Johanis Tanak Usung Restorative Justice, Apa Plus dan Minusnya?
Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat hari ini, Kamis (29/09) mengesahkan Johanis Tanak sebagai wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia terpilih setelah meraih suara terbanyak mengalahkan I Nyoman Wara pada rapat Komisi Hukum yang digelar kemarin.
"Apakah laporan Komisi III terhadap hasil uji kelayakan calon anggota pengganti pimpinan anggota KPK dapat disetujui," kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Pertanyaan itu dijawab setuju oleh seluruh anggota dan perwakilan fraksi dalam Sidang Paripurna DPR RI.
Setelah disahkan, Johanis Tanak selanjutnya akan bertugas di Gedung Merah Putih KPK. Ia menggantikan Lili Pintauli yang mundur pada Juli lalu. Presiden Joko Widodo telah menyetujui pengunduran itu dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 71/P/2022 Tertanggal 11 Juli 2022 berisi Pemberhentian Lili Pintauli Siregar sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota/Pimpinan KPK.
Dalam uji kepatutan dan kelayakan, salah satu isu yang diusung Johanis adalah pentingnya pencegahan dalam pemberantasan korupsi. Salah satu caranya adalah dengan memperkuat sosialisasi dan literasi. Selain itu ia berharap agar penanganan korupsi di Indonesia menerapkan prinsip restorative justice.
Konsep restorative justice sebenarnya bukanlah hal baru di Indonesia. Mahkamah Agung telah menerapkan prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara. Dengan prinsip ini tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi.
Pro dan Kontra
Mengenai penerapan konsep restorative justice ini, mendapat pro dan kontra. Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Arteria Dahlan merupakan salah satu yang mendukung usul itu. Menurut dia usulan Johanis berani karena tidak berfokus pada penanganan yang represif dan lebih humanis.
"Ya saya menyambut baik, itu namanya terobosan, ide cerdas yang dihadirkan oleh pek Johanis Tanak," kata Arteria. ya represif.
Menurut Arteria pendekatan penanganan kasus korupsi dengan restorative justice akan lebih memberi efek. Pendekatan berita sosialisasi dan literasi akan membuat kesadaran orang tentang bahaya korupsi menjadi lebih besar dibanding hanya berfokus pada penindakan.
"Saya lebih memilih untuk memiskinkan. Ya untuk meningkatkan pengembalian kerugian negara, untuk melakukan hal-hal lain yang lebih bisa kita rasakan langsung manfaatnya," katanya.
Berbeda dengan Arteria, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berpendapat usulan restorative justice bagi koruptor tidak tepat. Menurut dia korupsi merupakan tindak kejahatan yang melibatkan banyak pihak.
"Karena yang diambil atau yang menjadi korban kejahatannya adalah uang masyarakat, atau uang negara yang seharusnya digunakan untuk program-program di dalam masyarakat. Karena itu ide restorative justice untuk kasus korupsi itu menurut saya ngaco," ujar Abdul Fickar pada Katadata.co.id.
Ia menambahkan, restorative justice dikemukakan untuk mengembalikan kerugian korban, dengan meminta pertanggungjawaban dari pelaku. Dengan begitu pelaku juga menyadari kesalahannya, dengan mengedepankan keadilan untuk kedua belah pihak.
"Coba bayangkan kalau restorative justice ini diterapkan pada kasus korupsi dan bisa dikembalikan, orangnya tidak dihukum-dimaafkan, maka sudah dapat dipastikan, kasus seperti ini atau putusan seperti ini akan merangsang tumbuhnya korupsi di mana-mana," jelasnya.
Fickar menambahkan, dengan diterapkannya restorative justice bagi koruptor ini nantinya bisa menimbulkan anggapan menyepelekan dari pelaku yang menganggap jika ketahuan maka tinggal dikembalikan.
"Ide yang seperti ini tidak produktif ya kalau menurut saya, tidak membuat sesuatu lebih baik gitu. Baik itu dalam kerangka penyelenggaraan negara oleh aparatur negaranya, maupun mengenai pengembalian kerugian negaranya," katanya.
Ia menambahkan, meskipun tidak ada restorative justice, sebenarnya koruptor masih bisa dituntut. Selain melalui perkara pidana negara juga bisa menuntut secara perdata.