Mengenal Perjalanan Krisis Ekonomi di Indonesia
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan Indonesia pernah melalui krisis ekonomi yang disebabkan pandemi Covid-19. Penyakit Corona yang masuk ke Indonesia sejak awal 2020 ini membebani keuangan negara secara langsung, sebab pemerintah harus mengambil langkah untuk mengamankan rakyatnya.
Dalam upaya penanganan tersebut, muncul peraturan yang membatasi pergerakan masyarakat dan berujung pada berkurangnya kegiatan ekonomi. Untuk mengurangi dampak krisis ekonomi, pemerintah juga memberikan bantuan berupa uang tunai, hingga subsidi kepada masyarakat.
Pengertian Krisis Ekonomi
Market Business News mendefinisikan krisis ekonomi sebagai situasi dimana keadaan ekonomi negara memburuk secara signifikan. Penurunan ini biasanya disebabkan oleh krisis keunangan dan dapat berbentuk stagflasi, resesi, hingga depresi ekonomi. Ketika berada dalam masa krisis, nilai Produk Domestik Bruto (PDB), likuiditas, harga properti, serta saham menurun drastis.
Krisis ekonomi memiliki beberapa perbedaan mendasar dari krisis keuangan. Krisis keuangan biasanya melibatkan sektor keuangan dan perbankan. Bila suatu negara mengalami krisis keuangan, lembaga keuangan pun kehilangan kepercayaan sehingga berhenti memberi pinjaman satu sama lain.
Bila krisis keuangan terjadi berlarut-larut, maka akan mempengaruhi kondisi makro suatu negara dan ada kemungkinan terjadi krisis keuangan. Apabila krisis keuangan memengaruhi satu faktor, krisis ekonomi memengaruhi berbagai faktor seperti meningkatnya tingkat pengangguran, PDB berhenti bertumbuh, dan berbagai hal lainnya.
Perjalanan Krisis Ekonomi Indonesia
Indonesia sudah tiga kali mengalami krisis ekonomi, periode pertama pada 1997-1998, kemudian pada 2008, dan terakhir pada 2013. Masyarakat mengenal krisis ekonomi 1998 sebagai sebuah krisis moneter (krismon) dan krisis 2008 sebagai imbas krisis keuangan global.
Sri Mulyani pernah menjelaskan, krisis moneter pertama terjadi karena adanya perubahan fixed exchange rate menjadi floating exchange rate. Hal itu menyebabkan balance of payment crisis, yakni krisis yang dipicu oleh neraca pembayaran karena rezim nilai tukar.
Terpaan krisis moneter tersebut membuat pemerintah melakukan reformasi, dengan melahirkan Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Perbankan, pemberian independensi Bank Indonesia, serta regulasi prudential yang melarang pinjaman kepada perbankan, atau perusahaan yang masih memiliki hubungan.
Sepanjang 1998, rupiah terdepresiasi lebih dari 70 % dengan level puncaknya terjadi pada Juli 1998, di mana nilai tukar rupiah mencapai Rp 14.700 per dolar AS. Selain itu, pertumbuhan domestik bruto atau PDB Indonesia turut mengalami kontraksi pada 1998 ke minus 13,1 % dibandingkan 1997 saat perekonomian masih tumbuh 4,7%.
Krisis moneter 1998 juga disertai inflasi tinggi. Jika periode 1991-1996 tingkat inflasi Tanah Air berada di kisaran 8,1 %, maka pada 1998 angkanya melonjak signifikan ke level 77,6 %. Sumber inflasi terbesar dipicu harga barang-barang yang diperdagangkan secara internasional alias ekspor.
Selanjutnya, krisis ekonomi Indonesia yang kedua pernah terjadi pada 2008 disebabkan sentimen eksternal, yakni dari perusahaan global Lehman Brothers yang melakukan produk investasi derivatif. Dilansir dari laman Kementerian Keuangan, saat itu Indonesia belum memiliki pengawasan bank, alhasil kepanikan global akibat jatuhnya Lehman Brothers turut berdampak pada Indonesia, dengan anjloknya nilai tukar.
