Penetrasi Go-Pay Harusnya Bisa Lebih Cepat daripada Alipay

Yuliawati
Oleh Yuliawati
13 Januari 2019, 09:58
CEO Go-Pay Aldi Haryopratomo
Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
CEO Go-Pay Aldi Haryopratomo

Dibandingkan dengan dompet digital lain, kami sangat fokus di UMKM. Selama kami fokus ke misi yang sama, kami membantu UMKM, kami akan tumbuh.

Bila ditanya tahun ini tahun apa, saya rasa ini tahun untuk membantu UMKM. Tahun lalu, tahun mereka menerima kami. Sekarang bagaimana membuat mereka maju. Tahun UMKM buat Indonesia. 

Apa visi Go-Pay dalam lima tahun ke depan. Apakah akan seperti Alipay yang memberi kredit secara langsung?

Kami lihat posisi Go-Pay yang paling pas sebagai jembatan. Kalau di Tiongkok, sebenarnya 90% masyarakat saat Alipay masuk, sudah punya rekening di bank. Di Indonesia terbalik, di sini ada bank yang mau membantu ke bawah tapi sulit karena tertekan regulasi.

Misi saya mau membangun sebuah ekosistem keuangan inklusi yang lengkap dan untuk semua orang. Mimpi saya ekonomi yang dibangun tidak hanya dari atas.

Kemungkinan bank akan berbeda 10 tahun lagi.  Mungkin produk tabungan berupa investasi ke bawah seperti bonds untuk restoran atau hal-hal yang fokus untuk kebutuhan UMKM.

Menurut saya kalau itu terjadi, benar-benar sesuai DNA Indonesia, ekonomi kita adalah ekonomi kerakyatan. Menurut saya, salah satu jalan ke sana adalah Go-Pay, Go-Jek, dan juga Go-Food.

Ada rencana Go-Pay ekspansi ke luar negeri?

Kami sebagai sebuah perusahaan pasti mau ke luar negeri. Bangga bila ada budaya seperti arisan, ojek atau apa yang kita jalani di sini dibawa ke luar negeri Menurut saya, itu salah satu refleksi dari sebuah bangsa yang tak hanya peduli sama bangsanya tapi juga dengan tetangganya.

Pemerintah dan Go-Pay sudah bekerja sama, misalnya untuk pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan di Semarang. Bagaimana ke depannya?

Kami dan pemerintah sama-sama visinya, pemerintah mau membuat rakyatnya sejahtera dan setara. Kami juga sama. Setiap kali saya bicara dengan regulator atau pemda, mereka pasti punya rambu-rambu yang harus mereka patuhi. Kami juga punya bisnis model yang harus kami jalankan. Tapi selama misi kami sama untuk membantu rakyat sejahtera dan setara, justru ketemu dan membuat kami dekat. Banyak sekali peluang untuk bekerja sama dengan pemerintah. 

Berapa lama waktu yang diperlukan fintech pembayaran untuk menyasar seluruh pasar di Indonesia?

Saya sih mau secepatnya sehingga banyak yang bisa dilakukan. Kalau kita lihat sejarah lainnya misalnya Alipay saja hidup sejak 2004, sudah 14 tahun dan belum meng-cover seluruh populasi di Tiongkok.

Harusnya di Indonesia bisa lebih cepat karena seperti handphone, negara yang sudah punya telepon rumah itu lebih lama untuk mengadopsi handphone. Nah Indonesia dengan mayoritas penduduknya belum punya, jadi bisa langsung lompat.  Jadi ada hal yang bisa membuat kami bisa lebih cepat. Harapan saya dari Sabang sampai Merauke, ada Go-Pay.

Mengenai cashless society, apakah perkiraannya bisa terbentuk 100% cashless di Indonesia?

Bisa sih, seperti saat ini yang sudah 100% contohnya Swedia. Tapi menurut saya musuh kami bukan cash.  Tapi ketidakadaan akses, baik itu layanan keuangan bank, pegadaian, manapun. Menurut saya, cash itu masih punya fungsi seperti untuk bayar parkir Rp 2.000.

