
Sumitro Djojohadikusumo nyaris bergabung dengan Brigade Internasional dan bertempur melawan fasisme dalam Perang Saudara Spanyol (1936-1939). Saat perang itu pecah, Bung Cum—demikian sapaan Sumitro—masih berstatus mahasiswa berumur 19 tahun di Sekolah Tinggi Ekonomi, Rotterdam, Belanda.
"Dengan rasa malu yang besar, saya ditolak karena saya masih di bawah umur. Saya harus punya surat izin dari orang tua saya!" kenang Bung Cum dalam memoar singkatnya, Recollections of My Career, yang diterbitkan Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES) pada 1986.
Sumitro menolak menyerah. Ia malah nekat menerobos perbatasan Spanyol demi bisa ke garis depan. "Tapi kemudian saya diusir lagi," katanya. Meski akhirnya gagal ikut bentrok fisik, Sumitro terlibat aktif dalam menggalang dana untuk pihak Republik yang sedang digempur koalisi negara-negara fasis yang saat itu kian mekar di Eropa.
Sepotong kisah itu menjadi petunjuk bagaimana politik bekerja dalam diri Sumitro, begawan ekonomi Indonesia itu. Malahan semula bidang ekonomi bukanlah pilihan utamanya. Ia ogah menerima beasiswa ke Universitas Leiden karena tahu bakal berakhir menjadi pegawai pemerintah kolonial Belanda. Begitu juga dengan kuliah hukum di Batavia atau kuliah teknik di Bandung.
Sumitro lebih menuruti keinginan orang tuanya: berangkat ke Rotterdam belajar ekonomi. "Itu sebenarnya pilihan yang serampangan. Saya lebih tertarik pada filsafat dan sastra," katanya. Pada 1937, ia mengambil cuti kuliah demi belajar ke Universitas Sorbonne di Paris, Prancis, dan meraih diploma di bidang filsafat dan sejarah.
Sumitro tetap mengakui betapa ekonomi membantunya menilai situasi untuk kemudian mengambil keputusan. "Ilmu ini mengajarkan saya untuk tidak menjadi tawanan emosi sendiri, melainkan memulai dengan menetapkan fakta-fakta tentang suatu persoalan, lalu menerapkan analisis secara logis," katanya.
Kendati begitu, saat balik ke Indonesia sebagai seorang ekonom, corak politik bahkan filsafat dalam pemikiran ekonomi Sumitro tak luntur. Ia pun mengakui termasuk kategori ekonom yang terutama tertarik pada ekonomi-politik.
Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) menjadi tonggak ekonomi-politik paling awal yang dirancangnya. RUP yang juga dikenal sebagai Sumitro Plan, disusun saat Sumitro menjabat Menteri Perdagangan dan Industri di Kabinet Natsir (1950-1951), upaya strategis ini hendak menguatkan ekonomi setelah Indonesia merdeka.
Rencana itu kemudian diwujudkan dalam Program Benteng. Tujuan besarnya, mendorong tumbuhnya golongan pengusaha pribumi sekaligus mengurangi dominasi perusahaan-perusahaan yang dimiliki asing.
"Pemerintah kolonial menerapkan politik apartheid. Sektor perekonomian dikuasai Belanda dan Timur Asing kecuali pribumi," ujar Tarli Nugroho, peneliti di Institut Peradaban, kepada Katadata.co.id, 15 Mei lalu.
Definisi Timur Asing diciptakan Belanda, merujuk pada kelompok ras Tionghoa, Arab, dan India. Mereka diberi peran penting dalam sektor perdagangan dan ekonomi, meski tetap mengalami diskriminasi dan tak punya hak politik. Sedangkan golongan Eropa menduduki hierarki sosial tertinggi.
Adapun golongan pribumi, menempati lapisan terbawah dalam segregasi tersebut. Diskriminasinya mencakup akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan perumahan, hingga dieksploitasi sebagai tenaga kerja murah.
"Struktur ini tidak berubah ketika kita proklamasi," kata Tarli. "Dan inilah yang ingin dibongkar, bukan hanya Sumitro, tetapi juga oleh kabinet pada waktu itu."
