinan fraksi untuk menyusun pendapat.
Upaya "kejar tayang" empat UU itu mengingatkan pada proses revisi UU MK dan UU Penyiaran yang mendapat penolakan luas dari berbagai pihak. Di kedua UU itu, tak hanya prosedurnya yang berusaha dilekaskan, tetapi materinya juga menuai kontroversi.
Yang Diam-diam dan Mengagetkan
UU MK mengawali kontroversi karena pembahasannya yang dilakukan dalam senyap. Media massa dan publik terkejut ketika DPR dan pemerintah menggelar rapat pleno pengambilan keputusan tingkat I revisi UU MK pada 13 Mei lalu. Artinya draf revisi UU MK tinggal dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan sebagai UU. Padahal, pada 13 Mei itu, DPR masih reses. Parlemen baru memulai masa sidang keesokan harinya.
Menurut informasi yang diperoleh Katadata, banyak anggota Komisi III yang membidangi hukum dan bertanggungjawab merumuskan revisi UU itu masih berada di Portugal dalam rangka kunjungan kerja. Sebagian anggota komisi yang tidak ikut ke luar negeri dan menjadi anggota Panitia Kerja Revisi UU MK ternyata juga tidak mendapat undangan untuk hadir dalam rapat pleno. Rapat hanya dihadiri sebagian anggota, hampir semuanya adalah ketua kelompok fraksi.
Tak hanya prosesnya, muatan revisi juga problematik. Salah satu poin utama adalah hakim MK maksimal menjabat selama 10 tahun. Tetapi mereka harus menjalani evaluasi setiap 5 tahun oleh Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga pengusul. Artinya lembaga pengusul bisa memutuskan tidak memperpanjang masa jabatan hakim yang bersangkutan. Hakim MK terdiri dari 9 orang. Presiden, DPR, dan MA masing-masing menominasikan 3 orang hakim.
Beleid lain yang menimbulkan polemik adalah revisi UU Penyiaran. Draf mengatur standar isi siaran yang mengatur batasan, larangan, dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran. Termasuk di dalamnya adalah larangan penayangan eksklusif produk "jurnalistik investigasi" dan larangan penayangan isi siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik.
Pemangku kepentingan terkait seperti Dewan Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai muatan revisi UU Penyiaran berniat membatasi kerja jurnalistik maupun kebebasan berekspresi secara umum. Pemerintah dinilai ingin melakukan kendali berlebih terhadap ruang gerak warga negara yang secara nyata merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak atas kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi.
Sumber Katadata di Komisi I yang mengurusi kebijakan pertahanan, luar negeri, dan penyiaran mengaku heran dengan munculnya pasal yang mengatur larangan terhadap jurnalistik investigasi dalam rancangan revisi. Sebab, dalam draf yang selama ini dibahas di komisi, tidak ada ketentuan soal itu. Menurutnya, aturan itu baru muncul baru-baru ini dalam pembahasan rancangan di alat kelengkapan dewan lainnya.
Pertemuan Banyak Kepentingan
Dengan proses yang tidak lazim dan tergesa, banyak yang menduga agenda politik berada di balik rencana revisi beberapa UU ini. Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menduga, rencana revisi sejumlah UU strategis ini dilatarbelakangi berbagai kepentingan yang akhirnya saling bertemu.
"Kita masyarakat bisa mengambil kesimpulan sederhana, bahwa ini (upaya) mengambil kesempatan untuk melakukan akumulasi kekuasaan yang akan menjadi bekal kepada pemerintah baru, (langkah) bagi-bagi kekuasaan, (memberi) kompensasi kue politik bagi mereka yang dianggap berjasa, atau untuk merangkul (kekuatan-kekuatan politik)," ujar Mahfud dalam podcast 'Terus Terang' di kanal YouTube Mahfud MD Official, 29 Mei lalu.
Mantan hakim MK itu menilai, apa yang sedang terjadi sesungguhnya adalah upaya rule by law, bukan lagi rule of law. Rule by law adalah praktik melanggengkan dan memperbesar kekuasaan dengan membajak produk perundangan lewat hukum yang memaksa dan mengikat publik. Sementara rule of law bermakna kekuatan pemerintah dituntun oleh hukum dan tidak ada sesuatupun yang berada di atas hukum.
Mahfud mengingatkan, jika revisi beberapa UU strategis ini berlangsung mulus di parlemen, ini berpotensi membuat pemerintahan baru yang nantinya berkuasa akan sulit dikontrol melalui mekanisme dan struktur hukum yang tersedia. Tidak heran jika gelombang protes dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil muncul.