Ada dua faktor membuat cash akan berkurang. Pertama, teknologi dan adopsi masyarakat menerima uang elektronik. Kedua, tempat di mana cash itu masih tetap dipakai.

Kayak timbanganlah. Kalau semakin banyak dan semakin cepat penggunaan uang elektronik, cash juga akan pindah. Mungkin suatu saat semua orang bayar bakso akan lebih memilih bayar pakai Go-Pay dibandingan pakai cash.

Anda pernah punya pengalaman keliling beberapa negara dengan mengendarai motor seperti Che Guevara, adakah pengalaman buruk?

Kalau lihat film The Motorcycle Diaries, kan seru banget ya perjalanan Che Guevara. Ternyata setelah sebulan tidur di lantai tuh sakit punggung juga sih.

Tapi yang paling membuat saya sedih, saat saya melihat ada seorang ibu yang mendapat pinjaman saat saya kunjungi sebuah negara di Asia, bukan Indonesia. Nah dia turun gunung untuk membeli handphone ke kota. Karena pakaiannya tidak terlihat seperti orang kota, dia mendapat harga jauh lebih mahal. Ibaratnya tertipu. Itu membuat saya sedih dan berpikir bagaimana menyambungkan dua hal ini, antara orang yang memiliki produk dengan orang yang butuh akses. 

Selain itu saya juga bertemu beberapa kali dengan keluarga yang terlilit pinjaman. Saya lumayan terguncang, karena saat itu hidup saya adalah memberi pinjaman. Saya pikir Muhammad Yunus yang menjadi pemenang Nobel Prize, memberikan pinjaman untuk membantu orang. Tapi kemudian saya melihat, pinjaman itu seperti pisau bermata dua. Bisa positif dan juga negatif.

Nah dari situ saya sempat galau dan mencari cara. Alhamdulilah menemukan teorinya Bung Hatta tentang gotong royong, akhirnya mendirikan Arisan Mapan. Itu sih pertama kali mendapatkan ide bahwa kami harus membantu UMKM dan keluarga secara menyeluruh.

Sejak kapan Anda mengenal pemikiran mengenai pengembangan ekonomi masyarakat bawah?

Dari pengalaman Bapak yang sejak kecil mengajak saya ke pelosok desa. Papa bilang, padi itu kan semakin berat semakin menunduk, itu artinya bukan hanya harus rendah hati. Tapi juga semakin tinggi, kamu harus semakin sering bantu yang di bawah.

Nah sekarang saya mengajarkan hal yang sama kepada dua anak saya. Bila ada acara-acara arisan, anak saya bawa. Jadi pada akhirnya kita di sini bukan untuk diri kita saja, tapi untuk generasi berikutnya.

Dan kalau kita bisa membuat nilai Indonesia ini diangkat kembali dan menjadikannya sebagai fondasi yang kuat, why not? That’s why we are here.

Siapa yang menjadi tokoh panutan dan paling mempengaruhi hidup Anda? 

Tokoh panutan saya Muhammad Hatta. Kenapa Bung Hatta, karena saat bicara struktur ekonomi Indonesia dengan gotong royong dan ekonomi kerakyatan dan asas-asas kekeluargaan itu sebenarnya sudah tertata. Tinggal bagaimana kita sebagai sebuah generasi menggunakan itu. Selama ini mimpi Bung Hatta susah dicapai karena terknologi belum sampai. Susah kan mengorganisasi massa sebanyak ini untuk bisa kolektif saling membantu. 

Tapi Arisan Mapan buktinya telah menggandeng 2 juta keluarga atau lebih, yang saling membantu untuk membeli kebutuhan seperti panci. Jadi kami mengambil daya beli rakyat yang kecil dan banyak, sehingga menjadi kuat. Nah itu kan azasnya dari Bung Hatta itu. Kalau kami bisa menciptakan itu, menurut saya insya Allah mimpinya beliau bisa tercapai.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...