Program Benteng, dalam praktiknya, memberikan lisensi impor dan kredit kepada pengusaha pribumi agar mereka dapat menguasai perdagangan. Pengusaha pribumi juga memperoleh modal untuk berkembang, termasuk melakukan industrialisasi sebagai target jangka panjangnya. Dengan begitu, program ini membidik penyeimbangan struktur ekonomi yang timpang.
Gagasan itu tak lepas dari kritik. Sjafruddin Prawiranegara, salah satu ekonom yang juga menjabat sebagai Menteri Keuangan di Kabinet Natsir, tak segan merinci seabrek masalah di dalam Program Benteng. Ia menilai pembukaan jor-joran keran impor akibat program ini harus diimbangi dengan bertambahnya ekspor. Tujuannya, demi menciptakan besparingen (uang celengan) demi membiayai dan membangun industri.
Sebaliknya, Sumitro menganggap Indonesia terutama setelah masa perang mengalami kelangkaan barang-barang konsumsi. Penyebabnya macam-macam. Mulai dari keorganisasian yang kacau, sektor agraria yang terbengkalai, hingga pasar dalam negeri yang kosong. "Apakah kita harus memperkecil jumlah impor? Kalau begitu, maka akan membawa kita kepada suatu keadaan yang lebih celaka lagi," katanya.
Menurut Tarli, polemik di antara kedua tokoh ini merupakan perdebatan paling awal tentang sektor-sektor unggulan sesudah Indonesia merdeka. "Keduanya berselisih paham mengenai apa dan bagaimana industrialisasi itu perlu dimulai," katanya.
Polemik klasik itu terpapar dalam buku yang akan terbit, Polemik Pemikiran Sumitro Djojohadikusumo dan Sjafruddin Prawiranegara, yang juga disusun Tarli bersama Rachmat Pambudy, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Polemik di Balik Benteng
Kritik Sjafruddin terhadap Program Benteng dimuat secara berturut-turut di Harian Abadi edisi 6, 7, dan 8 Maret 1952. Ia menekankan pembahasannya pada prioritas sektor pertanian dan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia sebelum menjalankan industri yang lebih luas seperti yang dikejar Sumitro.
Indonesia, dalam pandangan Sjafruddin, memiliki sektor-sektor agraris yang unggul, dan bisa menjadi komoditas untuk diekspor. "Untuk menghasilkan beras tidak perlu kita menunggu kedatangan mesin-mesin dari luar negeri," katanya. "Sejak zaman purbakala produksi beras memberi lapangan pekerjaan bagi tiap-tiap orang di desa."
Sjafruddin juga mencontohkan beberapa negara yang dinilai melakukan industrialisasi dengan "begitu cepat dan terburu-buru" justru mengacaukan perekonomiannya sendiri. Sektor agraria di Argentina, misalnya, ambrol karena industrialisasi yang gagal, yang dibiayai besar-besaran oleh pemerintahnya.
"Baru-baru ini di surat-surat kabar dapat kita baca bahwa Argentina, yang termasyhur karena ternaknya, mengadakan hari tanpa daging sebagai gambaran telah merosotnya pertanian dan peternakan di negara itu," tulis Sjafruddin, yang pernah memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia selama masa agresi Belanda itu.
Sektor industri di Argentina gagal karena produk yang dihasilkan kalah bersaing dengan produk luar. Adapun sektor agrarianya banyak ditinggalkan karena lebih tertarik mengejar upah industri ke kota-kota besar.
Hal yang mirip terjadi di Australia dalam rentang yang sama. Industri di Negeri Kanguru itu, yang dibangun di masa perang, semata-mata berpangku tangan kepada pemerintah karena produknya keok oleh produk Inggris.
Dalam catatan Sjafruddin, Indonesia punya gejala serupa setelah berdaulat. Pada 1952, Indonesia mengimpor 600 ribu ton beras, menghabiskan Rp1,2 miliar. Padahal semasa era kolonial, menurut mantan Gubernur Bank Indonesia pertama itu, negara ini punya produksi beras berlimpah hingga diekspor ke luar negeri.
Sjafruddin pun menyiratkan industrialisasi yang digodok Sumitro tak sejalan dengan motif dan prinsip ekonomi. Baginya, Indonesia harus bisa mengekspor produk negeri sendiri dengan ongkos yang semurah mungkin demi bisa mencetak untung yang sebesar mungkin.