Selain upaya mengkonsolidasikan kekuasaan, menurut informasi yang diperoleh Katadata, langkah merevisi beberapa UU strategis ini juga bisa dilihat sebagai upaya penguasa merangkul dan memberi kompensasi kue politik. Dalam konteks UU TNI dan Polri misalnya, beberapa ketentuan yang ingin direvisi sejatinya memang merupakan aspirasi laten kedua institusi.
Sebagai contoh, salah satu poin ketentuan revisi yang diajukan adalah menaikkan batas usia pensiun TNI dan Polri. Ini kabarnya memang keinginan lama Polri agar umur pensiun personil mereka disamakan dengan jajaran Kejaksaan. Ketika masa pensiun Polri berubah, tentu hal yang sama juga harus diberikan ke TNI.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho menyatakan, revisi UU Polri merupakan inisiatif DPR dan Polri belum mengetahui secara utuh ketentuan yang akan direvisi. Yang jelas, jika salah satu poin yang diubah adalah memang soal batas umur pensiun anggota Polri, maka harapannya ini akan semakin memotivasi para anggota Polri untuk semakin bekerja lebih baik dan upaya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat pun akan dilakukan semakin maksimal.
Adapun Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Nugraha Gumilar mengatakan, rencana revisi UU bagian dari penyempurnaan UU TNI. Menurutnya, ada sejumlah isu yang belum dipayungi oleh UU TNI akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan dunia siber, hingga fungsi TNI. Yang pasti, ketentuan yang akan diubah sudah dibahas dan dianalisis. Penyesuaian dari revisi UU TNI juga akan diatur lebih detail melalui peraturan pemerintah maupun peraturan panglima TNI.
Tidak Ada yang Menghadang
Pertanyaan selanjutnya tentu saja apakah rencana revisi beberapa UU strategis ini akan berjalan mulus? Sumber Katadata di parlemen menilai, tidak ada batu sandungan serius yang bisa menghadang agenda tersebut. Penolakan yang keras dari banyak elemen dan kelompok masyarakat sipil sama sekali bukan rintangan, seperti sudah ditunjukkan saat perumusan UU Cipta Kerja, UU Ibukota Negara (IKN), dan peraturan lainnya.
"Kenyataan bahwa revisi beberapa UU tersebut yang sebenarnya merupakan agenda pemerintah, tetapi akhirnya diambil DPR sebagai inisiatif mereka dan disetujui oleh semua fraksi, menandakan proses pembahasan revisi UU ini kemungkinan akan berjalan tanpa hambatan," ujar sang sumber.
Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di DPR Bambang Wuryanto sudah menyatakan, fraksinya akan bersikap kritis dalam pembahasan revisi UU tersebut. Namun, resistensi dari partai banteng dan fraksi lain di DPR kemungkinan akan minim.
Ini lantaran "fraksi yang oposisi" sekalipun tetap harus berhitung konsekuensi negatif yang harus mereka tanggung jika menolak revisi semua UU tersebut. PDI-P misalnya, saat ini mewaspadai rencana revisi UU MD3 oleh partai lain yang konsekuensinya bisa menggeser posisi mereka sebagai Ketua DPR, seperti pernah disinggung Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto.
Ada variabel lain. Seorang anggota legislatif bercerita, banyak anggota DPR yang tidak terpilih kembali ke parlemen dalam Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif tahun ini. Total, hampir separuh anggota DPR periode 2024-2029 akan diisi wajah-wajah baru. Mereka yang gagal kembali ke Senayan itulah yang saat ini banyak dilobi untuk mendukung agenda revisi UU strategis.
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas tidak merespon beberapa pertanyaan dari Katadata, tetapi sebelumnya ia menegaskan, rencana revisi UU yang berjalan saat ini bukan untuk mengakomodasi kepentingan Presiden terpilih dan pemerintah yang akan datang. Ia juga menepis penilaian bahwa revisi UU dilakukan terburu-buru. Politikus Partai Gerindra itu menyatakan, proses revisi berjalan cepat lantaran pasal yang diubah juga hanya sebagian kecil saja.
Adapun Presiden Jokowi, ketika memberikan keterangan pers soal revisi UU MK pada 15 Mei lalu, meminta segala pertanyaan soal itu disampaikan ke DPR karena revisi UU itu merupakan inisiatif DPR. Pada Senin kemarin, Menteri Sekretaris Negara Pratikno juga kembali menegaskan, revisi UU Polri dan TNI merupakan inisiatif parlemen.