“Waktu itu orang khawatir karena kita masih punya memori krisis perbankan. Waktu krisis global, orang punya memori itu lagi. Nilai tukar bergerak, orang khawatir apakah ada bank yang akan jatuh,” jelas Menkeu dilansir dari laman Kemenkeu.
Dari krisis 2008, muncul lagi reformasi di bidang ekonomi, yakni pemisahan fungsi Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). negara juga meramu kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial untuk memperbaiki manajemen risiko sektor keuangan.
Perjalan krisis ekonomi Indonesia selanjutnya terjadi pada 2003. Berdasarkan catatan Katadata.co.id, situasi perekonomian Indonesia pada krisis ekonomi 2013 cenderung lebih baik, dibandingkan krisis ekonomi 2008. Hal itu disimpulkan dari sejumlah indikator, seperti indeks harga saham gabungan atau IHSG, kurs rupiah, neraca perdagangan, cadangan devisa, dan neraca transaksi berjalan.
Indeks IHSG mengalami fluktuasi dan sempat turun lebih dari 50 % ke kisaran 1.355 pada akhir 2008. Sementara itu, pada 2013 pergerakan IHSG cukup terkendali dan ditutup pada kisaran 4.274.
Pembanding kondisi krisis ekonomi Tanah Air pada 2008 dengan 2013 selanjutnya, yakni pergerakan kurs rupiah. Pada 2008, puncak pelemahan rupiah terjadi pada 24 November di level Rp 12.650 per dolar AS atau mengalami penurunan 38% selama tiga bulan.
Sementara itu, posisi nilai tukar rupiah per Oktober 2013 berada di level Rp 10.273 per dolar AS. Apabila dibandingkan sejak awal 2013, maka nilai tukar rupiah terdepresiasi sebanyak 9,47% dan posisi ini adalah yang terendah sejak Mei 2013.
Dari sisi neraca perdagangan, Indonesia masih mencatatkan surplus US$ 7,8 miliar pada 2008. Meski begitu, ada terjadi penurunan 80 % dibandingkan dengan surplus tahun sebelumnya, lantaran impor yang meningkat 73 % dari US$ 74,5 miliar menjadi US$ 129,2 miliar.
Sedangkan untuk kondisi neraca perdagangan pada krisis ekonomi 2013, negara sudah mencatatkan defisit hingga US$ 3,31 miliar di semester pertama. Defisit tersebut berasal dari aktifitas ekspor Indonesia yang berada di angka US$ 91,05 miliar.
Selanjutnya, nilai cadangan devisa Indonesia pada 2008 mencapai angka US$ 56,9 miliar atau setara 5,3 bulan impor. Penurunan bulanan tertinggi terjadi pada Oktober, yakni 11 %. Di mana angka impor turun dari US$ 57,1 miliar pada September menjadi US$ 50,6 miliar. Hal itu juga didukung nilai tukar rupiah yang melemah dan harga minyak mentah melambung.
Pada krisis ekonomi 2013, posisi cadangan devisa Indonesia terkuras sebanyak 12 % dari US$ 12,5 miliar menjadi US$ 92,7 miliar per Juli. Sepanjang tahun, cadangan devisa berkurang 18 % dari posisi akhir 2012, US$112,8 miliar atau setara 7,2 bulan impor. Berkurangnya cadangan devisa tersebut dilakukan untuk upaya penyelamatan rupiah, selain pembayaran impor dan utang luar negeri.
Indikator terakhir adalah neraca transaksi berjalan yang mengalami defisit pada 2008 dan 2013. Tercatat pada kuartal kedua 2008, defisit mencapai US$ 1 miliar atau 0,77 % terhadap PDB. Pada kuartal berikutnya, defisit berkurang menjadi US$ 967 juta (0,69 %) dan US$ 637 juta (0,55 %) di kuartal keempat. Defisit tidak berlanjut di 2009 karena harga minyak mentah dunia mulai turun yang mengurangi beban impor minyak.
Sementara itu, pada kuartal kedua 2013, neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit US$ 9,9 miliar yang setara 4,5 % PDB. Jumlah itu mengalami peningkatan 69 % dari kuartal sebelumnya, yakni US$ 5,8 miliar. Defisit tersebut sekaligus melanjutkan defisit transaksi berjalan selama tujuh kuartal terakhir.