"Barang-barang ekspor yang sebaik-baiknya dan semurah-murahnya dapat kita hasilkan ialah bahan-bahan seperti karet, kopra, gula, tembakau dan lain-lain pertanian," kata Sjafruddin. "Begitu juga bahan-bahan pertambangan seperti minyak, timah, dan sebagainya."
Sumitro menjawab kritik Sjafruddin tersbeut tujuh hari kemudian, 15 Maret 1952, yang dimuat dalam buku kumpulan tulisannya, Persoalan Ekonomi di Indonesia (1953).
Bung Cum menerangkan hubungan antara dua hal: negara penghasil bahan mentah dan negara industri. Menurutnya, akibat kolonialisme, Indonesia belum bisa membangun ekonomi yang mandiri. Sebaliknya, negara ini diarahkan hanya untuk melayani kepentingan negara penjajah. Indonesia, misalnya, di bawah Belanda, hanya dijadikan penyedia bahan baku untuk negara-negara industri di Eropa.
Ironisnya, Indonesia juga dijadikan pasar konsumen, bukan produsen, karena menyerap produk-produk hasil industri luar yang bahan mentahnya justru berasal dari negeri sendiri itu. "Kedudukan dan struktur tersebut sangat menghambat kemajuan masyarakat di negara-negara Asia Tenggara," kata Sumitro.
Hubungan ini tentunya berat sebelah. Negara industri mendapatkan keuntungan besar. Sedangkan negara penghasil bahan mentah terjebak dalam keterbelakangan. Inilah yang kemudian juga ditakutkan Sumitro: Indonesia yang baru merdeka rentan dimonopoli.
Sumitro juga menunjukkan sebuah anomali dari sektor agraria Indonesia pada waktu itu. Sejak 1921, pendapatan sektor agraria yang lebih banyak dikelola pribumi secara nasional makin lama makin menyusut. Trennya pun terus turun.
Sebaliknya, sektor-sektor lain yang digarap asing cenderung stabil. "Keganjilan pada perbandingan antara harga barang-barang impor dan bahan-bahan ekspor kita mengandung arti yang besar," ujarnya.
Ia kemudian menuding saran Sjafruddin justru akan melanggengkan ketidakseimbangan. Bahkan, kata dia, sangat mungkin memerosotkan kekuatan ekonomi rakyat Indonesia di masa depan.
Bung Cum pun menekankan bahwa perdebatan ekonomi Indonesia bukanlah soal memilih antara sektor agraria atau industrialisasi. Industrialisasi tidak dimaksudkan untuk menggantikan sektor agraria. Tujuan yang lebih realistis, menurut Sumitro, adalah menciptakan hubungan komplementer antara agraria dan industri. Industrialisasi melengkapi agraria, bukan menggantikannya.
"Masalah yang menentukan ialah bagaimana kita dapat memperkuat dasar ekonomi kita, memperluas lapangan kehidupan dengan menggiatkan sumber-sumber baru," kata Sumitro.
Ia pun merinci kemungkinan dampak buruk dari ketergantungan berlebihan pada sektor agraria, seperti produktivitas tenaga kerja hingga tingkat pendidikan dan kecerdasan yang rendah. Ditambah lagi, ada kelebihan penduduk kerja yang tak terserap sektor tersebut.
Sjafruddin juga dianggap skeptis terhadap industrialisasi. Ia, misalnya, menganggap hanya segelintir buruh yang akan terserap dan diuntungkan industri. Sumitro membantah pandangan itu. Menurutnya, pembangunan industri justru memicu efek berantai.
Sumitro mencontohkan, pembuatan semen di dalam negeri akan memicu kegiatan di lapangan-lapangan industri lain, yakni pertumbuhan industri perumahan, lalu industri genting, industri kayu, perabotan rumah tangga, hingga kerajinan-kerajinan rakyat di daerah.
Sjafruddin sebetulnya tidak menolak pertumbuhan industri di dalam negeri. Namun, menurut perhitungannya, Indonesia saat itu belum punya kesanggupan yang memadai, terutama dari segi modal. Karena itu ia lebih percaya menyerahkan sektor industri agar digarap partikelir asing. Sedangkan pemerintah dan masyarakat di negara yang baru merdeka ini mestinya berfokus menguatkan sektor agraria.
