Indonesia Harus Terbiasa dengan Pelemahan Ekonomi Tiongkok

Image title
Oleh Tim Redaksi
10 Februari 2019, 10:00
 Managing Director of DBS Bank Taimur Baiq dan Presiden Direktur DBS Indonesia Paulus Sutisna.
Ilustrator: Betaria Sarulina
Managing Director of DBS Bank Taimur Baiq dan Presiden Direktur DBS Indonesia Paulus Sutisna.

Kita harus mulai terbiasa dengan permintaan yang menjadi sedikit melemah ke depannya. Jadi dari perspektif itu, 2019 mungkin akan sedikit lebih lemah dari 2018, 2020 mungkin sedikit lebih lemah dari 2019 dan seterusnya. Itu semua karena Tiongkok.

Paulus: Tahun lalu ekonomi kita terpengaruh sekali oleh perang dagang antara Tiongkok dan Amerika. Harga minyak yang sempat naik tinggi, itu mempengaruhi juga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Kondisi ekonomi global atau dunia akan mempengaruhi Indonesia. Tidak ada ekonomi lokal yang imun terhadap hal itu. Dampaknya bisa bagus atau jelek. Bisa dua arah.

Apa dampaknya bagi perekonomian Indonesia?

Taimur: Sejauh ini, Tiongkok adalah importir besar komoditas dan Indonesia adalah eksportir besar komoditas. Setiap perlambatan marjinal di Tiongkok akan menyebabkan perlambatan ekspor produk komoditas bagi Indonesia. Itu hanya satu bidang yang tentu saja memiliki beberapa implikasi.

Tetapi di luar itu, ada banyak bidang di mana Indonesia didorong oleh permintaan domestik, dan saya rasa perlambatan Tiongkok tidak ada hubungannya dengan itu.

Apakah tekanan ekonomi global ini seharusnya lebih mengkhawatirkan daripada faktor politik di Indonesia?

Taimur: Tentu saja. Saya sama sekali tidak khawatir dengan perpolitikan Indonesia. Selama dua dekade terakhir, Indonesia telah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga politiknya stabil, transisi demokrasi terjadi secara damai. Oleh karena itu, meski kebijakan mungkin mengalami perubahan sebelum dan sesudah pemilu terutama bagi perekonomian, tidak ada risiko negara terkait dengan pemilu.

Jadi ini benar-benar tentang ekonomi, seberapa banyak permintaan domestik dapat berkontribusi kepada pertumbuhan. Berapa banyak hambatan permintaan eksternal yang perlu kita khawatirkan, sehingga bagi saya masalah ekonomi jauh lebih besar daripada masalah politik.

Paulus: Untuk jangka pendek, orang banyak yang khawatir dengan Pemilu. Indonesia sendiri telah melakukan proses demokrasi ini beberapa tahun ke belakang. Banyak Pilkada, nah semuanya itu aman-aman saja. Akan ada riak-riak kecil tapi secara umum, tidak akan ada apa-apa.

Hasil survei KIC menunjukkan pandangan para investor yang optimis dengan kondisi perekonomian Indonesia hingga tiga bulan kedepan. Bagaimana anda melihat hal ini?

Paulus: Saya cukup optimis dengan ekonomi Indonesia. Saat berbincang dengan klien-klien, mereka rata-rata berinvestasi untuk jangka panjang. Jadi mereka akan bertahan, apapun yang terjadi. Contohnya DBS, tahun lalu baru selesai membeli bisnis (retail dan wealth management ) Bank ANZ Indonesia. 

Itu kan membutuhkan biaya yang tinggi. Kami tidak akan investasi jangka panjang di Indonesia bila tidak yakin dengan situasi Indonesia nantinya.

Bagaimana dengan kondisi bisnis dan perbankan tahun ini, akan bisa tumbuh berapa persen?

Paulus: Kami cukup yakin bisa tumbuh dua digit tahun ini karena banyak permintaan klien yang mau berinvestasi. Kami pun terus berinvestasi di antaranya melalui Digibank.

(Baca Wawancara: Bila Ingin Bertahan, Harus Bekerja Sama dengan Fintech)

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...