Sumitro menjawabnya dengan menekankan pentingnya keberadaan negara untuk mengawal industri. Kedaulatan ekonomi mustahil ditegakkan jika industri vital dikuasai asing. Artinya, negara harus campur tangan demi melindungi ekonomi nasional. "Dalam negara terbelakang (underdeveloped), usaha menyerahkan perindustrian kepada kalangan partikelir akan merupakan satu impian belaka dengan hasil yang hampa."
Sama-sama Sosialis
Menurut Tarli Nugroho, polemik tentang industrialisasi itu menunjukkan corak sosialisme dalam gagasan Sumitro. "Kalau kita baca karya-karyanya, Sumitro adalah orang yang tidak percaya terhadap mekanisme pasar," ujarnya.
Sumitro memang dekat dengan sosialisme. Kiprahnya juga tak lepas dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) asuhan Sutan Sjahrir. PSI sendiri, menurut Djoeir Moehammad dalam Memoar Seorang Sosialis (1997), menganut sosialisme kerakyatan atau ekonomi kerakyatan. Djoeir adalah anggota PSI dan dikenal sebagai salah satu dari three musketeers partai tersebut.
Sumitro, di majalah Tempo edisi 29 Maret 1999, mengaku klop dengan pemikiran Sjahrir tentang sosialisme humanitarian. "Negara adalah pelindung rakyat, bukan sebaliknya," katanya. Ia bergabung dengan PSI pada 1950.
Adapun Purnomo Yusgiantoro, Penasihat Presiden Urusan Energi, juga menyebut Sumitro percaya pada pentingnya peran negara dan perencanaan ekonomi jangka panjang. Namun, Sumitro juga pragmatis jika terkait investasi asing dan kerja sama internasional, selama tetap dalam kerangka kemandirian nasional.
"Sumitro mewakili tipe ekonom teknokrat nasionalis moderat, bukan sosialis radikal. Juga bukan penganut ekonomi pasar bebas yang ekstrem atau neoliberal," ujar Purnomo kepada Katadata.co.id, 23 Mei lalu. Pada akhir 1980-an, Purnomo kembali dari Amerika Serikat untuk bergabung dengan Resource Development Consultants (REDECON), perusahaan konsultan yang juga didirikan Sumitro.
Djoeir dalam bukunya juga mengatakan Sjafruddin memperjuangkan sosialisme. Bersama Partai Masyumi, Sjafruddin mengedepankan apa yang disebut sebagai sosialisme keagamaan.
Djoeir mengutip Pamflet Politiek dan Revolusi Kita, yang memuat visi-misi Masyumi pada 1946. "Ideologi yang cocok dengan masyarakat kita ialah sosialisme kerakyatan, suatu ideologi yang selaras dengan UUD (Undang-Undang Dasar)," tulis Sjafruddin.
"Sejak lama sosialisme telah muncul sebagai ideologi yang umum dan terbuka," kata Djoeir. "Karena itu kita juga mengenal sosialisme religius seperti yang diperjuangkan HOS. Cokroaminoto, H. Agus Salim, dan Partai Masyumi."
Menjelang wafatnya Sjafruddin pada 15 Februari 1989, Sumitro mengakui satu hal: pandangan Sjafruddin dalam polemik Program Benteng mengandung banyak hal benar. Waktu itu, Bung Cum mengungkapkan, ia terdorong oleh hasrat yang besar untuk mempercepat perombakan struktur ekonomi kolonial yang diwariskan penjajah.
“Kurang disadari bahwa perombakan itu [...] merupakan suatu proses yang memerlukan pentahapan sendiri; bahwa pembangunan dalam arti perubahan struktural mencakup kurun waktu beberapa generasi,” ujar Sumitro dalam kata pengantar yang ditulis untuk disertasinya yang dibukukan, Kredit Rakyat di Masa Depresi, pada Januari 1989.
Sumitro juga mengakui polemik itu mendapat tempat khusus dalam ingatannya. Di luar ring debat, ia dan Sjafruddin tetap menjalin sikap saling hormat dan merawat sopan santun. “Hal itu menjadi kenangan indah bagi saya. Hubungan pribadi antara Saudara Sjafruddin dan saya tetap terpelihara dengan baik."
Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo ini didukung oleh: